Mohon tunggu...
Bagas Ardika Prakasa
Bagas Ardika Prakasa Mohon Tunggu... Lainnya - Siswa SMA

Be yourself

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Siluet di Tengah Sinar

10 Februari 2021   15:29 Diperbarui: 10 Februari 2021   16:20 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Tepatnya bukan di kotanya, melainkan di daerah pinggiran, sebuah keluarga yang terbuang menjadi buruh kasar di tempat itu. Mengisahkan perjuangan seorang anak laki-laki 14 tahun, Deimas yang berusaha mendapatkan sepatu baru untuk adiknya, Mira.

Deimas Priwatma lahir dari sebuah keluarga yang dibilang kurang berada, ayahnya hanyalah pekerja sampingan sebagai seorang jasa pemotong rumput dengan bayaran yang tidak dipatok. Ia berkeliling komplek perumahan menawarkan jasa potong rumput ini setiap pagi hari bersamaan dengan anak-anaknya berangkat ke sekolah.

Namun di hari libur, Deimas selalu bersama ayahnya menaiki sepeda tua, ia bersemangat membantu ayahnya bekerja. Tanpa pikir panjang, membantu orang tua adalah hal yang harus dilakukannya. Sementara ibunya sendiri tidak bisa berbuat banyak karena sudah sejak lama ibu menderita penyakit kanker stadium 1 dan saat ini hanya dirawat di rumah bersama ayah, Deimas dan Mira.

Bagaimana ingin dirawat di rumah sakit, jika untuk makan saja masih kesulitan. Sebenarnya ayah pun mau melakukan yang terbaik untuk ibu agar cepat kembali sembuh dan berkumpul lagi bersama kami. Namun apa kata, penghasilan ayah dari bekerja sebagai seorang jasa pemotong rumput saja tidak cukup.

Saat ini hanya pengobatan alternatif yang bisa kami penuhi untuk kesembuhan ibu, itupun belum tentu menyembuhkan mungkin hanya meminimalkan resiko penyakitnya agar tidak semakin ganas. Namun segala cara tetap diusahakan agar ibu kembali bersama kami dengan bahagia.

Bersama adiknya, Mira, Deimas sepenuh hati menjaga dan merawat ibunya hingga sembuh total. Sekarang Mira membantu serta mengganti pekerjaan ibunya di rumah selagi ibunya masih sakit.

Mereka saat ini masih duduk di bangku SMP. Deimas sendiri sekarang kelas 9 dan Mira setingkat dibawahnya. Keduanya selalu bersama saat akan berangkat ke sekolah.

Pagi hari di sekolah.....
Pukul enam pagi, sudah waktunya Deimas untuk bergegas pergi ke sekolah bersama adiknya, Mira. Menuju tempat sekolahnya pun tak terlalu jauh dari rumah Deimas dan Mira karena dapat ditempuhnya dengan berjalan kaki saja. Sebelumnya mereka berpamitan terlebih dahulu kepada ayah.

Sesampainya di sekolah, koridor dan ruang-ruang kelas masih tampak sepi, maklum hari masih pagi buta dan mereka sudah sampai saja disana. Disitu Mira berpisah dengan Deimas untuk menuju kelasnya masing-masing. Deimas sendiri melangkahkan kakinya dengan santai menuju ruang kelasnya yang terletak di ujung koridor. Dia terbiasa menjadi siswa yang disiplin dengan tiba di sekolah paling pagi, karena itu prinsip yang tertanam yang diajarkan oleh ayah.

Di depan pintu kelas, dia berhenti sejenak, menghirup udara dalam-dalam. Merasakan aroma pagi yang masih sejuk dan segar. Deimas berjalan menuju mejanya yang terletak di ujung belakang ruangan lalu meletakkan tasnya. Mengambil beberapa buku, lalu memasukkannya ke laci meja untuk memudahkannya saat pelajaran nanti.

Bel pulang berbunyi.....
Mereka segera keluar kelas dan bergegas kembali menuju rumah.

Di satu waktu, Mira mendapati sepatunya yang berlubang pada bagian depan, apesnya dua-duanya rusak parah dan harus segera diperbaiki. Ia tidak memperhatikannya terlebih dahulu sebelum rusak parah. Segeralah Mira meminta bantuan kak Deimas untuk membantunya memperbaiki sepasang sepatu berwarna hitam tersebut ke tukang sol di pasar.

Sebab esok hari sepatu tersebut harus sudah dipakai kembali oleh Mira untuk bersekolah, ia sendiri tidak punya sepatu lagi dan sepatu itu hanya satu-satunya, mau tidak mau harus kembali rapi. Mendengar ucapan Mira tersebut, Deimas mengiyakan sekalian berbelanja di pasar karena disuruh oleh ayah. Deimas pun mengambil sepatu rusak hitam tersebut.

Keduanya membawa sepatu itu ke tukang sol dekat toko sayur di ujung jalan pasar tersebut. Cukup jauh, namun tidak ada lagi pilihan lagi hanya disitu. Melihat tukang sol tersebut sedang banyak pekerjaannya, lantas Deimas belanja terlebih dahulu di toko sebelah.

Namun sayang, ketika Deimas sedang berbelanja kentang di toko itu yang persis di sebelahnya, ia tidak sengaja, sepatu yang disisipkannya di antara sela-sela dagangan toko tersebut sudah hilang diambil oleh seorang tukang pengepul barang bekas bergerobak yang tidak memiliki penglihatan, yang sebelumnya sudah ada izin empunya toko untuk mengambil sepatu bekas itu (pemilik toko tidak tahu yang sebenarnya). 

Deimas bingung ketika mendapati tidak ada lagi sepatu adiknya yang telah dijanjikan akan dia bawa pulang untuk dipakai sekolah keesokan harinya. Padahal ia telah menanyakan kepada orang di sekitar tentang keberadaan sepatu tersebut, namun mereka tidak ada yang melihatnya. 

Meski awalnya ia panik karena sepatu satu-satunya sang adik hilang, namun Deimas mengutarakan hal tersebut dengan jujur pada Mira. Dan Deimas meminta adiknya, Mira agar tutup mulut karena takut akan kemarahan ayahnya yang tidak ingin menambah beban keluarga ini.

Deimas berjanji akan mencari sepatu tersebut sampai dapat. Namun hingga malam hari pun sepatunya tidak diketemukan. Sampai akhirnya hal yang seharusnya menjadi rahasia, terbuka sudah setelah ayahnya memarahi Deimas.

Namun ternyata hal yang dimarahi tersebut bukan karena menghilangkan sepatu milik adiknya sebab ayahnya tidak mengetahui akan itu, melainkan karena pulang larut malam sekaligus meninggalkan ibunya hanya berdua dengan Mira, adiknya.

Alhasil walaupun merasa lega Deimas tetap merasa bertanggung jawab akan itu sehingga ia pun sementara memutuskan untuk berbagi sepatu dengan Mira setiap harinya. Karena tidak ada pilihan lain dan esok harus sudah sekolah kembali. Meski sang adik kehilangan sepatu kesayangannya, Mira tidak mengeluh dan tetap pergi ke sekolah dengan kondisi seadanya.

Mereka berdua tetap harus ke sekolah walaupun harus berbagi sepatu setiap hari. Keputusan Deimas untuk berbagi sepatu tersebut karena ia tak mau memberatkan sang ayah yang tidak punya uang untuk membeli sepatu baru. Mereka memikirkan bagaimana caranya mereka berdua dapat bersekolah dengan menggunakan sepatu.
——
Keesokan harinya.....
Udara segar di pagi hari menyapanya dengan penuh ketenangan. Berangsur-angsur kehangatan matahari pagi membiaskan cahayanya menembus dinding kaca rumah untuk menerpa wajahnya. Menyambut indah Sang Mentari yang menyinari bilik kamar. Saat itulah dia bangun, lalu keluar menuju kamar mandi yang tidak jauh dari kamar tidur.

Ia sembari bingung hanya dengan memikirkan kejadian yang terjadi kemarin, membuatnya pusing bagaimana solusi untuk semua itu. Di pagi hari saja, Deimas sudah dibuat pusing akan itu.

Setelah mereka siap untuk bergegas pergi sekolah, Deimas dan Mira segera keluar pintu agar ayahnya tidak mengetahui kejadian ini. Saat di teras depan rumah, Deimas memberi sepasang sepatu miliknya untuk dipakai pertama oleh Mira, adiknya. Akhirnya Mira pergi ke sekolah memakai sepatu Deimas.

Lagian hari ini Deimas baru ingat jika sekolahnya saat ini membagi proses pembelajaran sebanyak dua kali yakni untuk kelas 7 dan 8 masuk di pagi hari dan kelas 9 juga dilanjut saat siang hari. Proses itu selalu bergantian, dirinya mendapati masuk sekolah di waktu siang hari sekitar pukul 12.00. Mira masuk sekolah pagi dan Deimas masuk sekolah siang.

Ketika sedang berbicara di depan teras rumah, tiba-tiba ayahnya datang menghampiri mereka berdua. Dan segera menanyakan perihal mengapa keduanya belum juga berangkat sekolah sebab hari sudah mulai menunjukkan tanda-tanda siang, matahari sudah menampakkan sinarnya. Ditakutkan Deimas dan Mira terlambat untuk mencapai sekolah.

"Nak, kok belum juga berangkat? Nanti kalian terlambat loh." ucap ayah kepada mereka dengan raut wajah yang heran,

"Ehhmm, ini yah ternyata aku sekarang masuk siang dan aku lupa tidak memberi tahu ayah terlebih dahulu. Makanya tadi aku malah langsung keluar" sahut Deimas dengan kaget akan kedatangan ayahnya yang tiba-tiba menghampiri di hadapannya.

"Iya yah hehehe, sekarang bagian aku kelas 7 dan 8 yang masuk pagi. Sekarang kok yah, ini mau berangkat" ujar Mira kepada ayahnya.

"Ohh begitu, yasudah nanti kamu ikut ayah yah, Dei. Dan untuk Mira ayo cepat berangkat sekarang nanti kamu telat terus gabisa mulai pelajaran pertama" ucap ayah mengajak Deimas untuk ikutnya bekerja bersamaan dengan meminta Mira segera berangkat sebelum fajar semakin terlihat.

"Oke yah laksanakan" sahut Deimas semangat, "Siap yah, aku berangkat dulu yah, Assalamual'alaikum. Dah" ujar Mira melambaikan tangan, segera pergi ke sekolah meninggalkan mereka berdua.

"Waalaikumsalam nak, hati-hati di jalan" ucap ayah dan Deimas kepada Mira.

Setelah Mira berangkat sekolah, ayah mengajak Deimas sebab masih ada waktu hingga siang hari untuk Deimas ikut dengan ayah membantu bekerja. Lagian Deimas sendiri senang bisa membantu ayah tanpa adanya paksaan.

"Deimas ayo kita masuk dulu, bentar lagi kita berangkat juga yah" ucap ayah mengajak masuk ke dalam.

"Ayo yah" sahut Deimas.

"Sekalian sambil sarapan bareng ibu di dalam biar kerjanya kita juga semangat" ayah memberi semangat kepada Deimas.

"Siap laksanakan ayah, hehe" semangat Deimas membara, walau saat ini pikirannya terbagi memikirkan masalah sepatu milik adiknya yang hilang.

Di waktu siang hari.....
Ketika waktu sudah menunjukkan tepat pukul 11.30, sudah waktunya giliran Deimas sekarang yang hendak untuk berangkat sekolah. Ia sudah bersiap setelah sebelumnya tadi pagi membantu ayahnya bekerja terlebih dahulu.

Akhirnya Mira datang kembali sepulang sekolah dengan tingkah seperti maling yang dikejar orang. Dia terlihat lelah, sembari melihat keadaan saat di perjalanan tadi agar tidak terlambat untuk bergantian sepatu. Mira datang tepat sebelum waktunya Deimas masuk sekolah siang.

