Ketika saya masih kecil, pagi-pagi sering kali diisi dengan menikmati camilan ringan yang tak terlupakan, yakni gatot. Saat itu, saya mengira gatot adalah cincau karena warnanya yang hitam legam, namun ternyata saya keliru.Â
Gatot sebenarnya adalah salah satu kuliner tradisional Jawa yang terbuat dari ketela pohon (singkong) yang telah dikeringkan dan difermentasi. Rasa manisnya yang khas dan teksturnya yang kenyal benar-benar membekas di ingatan saya hingga kini.
Apa Itu Gatot?
Gatot adalah makanan tradisional Jawa yang terbuat dari ketela pohon yang telah dikeringkan dan difermentasi. Gatot memiliki penampilan yang khas dengan potongan ketela berwarna cokelat gelap atau hitam yang telah dikukus atau direbus hingga teksturnya menjadi kenyal dan sedikit manis.Â
Hidangan ini memiliki peran penting dalam warisan budaya Jawa dan sering dinikmati sebagai camilan atau bagian dari makanan tradisional.
Asal Usul Gatot: Dari Gunung Kidul, Yogyakarta
Gatot erat kaitannya dengan daerah Gunung Kidul di Yogyakarta, Indonesia. Wilayah ini terkenal dengan kondisi pertanian yang menantang, di mana tanahnya yang kering dan berbatu membuat budidaya padi, yang merupakan makanan pokok di sebagian besar Jawa, menjadi sulit.Â
Sebagai alternatif, masyarakat Gunung Kidul mengandalkan ketela pohon, yang dapat tumbuh subur di tanah yang kurang subur dan tahan terhadap kondisi kekeringan.
Pada proses pembuatannya, menurut informasi yang saya peroleh, gatot itu dibuat dengan melakukan fermentasi pada sisa singkong hasil pengolahan tiwul. Sisa singkong tersebut kemudian diletakkan di atas tampah (wadah bundar terbuat dari bambu) kemudian dibiarkan dijemur di luar ruangan.
Singkong yang awalnya putih, kemudian menjadi cokelat dan menuju kehitaman akibat proses fermentasi. Proses fermentasi akan dijelaskan di bagian selanjutnya.Â
Gunung Kidul: Daerah yang Penuh Kecerdikan
Geografi dan Iklim: Gunung Kidul memiliki lanskap yang kering dan berbatu dengan sumber air alami yang terbatas, terutama selama musim kemarau. Kondisi ini secara historis membatasi budidaya tanaman yang lebih bergantung pada air seperti padi, sehingga mendorong penduduk setempat untuk berinovasi dengan sumber daya yang tersedia.
Ketela Pohon sebagai Makanan Pokok: Karena keterbatasan pertanian di wilayah ini, ketela pohon menjadi sumber makanan utama. Proses pengeringan dan fermentasi ketela pohon yang akhirnya menghasilkan gatot dikembangkan sebagai cara untuk mengawetkan tanaman yang penting ini dan memastikan ketersediaan makanan sepanjang tahun.
Penjelasan Ilmiah tentang Gatot
Gatot dibuat melalui proses yang melibatkan pengeringan, fermentasi parsial, dan pemasakan ketela pohon. Proses-proses ini berkontribusi pada cita rasa, tekstur, dan nilai gizi unik dari produk akhir.
Pengeringan dan Fermentasi:
Proses Pengeringan: Setelah dipanen, ketela pohon dikupas, dipotong-potong, dan dijemur. Proses ini mengurangi kadar air, membuat ketela pohon lebih mudah disimpan untuk jangka waktu yang lama. Ketela yang telah dikeringkan ini dikenal sebagai gaplek dalam bahasa Jawa, yang menjadi bahan dasar pembuatan gatot.
Fermentasi: Selama proses pengeringan, fermentasi alami mulai terjadi, terutama jika ketela disimpan dalam kondisi yang sedikit lembab. Fermentasi ini, yang dipicu oleh bakteri, ragi, dan kapang alami, memecah beberapa pati dalam ketela menjadi gula sederhana, yang berkontribusi pada rasa manis gatot setelah dimasak.
Pemecahan Senyawa:
Detoksifikasi: Ketela pohon mengandung senyawa glikosida sianogenik yang dapat menghasilkan racun sianida. Proses pengeringan dan fermentasi dalam pembuatan gatot mengurangi senyawa-senyawa ini, membuat ketela pohon aman untuk dikonsumsi. Proses ini juga memecah karbohidrat kompleks menjadi bentuk yang lebih sederhana dan mudah dicerna.
Pengembangan Warna dan Rasa: Proses fermentasi dan pengeringan menyebabkan reaksi Maillard, yaitu reaksi kimia antara asam amino dan gula pereduksi yang memberikan gatot warna gelap yang khas dan berkontribusi pada kompleksitas rasanya.
Apa yang Terjadi Saat Memasak untuk Menghasilkan Rasa dan Tekstur Unik dari Gatot?
TeksturKenyal: Ketika ketela pohon yang telah dikeringkan dan difermentasi dikukus atau direbus, patinya sebagian mengalami gelatinisasi. Proses fermentasi mengubah struktur pati dalam ketela pohon, menghasilkan tekstur yang kenyal namun tidak sepenuhnya lunak, yang menjadi ciri khas gatot.
Profil Rasa Manis: Rasa manis yang ringan pada gatot berasal dari proses fermentasi, di mana beberapa pati diubah menjadi gula. Gula-gula ini semakin ditingkatkan selama proses pemasakan, memberikan gatot rasa manis yang lembut dan menyenangkan.
Rasa Kompleks: Fermentasi memperkenalkan sedikit rasa asam atau umami, menambah kedalaman dan kompleksitas pada rasa manis ketela. Kombinasi rasa-rasa ini menjadikan gatot unik dan menjadi bagian yang dihargai dalam masakan Jawa.
Makna Budaya Gatot
Gatot lebih dari sekadar makanan; ia adalah simbol ketahanan dan kecerdikan masyarakat Gunung Kidul. Di tengah kondisi pertanian yang menantang, mereka mengembangkan cara untuk memanfaatkan ketela pohon, tanaman yang bisa tumbuh di mana tanaman lain tidak bisa, untuk menciptakan hidangan yang bernutrisi dan memiliki makna budaya.Â
Saat ini, gatot dirayakan sebagai bagian dari warisan kuliner lokal dan dinikmati tidak hanya di Gunung Kidul tetapi juga di seluruh Jawa.
Kesimpulan
Gatot adalah makanan tradisional dari daerah Gunung Kidul, Yogyakarta, yang lahir dari kebutuhan untuk beradaptasi dengan kondisi pertanian yang menantang. Tekstur dan rasa unik gatot dihasilkan dari proses pengeringan, fermentasi, dan pemasakan ketela pohon, yang meningkatkan nilai gizinya dan menciptakan camilan kenyal yang sedikit manis.Â
Gatot berdiri sebagai bukti identitas budaya masyarakat Jawa, terutama di wilayah di mana sumber daya makanannya terbatas.
Referensi:
- Cardoso, A. P., Mirione, E., Ernesto, M., Massaza, F., Cliff, J., Haque, M. R., & Bradbury, J. H. (2005). Processing of cassava roots to remove cyanogens. Journal of Food Composition and Analysis, 18(5), 451-460.
- Charles, A. L., Sriroth, K., & Huang, T. C. (2005). Proximate composition, mineral contents, hydrogen cyanide and phytic acid of 5 cassava genotypes. Food Chemistry, 92(4), 615-620.
- Soeroso, A., & Wibowo, B. (1991). Economic conditions and agrarian problems in the Wonogiri Region. Asian Survey, 31(12), 1207-1218.
Dengan mengenang kembali masa kecil saat menikmati gatot, kita tak hanya menikmati cita rasa manis dan teksturnya yang kenyal, tetapi juga memahami nilai budaya dan sejarah di balik camilan tradisional ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H