Padahal, saya menggunakan resep yang sama dan terutama saya tetap menggunakan koya. Lalu mengapa hal ini bisa terjadi? Kan otentiknya soto Lamongan itu pakai koya.
Nah, saya akan berbagi pendapat saya mengenai fenomena ini. Mengapa hal ini bisa terjadi, menurut pengalaman dan pengamatan saya.
Pertama, karena ekspektasi berlebihan
Ya, ekspektasi tentu menjadi faktor utama dan menjadi penentu yang terbesar saat menilai suatu hidangan.Â
Apalagi membawa nama dari suatu daerah, nota bene kita jadi berpikir bahwa "wah, soto Lamongan, pasti segar dan sangat gurih". Pada saat ini pasti kita sedang mengingat, mengkhayal, dan menerka seperti apa rasa dari soto itu.
Karena sudah berekspektasi seperti ini, artinya penilaian kita sudah menjadi bias dan seakan sudah memberikan penilaian bahwa soto Lamongan yang otentik, harus memenuhi ekspektasi kita. Dari sini kita tahu, bahwa faktor yang menjadi dasar penilaiannya saat ini adalah "rasa".
Apakah menaruh ekspektasi itu salah? Tentu tidak, tapi seberapa besar ekspektasi itu lah yang akan mempengaruhi persepsi kita terhadap makanan tersebut.Â
Padahal, kalau kita hanya ingin menilai apakah makanan itu otentik atau tidak, ya cukup kita mengetahui apa yang membuat makanan itu sangat khas di antara soto yang ada di Indonesia? Oh, penambahan koya, itu yang membuat soto Lamongan menjadi sangat khas bukan ke rasa.
Kedua, kita makan di tempat asalnya
Oke, soto Lamongan pasti akan terasa otentik jika kita sedang menikmatinya saat kita di Lamongan. Perasaan ini muncul karena adanya pengaruh psikologi, yang membuat kita merasa bahwa "Nah, seperti ini harusnya soto Lamongan, khasnya memang di Lamongannya aja"
Jadi, karena efek itu, akhirnya kita memiliki sebuah "benchmark" atau standar mengenai rasa dan kenikmatan dari soto tersebut. Pada akhirnya ketika makan soto Lamongan di daerah lain, rasanya bukan seperti soto Lamongan.
Apalagi, setiap daerah pasti memiliki preferensi rasa yang berbeda, itu pun juga pasti mempengaruhi dari rasa soto Lamongan tersebut.