"Kak, ini sepatunya" ucap Mira sembari memberi sepatunya dengan nada bicara seperti yang kelelahan.

"Ya sudah. Kamu segera masuk, salam ke ibu dan ayah. Kakak mau segera berangkat, mana sepatunya?" Jawab Deimas meyuruhnya segera masuk ke dalam agar tidak ketahuan ayah dan ibu.

"Iya kak" , "Assalamualikum kakak berangkat dulu" ujar Deimas segera berangkat agar tidak telat masuk. "Waalaikumsalam"

Deimas dengan sadarnya melangkahkan kakinya cepat menuju sekolah agar tidak terlambat.

Hari demi hari.....
Namun karena diharuskan untuk selalu bergantian memakai sepatu membuat hampir setiap harinya Deimas selalu terlambat sampai ke sekolah dan tak jarang kepala sekolah menghukumnya. Dikarenakan saat waktunya bergantian, Mira selalu tiba terlambat pulang ke rumah yang menyebabkan saatnya giliran Deimas, ia selalu telat untuk masuk. Tidak disalahkan juga, Mira selalu memiliki waktu tambahan jam pelajaran di sekolah, jadi tiba saatnya bergantian sepatu ia selalu terlambat pulang.

Hingga suatu ketika Deimas pernah memarahi adiknya, Mira, karena ia pun kebetulan hari itu terdapat ulangan di jam pertama yang apabila terlambat maka diharuskan keluar kelas. Dan sialnya, Deimas terlambat yang diketahui oleh guru yang melihatnya sedang berjalan menuju kelas. 

Mira pun merasa bersalah atas kejadian tersebut, meski Deimas pun tidak sepenuhnya menyalahkan Mira karena hanya keadaan yang membuatnya seperti ini. Ini kesalahan kita berdua dan kecerobohan yang berujung pada dampaknya terhadap kegiatan pembelajaran.

Kehidupan mereka yang pas-pasan semakin sulit karena ibunya sakit kanker sehingga gaji ayahnya banyak dikeluarkan untuk biaya berobat ibunya. Apabila memberi tahu masalah kehilangan sepatu ini kepada ayah dan ibu, maka hanya akan menambah beban untuk memikirkan hal itu.

Sebagai gambaran, selisih waktu antara selesainya kelas Mira dan masuknya kelas Deimas tidak banyak, sehingga diputuskan untuk saling bergantian memakai sepatu Deimas yang masih ada, dipakai Mira paginya, ketika pulang Deimas akan menanti di gang sempit dekat rumahnya untuk bergantian sepatu dan berlari sekuat tenaga ke sekolah agar tidak terlambat.

Kegiatan sekolah mereka pun makin terganggu dengan bergantiannya sepatu yang hanya ada satu namun dipakai oleh berdua. Hingga di suatu hari ketika Mira sedang berjalan melangkahkan kaki menuju rumahnya, ia tidak sengaja mendapati seorang anak yang tidak lain ternyata adalah adik kelasnya yang bersekolah di tempat yang sama dengan Mira.

Ia merasa penasaran sebab ia melihat anak itu seperti memakai sepatunya yang dikenakan oleh anak tersebut, agar tidak terjadi kesalahpahaman Mira segera berupaya membuntuti seorang anak tersebut hingga tepat di depan sebuah rumah. Menariknya, anak itu ke sekolah memakai sepatu yang diyakini Mira sebagai sepatunya yang hilang. Hal itu yang membuatnya penasaran sekaligus curiga.

Lalu, bersamaan dengan Deimas didatanginya rumah anak tersebut. Mira yang awalnya sempat marah terbakar emosi karena sepatunya dipakai orang lain dan berpikir jangan-jangan anak itu sebagai pelaku atas pencurian sepatu miliknya saat berada di pasar waktu itu, seketika mendadak tidak jadi marah dengan anak tersebut. Betapa terkejutnya saat melihat, karena ia nampak secara langsung anak itu lebih sulit kehidupannya dibandingkan ia dan Deimas, apalagi mendapati anak itu sedang membawa dagangan asongan untuk segera berjualan meski baru pulang sekolah. Ditambah, memiliki seorang ayah yang hidup dalam kondisi buta.

Alhasil, Mira pun mencoba ikhlas melepas sepatunya tersebut kepada orang lain.

"Tidak apa apa Mira, Allah pasti akan mengganti ini semua lebih baik dan kakak akan berusaha mendapat sepatu yang diinginkan kamu" ujar Deimas menenangkan Mira yang sedang sedih melihat kejadian itu.

"Iya kak, amin. Ini jadi pelajaran semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik lagi" sahut Mira mendoakan yang terbaik bagi mereka kedepannya.
——
Malam Jum'at di masjid.....
Malam ini ada sebuah pengajian di masjid yang tidak jauh dari rumah ayah, Deimas dan Mira. Ayah sudah terlebih dahulu berangkat menuju masjid sebab ayah yang juga menjadi seorang marbot masjid harus mempersiapkan semuanya agar pengajian ini berjalan lancar.

Sedangkan Deimas dan Mira berangkat terakhir sesudah ayahnya menuju masjid dekat rumah tadi. Ada satu ketika sesudah semuanya mempersiapkan untuk pengajian, ayah lupa dirinya sendiri belum membuat teh untuknya. Saat itupun Mira berinisiatif segera membuatkan teh untuk ayahnya.

Hal ini sebenarnya mengajarkan kepada anak-anaknya agar tidak mengambil sesuatu yang bukan haknya. Ini terjadi ketika ayah bersama Deimas dan Mira membantu memecah gumpalan gula yang nantinya akan digunakan untuk minum para jamaah pengajian di masjid.

Namun ketika sudah dibuatkan oleh Mira, teh tersebut ternyata kurang gula sehingga rasanya kurang manis. Dengan polos Mira mengatakan pada ayahnya agar mengambil sebagian gula yang telah mereka pecahkan bersama tadi untuk dimasukkan ke dalam gelas teh sang ayah.

Mendengar pinta anak gadisnya itu, ayah menolaknya dengan alasan gula-gula tersebut punya masjid sehingga bukan hak dia dan keluarganya untuk mengambil.

Kejujuran menjadi hal yang paling utama di atas segalanya walaupun kita berada di keadaan terdesak sekalipun. Pelajaran berharga itu yang dicontohkan ayah kepada anak-anaknya. Meskipun ayah dan keluarganya sendiri memiliki kondisi ekonomi yang terbatas, tidak serta merta harus mengambil hak yang lain.

Bahwa prinsip kejujuran harus dimiliki oleh siapa saja baik kaya dan miskin. Sehingga seseorang hanya boleh mengambil sesuatu yang halal dari hasil jerih payahnya saja dan tidak mengambil dari orang lain.

Kejadian itu sama halnya dengan masalah yang dihadapi Deimas sekarang, bahwa untuk mendapatkan sepatu Mira kembali tidak harus mengambil punya orang lain walau terdesak sekalipun. Harus mendapatkannya lagi dengan bekerja keras agar dapat bersekolah dengan menggunakan sepatu.

Setelah selesai pengajian di masjid, ayahnya Deimas dipinjami seperangkat alat-alat pertamanan yang dapat digunakannya untuk merawat taman di rumah orang-orang kaya di kota oleh temannya. Agar ayah dapat bekerja dengan semaksimal mungkin, meski saat ini ayah bekerja tidak menentu terkadang berbeda-beda tiap bulannya bahkan tiap minggunya, namun itu tidak menyurutkan aku bangga terhadapnya karena seorang pekerja keras dan pantang menyerah  untuk keluarga.

Hingga esoknya di pagi hari yang cerah, awan biru menampakkan wujudnya beriringan dengan langit indah tiada duanya. Hari Ju’m’at saat itu merupakan hari libur, ayah dan Deimas menuju ke kota untuk menawarkan jasa pemeliharaan taman. Setelah memutari kompleks perumahan elit, dan dengan kecerdasan Deimas serta sedikit keberuntungan, ada seorang kakek dengan cucunya yang menggunakan jasa perawatan taman kedua ayah beranak tersebut.

Dan keduanya awalnya dipanggil bukan karena si kakek sedang ingin merawat tamannya, tapi lebih karena si cucunya tersebut meminta agar bisa bermain dengan Deimas. Dan saat telah selesai, mereka pun mendapatkan bayaran yang melebihi bayangan mereka sebelumnya. Sebab sebanding dengan hasilnya yang bagus dan indah. Hal itu tidak bisa ditolak, sudah rezeki keluarganya mendapat bayaran yang tidak terduga hari itu.

Ketika sudah selesai mengerjakan pekerjaan di rumah kakek yang tadi, nahas saat sedang santainya mengayuh sepeda, ayah mendapati sepeda yang mereka naiki bersama Deimas mengalami rem blong. Yang membuat mereka terjatuh dan tersungkur ke samping jalan dengan luka yang cukup serius pada ayah namun masih bisa tertangani sebab kebetulan ada orang-orang yang sedang berjalan di tepi jalan untuk segera mengangkat dan membantu ayah, sedangkan Deimas baik-baik saja.
——
Perlombaan sepakbola antar sekolah diadakan di hari libur sekolah.....
Suatu hari di sekolah Deimas diadakan pendaftaran untuk lomba kejuaraan sepakbola antar sekolah dengan bocoran pemenang lomba ini timnya akan mendapat piala dan sertifikat serta yang tak kalah menarik yaitu sepatu sepakbola ditambah sepatu sekolah di dalamnya apabila suatu tim memenangkan pertandingan tersebut hingga memperoleh juara ke 1.

Lomba ini sekaligus menjadi ajang untuk menunjukkan dirinya dalam kemampuan bermain sepakbola terlebih alasan lain yakni hadiah sepatu yang bisa diberikannya kepada sang adik, Mira, yang telah dijanjikannya untuk mengganti sepatu milik Mira yang hilang.

Tanpa pikir panjang akhirnya Deimas mengikuti perlombaan tersebut karena hadiahnya tersebut yang mendorongnya untuk bekerja keras mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Deimas berusaha ikut meskipun ada kendala yakni pendaftaran yang telah ditutup.

Namun setelah membujuk dan menunjukkannya keahliannya dalam bermain, tim Deimas pun diterima oleh guru olahraga untuk ikut serta dalam lomba kali ini dan mewakilkan sekolahnya. Maka akan segera didaftarkan.

Perjuangan Deimas yang rela mengikuti lomba sepakbola ini demi mendapatkan hadiah sepatu. Ia sangat berharap bisa mendapatkan juara 1 lomba tersebut karena bisa memperoleh sepatu untuk adiknya sebagai ganti sepatu yang telah hilang.

Semangat Deimas untuk mengikuti lomba tersebut sangat menyentuh penonton, sebab ia berusaha dengan kemampuannya yang dimilikinya untuk membantu tim agar memenangkan pertandingan, lantaran ia tak punya dana untuk membeli sepatu baru.

Modal utama Deimas bisa berlari kencang dan tidak merasa lelah, salah satunya karena ia harus bertukar sepatu dengan adiknya di perempatan jalan setiap pulang sekolah. Kondisi ini menuntut Deimas mau tidak mau harus berlari mengejar bola. Agar kemenangannya dapat tercapai serta Mira tidak perlu bertukar sepatu dengannya lagi dan tidak terlambat tiba ke sekolah.

Pada hari pertandingan, ternyata tidak semudah itu untuk menjadi juara ke 1, tim dari sekolah lain pun hebat dalam bermain sepakbola, namun berbekal tiap hari Deimas harus lari pulang pergi sekolah (karena mengejar waktu agar tidak telat karena harus bergantian sepatu dengan adiknya), dapatlah tim Deimas menjadi lima tim pertama yang melaju ke babak berikutnya setelah mengalahkan sekolah lain dengan skor yang cukup telak.

Bahkan di babak berikutnya tim Deimas mendapat lawan yang setidaknya satu tingkat kemampuannya diatas tim mereka. Deimas pun sudah merasa putus asa jika kali ini timnya akan mengalami kekalahan. Namun atas kerja sama tim, ternyata Deimas dan kawan-kawan mampu melangkah lebih jauh dan mengalahkan tim sekolah lain itu dengan skor yang sangat tipis. Harapan Deimas tinggal selangkah lagi untuk mendapatkan keinginannya yang selama ini tidak tahu harus bagaimana memperolehnya.

Tiba saatnya petandingan final dilaksanakan, serangkaian pertandingan yang dilakoni tim Deimas sebelumnya sudah terlaksana. Dan hari ini Deimas & kawan-kawan mencapai babak final. Tim sepakbola sekolah Deimas melawan tim sepakbola sekolah lain.

Kali ini atmosfernya berbeda sebab ini pertandingan final yang siapa saja tim tersebut tidak fokus dan melenceng sedikit saja, maka kekalahan tampak di depan mata. Hingga peluit akhir dibunyikan skor masih sama kuat dan dilanjutkan dengan babak adu penalti.

Deimas terpilih oleh guru olahraganya untuk menjadi penendang kelima atau penendang terakhir sebagai penentu untuk mengeksekusi penalti ini. Di satu sisi ia merasa terbebani akan hal itu namun di satu ini menjadi pembuktian untuk timnya agar mendapatkan kemenangan serta menjadi juara ke 1.

Sayangnya takdir berkata lain, timnya harus menelan kekalahan. Kemenangan yang sudah di depan mata harus buyar setelah sialnya penendang terakhir yakni Deimas sendiri harus gagal mengeksekusi tendangan karena berhasil ditepis oleh penjaga gawang. Padahal ia sudah menempatkan bola ke tiang bawah sebelah kanan gawang, namun kiper sekolah lain lebih fokus sehingga bisa menghalaunya.

Betapa kecewanya Deimas sebab lomba itulah yang menjadi satu-satunya untuk ia memeproleh sepatu sekolah untuk adiknya. Karena di juara 2 tidak tercantum  mendapatkan sepatu sekolah.

Saat penyerahan hadiah, Deimas malah sedih dan menangis, terbayang wajah kekecewaan adiknya (karena juara kedua hadiahnya bukanlah sepatu sekolah) serta pelatih dan pemain setim, tetapi hanya berupa sebuah piala dan penghargaann sertifikat.

Di lain tempat pada saat yang sama, diperlihatkan ayah Deimas sedang berbelanja ke pasar dengan menggunakan sepedanya, terlihat dalam bungkusan membawa dua pasang sepatu berwarna putih dan hitam untuk kedua anaknya.

Saat Deimas sampai di rumah, adiknya telah menunggu namun Deimas tidak berkata apa-apa. Dalam keadaan kakinya yang mengelupas sehabis ditekel pemain lawan tadi, dimasukkannya kaki ke dalam kolam ikan di depan rumahnya dan sang ikan pun secara ajaib mengerubungi kaki Deimas tersebut. Deimas sedih bukan main karena gagal mendapatkan hadiah sepatu.

Namun Mira pun menerima dengan lapang dada keberhasilan kakaknya dan tidak berkecil hati walaupun tidak membawa sepatu yang akan dibawa oleh kakaknya.

Yang pada akhirnya usaha dan do’a mereka mendapat jawaban dari Allah dimana biaya berobat ibunya ditanggung oleh kantor ayahnya sehingga ayahnya bisa membelikan mereka berdua sepatu, satu berwarna hitam dan satu berwarna putih untuk Deimas dan Mira. Bahwa cinta dan kasih sayang yang kuat akan menumbuhkan semangat untuk berjuang.

Walaupun keadaan susah tapi sekolah tetap yang utama. Dan keinginan ayahnya yang kuat agar anak-anaknya berada di lingkungan yang baik menunjukkan orangtua yang turut bertanggung jawab akan masa depan anaknya. Serta kepasrahan kepada Sang Pemilik Hidup untuk esok hari yang lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun