Mohon tunggu...
B A D R U S
B A D R U S Mohon Tunggu... Dosen - Guru

Membaca/Menulis/Ekstrovert/Suka bercerita segala hal

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kredo Perempuan dalam Naungan Agama

17 Januari 2023   17:02 Diperbarui: 17 Januari 2023   17:04 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kredo Perempuan dalam Naungan Agama

Oleh: Mohammad Badrus Sholih

Problem esksistensi perempuan terhalang dengan bermacam-macam struktur kehidupan. Bias kuta lihat bagaimana perempuan dihadang oleh problem sosial, agama, politik, ekonomi, dan juga kebudayaan. Dalam agama contohnya, perempuan dipaksa untuk hidup dalam dunia ilusif, membayangkan segala hal yang mustahil untuk ia capai---bagaikan hidup dalam dunia mimpi yang meninabobokan mereka dalam tidur sangat nyaman---dengan agama sebagai alat legitimasi adekuat yang taktergoyahkan.

Produk kapitalisme seperti tegnologi hari ini menjadi alat pemanjangan, penguatan, dan mengokohkan wacana-wacana patriarkis---perempuan dengan tubuh yang gemulai, sifat yang lembut, wajib menempati tempatnya yang hakiki, di rumah misalnya, perempuan tidak dapat menjadi masuk dalam ruang-ruang publik musabab dirinya yang diidentikkan sebagai perhiasaan, dan pada akhirnya menjadi fitnah dunia, atau bahkan dirinya terdoktrin untuk patuh pada laki-laki dan wahyu untuk rela dipoligami, karena agama akan memberinya pahala yang berkali-kali lipat---mulai bias kita temukan dalam media sosial seperti Instagram, twitter, dan yang lainnya. Dari sana perempuan masuk dalam dunia simulasi yang membawanya pada kehidupan hyperrealitas.

Pamong agama, birokrasi, dan pemegang kebudayaan tidak lagi menjadi garda depan penumpasan terhadap alienasi perempuan. Mereka turut campur tangan untuk lalu melanggengkan wacana-wacana tersebut dengan selalu membawanya dalam wacana verbal dalam forum-forum domestic maupun public. Lagi-lagi perempuan tidak bergeming dalam realitas hidup. Lantas mereka berbondong-bondong mencari kehidupan yang bias mereka ciptakan dengan arbitrer, yaitu dunia ilusif.

Agama sebagai produk kebudayaan sosial diartikan dalam banyak hal untuk mengukuhkan struktur status quo kekuasaan. Agama tidak lagi menjadi sebuah nilai sebagai aslah akal budi mereka untuk masa depan yang lebih baik, melainkan agama ditransmisikan dalam bentuknya yang toxic. Oleh karena itu agama tidak lagi menjadi pembebasan bagi manusia itu sendiri khusunya perempuan. Maka, perempuan tidak lagi digdaya dalam ranah public maupun domestic ataupun pada tubuhnya sendiri.

Perempuan dan Dunia Ilusif

wacana-wacana agama sebagai legitimasi adekuat bagi kelas sosial tertentu telah terendus oleh tokoh-tokoh pemikir seperti Marx dan Durkheim. Mereka menyatakan bagaimana agama digunakan sebagai produk sosial demi leberlangsungan kekuasaan, dan kepentingan yang diinginkan, begitupun sebagai struktur keteraturan sosial masyarakat. 

Oleh karena itu fungsi agama tidak lagi sebagai wadah komitmen untuk membangun proykesi kehidupan Bersama dalam masyarakat, melainkan wujud pembenaran, penegasian, pendeskreditan bagi ketidakadilan yang dialami kaum-kaum ploretar, dan perempuan.

Fenomena perebutan kekuasaan oleh kaum Taliban terhadap pemerintahan yang sah di Afghanistan adalah cermin bagaimana agama menjadi alat legitimasi adekuat status quo bagi Taliban, dengan mengganti kementrian urusan perempuan dengan polisi agama sebagai kredo penyebar kebajikan, serta meumpas kejahatan[1]. Namun, realitas tersebut menyebabkan diskriminasi terhadap perempuan untuk bisa memilih hak berpakaian, eksis dalam ruang publik, dan Pendidikan seperti yang mereka mau. Pada titik itu, jelas bahwasanya peraturan yang berlaku tersebut bertujuan semata hanya menumbuhkan ruang-ruang alienasi dan mengakarkan pemahaman yang kokoh pada subjek perempuan.

 

Realitas hari ini menyebabkan perempuan sendiri nyaman dalam ketertindakannya itu sendiri. Produk agama sebagai legitimasi membuat mereka tertidur pulas dalam dunia ilusif. Sehingga banyak kita temukan bagaimana perempuan juga menjadi subjek dalam mentransmisikan wacana patriarki dalam kehidupan sosial. Kita tidak akan asing dengan perkataan "jadi perempuan jangan mahal-mahal", "perempuan tidak boleh lebih tinggi dariapad laki-laki, nanti gak laku", "ridha perempuan ada pada laki-laki, maka janga membantah terhadap perintahnya" dan masih bisa temukan yang lain.

 

Pada titik itu, perempuan terkastrasi, teralienasi dan jouissance harus ia relakan untuk dinikmati oleh orang lain. Artinya, perempuan tidak lagi bisa menentukan nasib bagi dirinya sendiri, ia masuk dalam dunia yang didekte oleh 'others', meniscayakan keberlangsungan hidup spiral ketertindasan yang tak berujung. Perempuan berpindah untuk menemukan kehidupannya yang nyaman. Agama dalam fungsinya menstruktur dan melegitimasi kekuasaan, juga sarana ilusi bagi mereka untuk merasa nyaman. ia menyodorkan surga sebagai ruang esensial yang akan mereka dapatkan, dengan penggambaran sosok bidadari, rumah megah dengan danau-danau yang akan mereka nikmati kelak, dan bahkan menyatakan bahwa hanya mereka yang akan menikmatinya.

 

Problem kehidupan ilusif yang disebabkan oleh agama juga dikritik oleh Marx. Baginya situasi ketertindasan tidak lantas membuat mereka mencari jalan keluar dari kenyataan ketertindasan (eskapis) menuju pada dunia yang bebas tanpa adanya ketertindasan, melainkan memilih jalan fantasmatis surgawi---hal itu menjadi alasan Marx menyatakan 'agama itu candu'---realita ini masuk dalam post-truth yang berkelindan, berkonvergen pada titik ketertindasan perempuan.

 

Kaum perempuan harus bangun dari tidur panjangnya, melihat realitas sesusngguhnya dengan berpondasikan eksistensi kebebasan (teologi pembebasan) sebagai kehidupan yang utuh dan otonom, merujuk pada agama sebagai nilai-nilai atau alat pembebasan dalam segala hal, bukan lagi alat legitimasi yang kokoh untuk menyatakan pembenaran bagi sebagian kelompok penguasa untuk mengokohkan status quo mereka.

 

Perempuan dan Gerekan Redefinisi Realitas 

 

Tidak sedikit perempuan yang turun tangan menangguhkan segala bentuk legitimasi agama bagi pengakaran status quo. Seperti Nawal el-Sa'dawi, Fatima Mernissi, Amina Wadud, Isutzu dan yang lain. Gerakan redefinisi realitas dalam ranah agama mereka lakukan dalam bidangnya masing-masing. Nawal meredefinisi eksistensi perempuan dengan menangguhkan legitimasi agama terhadap perempuan melalui karya sastra. Gerakan tersebut diekspresikan dalam novelnya 'Jatuhnya Sang Imam', 'Perempuan dari Titik Nol', 'Memoar Dokter Perempuan', 'Zeinah', dan 'Perjalanan Perempuan'. Kontrusksi geopolitik Mesir dengan mengedepankan agama sebagai alat legitimasi menegasikan perempuan sebagai subjek yang seharusnya diperhitungkan, namun kenyataan tidak demikian.

 

Dalam bidang tafsir bisa kita lihat konfrontasi Fatima Mernissi, Amina Wadud, dan Isutzu untuk memaknai ulang ayat-ayat yang ditunggangi kepentingan oleh kaum laki-laki yang bias, dan misoginis. Hal tersebut tidak bisa dipungkiri musabab ihwal budaya patriarki yang mengakar, mendoktrin, dan membentuk pemahaman bahwa perempuan hanya sekadar objek. 

Perempuan tidak lagi tidur, ia bangun dan menulis kembali dirinya dalam bentuknya yang utuh, dan bebas. Misalnya perempuan dalam kehidupan pernikahan, eksistensi perempuan dalam domestic dan public, perempuan sosial, agama, politik, dan juga kebudayaan kemudian direfenisi ulang dengan bentuknya yang lain, mengejawantakkan budaya patriarki, memandang kembali perempuan dari perempuan itu sendiri. 

Apa yang dilakukan oleh perempuan-perempuan tersebut adalah bentuk kesadaran dan penyadaaran bagi yang lain, bahwa agama pada akhirnya diletakkan pada tempatnya yang tepat, yaitu sebagai ruang kebersamaan, dan pembebasan. Perempuan tidak lagi hidup dalam mimpi yang berkepanjangan, menilai surgawi adalah nilai entitas mereka yang hakiki dengan tetap tunduk dan menyatakan bahwa mereka tertindas di dunia, dan akan mendapatkan kebahagiaan yang sempurna di akhirat kelak.

 

Mendudukkan kembali Agama

 

Kredo di atas bukan lantas menyatakan agama sebagai momok utama atau primer dalam ketertindasan, alienasi, dan ilusi perempuan dalam realitas kehidupan. Melainkan bagaimana problem tersebut muncul musabab keadaan masyarakat yang menghenadaki kekuasaan yang utuh, otonom, dengan arogansi maskulinitas yang toxic, dengan melegalkan agama sebagai alat legitimasi mereka mendapatkan semua keinginan mereka yang terbentuk oleh kapitalisme yang carut-marut.

 

Agama hanyalah gejala sekunder bagi setiap gejala-gejala yang membuat perempuan tertindas, dan teralienasi. Hanya agama yang mampu meredakan segala eksistensi mereka untuk bebas, karena hanya agamalah yang mampu meninabobokan mereka dari realitas ketidakpastian hidup dan penderitaan tak berujung. Dengan agama perempuan mengira mereka dapat merealisasikan diri, eksistensi mereka bisa hidup, berkembang, dan menemukan ruangnya yang tepat, padahal mereka hanya tidak diberikan ruang yang layak untuk merealisasikan diri mereka sendiri.

 

Maka, agama harus didudukkan kembali pada tempatnya yang tepat, menjadi alat pembebasan, eksistensi, dan ruang kebersamaan bagi segala manusia di alam semesta ini, dengan melihat manusia sebagai entitas akal budi yang setara.

 

 

Yogyakarta, 24 Oktober 2022

 

 

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun