Mohon tunggu...
Bagas Kurniawan
Bagas Kurniawan Mohon Tunggu... Saya merupakan seorang lulusan Bioteknologi dengan cabang ilmu teknologi pangan. Saya sangat menyukai perkembangan industri pangan, namun tidak hanya sebatas itu saja tetapi merambah ke dunia farmasi dan keamanan pangan.

Saya merupakan seorang praktisi di bidang keamanan pangan dan sistem manajemen mutu yang ingin berbagi pengetahuan yang saya miliki untuk membangkitkan minat literasi kita. Saya memiliki latar belakang pendidikan ilmu Bioteknologi dengan cabang ilmu Teknologi Pangan. Konten yang akan saya buat, tidak akan jauh dari informasi mengenai dunia sains dan pangan. Keinginan saya untuk berperang melawan informasi hoax dan informasi sains yang palsu (pseudosains) mendorong saya untuk berkarya melalui tulisan. Blog pribadi: https://www.nextgenbiological.com/

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Siapa yang Berhak Menentukan Otentisitas Pada Makanan?

31 Oktober 2024   21:04 Diperbarui: 4 November 2024   12:24 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi masakan tradisional Nusantara. (Dok. Shutterstock via kompas.com)

Saya terbiasa berseluncur di media sosial untuk mendapatkan informasi terbaru dari tren yang sedang muncul, terutama dalam bidang sains dan pangan. 

Benar saja, pada hari saya menulis artikel ini, saya menemukan suatu peristiwa yang mungkin pernah menjadi perdebatan banyak orang, yaitu tentang otentisitas suatu makanan.

Apalagi, di Indonesia, adalah negara dengan beragam kebudayaan dan daerah, sudah pasti setiap wilayah memiliki makanan khasnya masing-masing. Hal ini tercipta, karena setiap wilayah memiliki profil cita rasa yang berbeda-beda, dan tentu saja tidak dapat dinikmati secara masyarakat umum.

Apa contohnya? Soto. Soto ini adalah makanan yang cukup populer di semua kalangan masyarakat, makanan dengan kuah yang gurih, berisi daging, sayur, dan bawang goreng. 

Tapi kenyataannya apakah hanya begitu saja? Tentu saja tidak, soto itu adalah makanan yang memiliki banyak versi, seperti soto lamongan, soto kudus, soto banjar, soto banjarnegara, soto padang, soto bogor, soto surabaya, soto betawi, dan banyak soto versi lainnya.

Dari hidangan soto ini saja, racikannya sudah banyak sekali, ada yang pakai koya (bubuk kerupuk udang), pakai kuah santan, ada ditambahin kental manis, ada yang bening, ada yang dikasih kunyit (kuah kuning), kemudian lauknya ada yang pakai ayam, daging sapi, jeroan, kikil, ada yang pakai tauge, bihun, mi, risol, dan banyak sekali variasinya.

Nah, jika demikian, apa otentiknya dari sebuah hidangan soto? Sotonya itu sendiri sudah banyak variasinya loh. 

Oke, pertanyaan baru muncul seperti ini, Oke namanya otentik kita berbicara tentang asal daerahnya dong? Masa hidangan sotonya aja? Nah, kalau begitu mari kita pakai contoh kasus seperti ini, saya ingin menjual soto Lamongan di Indonesia (Jakarta) dan di Australia. 

Bahan bakunya tentu saya beli lokal di masing-masing negara. Soto Lamongan ciri khasnya, yaitu menggunakan koya. Jadi, koyanya saya buat dari bahan-bahan lokal ini. 

Target pasar saya adalah orang Indonesia, baik itu yang tinggal di negara sendiri atau pun di Australia. Setelah dijual, saya mendapatkan komplain bahwa soto Lamongan saya tidak otentik, baik itu di Indonesia atau pun di Australia. 

Padahal, saya menggunakan resep yang sama dan terutama saya tetap menggunakan koya. Lalu mengapa hal ini bisa terjadi? Kan otentiknya soto Lamongan itu pakai koya.

Nah, saya akan berbagi pendapat saya mengenai fenomena ini. Mengapa hal ini bisa terjadi, menurut pengalaman dan pengamatan saya.

Pertama, karena ekspektasi berlebihan

Ilustrasi Melihat Media Sosial | Sumber gambar: Bruce Mars
Ilustrasi Melihat Media Sosial | Sumber gambar: Bruce Mars

Ya, ekspektasi tentu menjadi faktor utama dan menjadi penentu yang terbesar saat menilai suatu hidangan. 

Apalagi membawa nama dari suatu daerah, nota bene kita jadi berpikir bahwa "wah, soto Lamongan, pasti segar dan sangat gurih". Pada saat ini pasti kita sedang mengingat, mengkhayal, dan menerka seperti apa rasa dari soto itu.

Karena sudah berekspektasi seperti ini, artinya penilaian kita sudah menjadi bias dan seakan sudah memberikan penilaian bahwa soto Lamongan yang otentik, harus memenuhi ekspektasi kita. Dari sini kita tahu, bahwa faktor yang menjadi dasar penilaiannya saat ini adalah "rasa".

Apakah menaruh ekspektasi itu salah? Tentu tidak, tapi seberapa besar ekspektasi itu lah yang akan mempengaruhi persepsi kita terhadap makanan tersebut. 

Padahal, kalau kita hanya ingin menilai apakah makanan itu otentik atau tidak, ya cukup kita mengetahui apa yang membuat makanan itu sangat khas di antara soto yang ada di Indonesia? Oh, penambahan koya, itu yang membuat soto Lamongan menjadi sangat khas bukan ke rasa.

Kedua, kita makan di tempat asalnya

Oke, soto Lamongan pasti akan terasa otentik jika kita sedang menikmatinya saat kita di Lamongan. Perasaan ini muncul karena adanya pengaruh psikologi, yang membuat kita merasa bahwa "Nah, seperti ini harusnya soto Lamongan, khasnya memang di Lamongannya aja"

Jadi, karena efek itu, akhirnya kita memiliki sebuah "benchmark" atau standar mengenai rasa dan kenikmatan dari soto tersebut. Pada akhirnya ketika makan soto Lamongan di daerah lain, rasanya bukan seperti soto Lamongan.

Apalagi, setiap daerah pasti memiliki preferensi rasa yang berbeda, itu pun juga pasti mempengaruhi dari rasa soto Lamongan tersebut.

Padahal dari bahan sama, tetapi karena beda daerah bisa saja beda profil rasa. Tapi apakah perbedaan rasa itu mempengaruhi nilai otentik soto tersebut? Ya tidak bisa seperti itu, karena otentiknya soto Lamongan ya pakai koya.

Ilustrasi Literasi Sejarah Makanan | Sumber gambar: Wojciech Pacześ 
Ilustrasi Literasi Sejarah Makanan | Sumber gambar: Wojciech Pacześ 

Ketiga, minimnya pengetahuan tentang sejarah dan rasa dari makanan tersebut

Ya, ini yang sangat mempengaruhi penilaian kita terhadap otentik atau tidaknya suatu makanan yang kita konsumsi. Sekarang tidak pakai soto Lamongan lagi ya, saya ganti pakai bakmi Bangka

Pasti di setiap perkotaan, ada deh 1 atau 2 kedai yang menjual bakmi Bangka. Bakmi yang khas dengan mi keriting, aromanya yang gurih dan manis karena penambahan minyak wijen, serta adanya potongan daging babi merah. Belum lagi ada potongan seperti tahu atau cakwe yang memberikan kesan tersendiri.

Akan tetapi karena akulturasi budaya dan agama di Indonesia, Bakmi Bangka beradaptasi untuk menggunakan daging ayam yang tentunya halal dan tetap enak, tidak merubah rasa.

Lalu apakah itu disebut tidak otentik? Menurut saya tetap saja otentik karena bakmi itu pakai mi keriting dan ada aroma manis dari minyak wijen. Hanya lauknya saja yang diganti, bahwa sebelumnya tidak halal karena pakai daging babi, kini berubah menggunakan daging ayam.

Nah, apakah setiap daerah memiliki rasa bakmi yang sama? Tentu saja tidak, ada yang asinnya nampol, tapi ada juga yang manis. Lagi-lagi apa? Preferensi rasa yang berbeda di setiap daerahnya.

Minimnya pengetahuan kita tentang makanan yang kita konsumsi itu menjadi faktor pendukung bahwa terkadang kita salah menilai ontentisitas dari suatu makanan. Perlu perjalanan panjang dan pengetahuan yang telaten untuk kita bisa tahu apakah makanan ini otentik atau tidak. 

Contoh umumnya seperti saat membedakan onderdil motor yang original dan kw, itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang rutin dan memiliki pengalaman cukup panjang dalam mengenal onderdil tersebut.

Kesimpulan

Kita harus memiliki pengetahuan, mengenal sejarah makanan tersebut, memiliki perbendaharaan rasa yang kaya dan pengalaman jangka panjang untuk dapat menilai suatu makanan ini otentik atau tidak.

Terlepas dari rasanya yang enak atau tidak, selama bahan-bahan khas tersebut ada di makanan itu, ya penjual itu berhak menyatakan bahwa yang mereka jual adalah benar soto Lamongan dan Bakmi Bangka.

Saya ingin mengajak kita semua untuk tidak salah menangkap makna dari "otentisitas" sebuah makanan hanya karena berdasarkan selera lidah kita. Menyatakan makanan itu otentik atau tidak, adalah pekerjaan yang butuh pengalaman panjang dan mengetahui sejarah dari makanan itu. Bahkan sampai ke bumbu "kunci" yang membuat makanan itu khas.

Soal rasa, para pedagang mau tidak mau mengikuti preferensi rasa dari daerah mereka berjualan, mau itu di Indonesia, di Australia, atau dimana pun kita berada. 

Kalau soal otentik atau tidak, ya selama kita memiliki pengetahuannya, sah saja, tapi kalau hanya sekedar tukang makan, menurut saya tidak perlu menyatakan otentik atau tidak. Cukup bilang enak / tidak enak dan tidak menjelekkan usaha orang lain, itu sudah jauh lebih baik.

Terima kasih sudah berkunjung dan membaca artikel ini. Salam sehat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun