Mohon tunggu...
B A D R U S
B A D R U S Mohon Tunggu... Dosen - Guru

Membaca/Menulis/Ekstrovert/Suka bercerita segala hal

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kredo Perempuan dalam Naungan Agama

17 Januari 2023   17:02 Diperbarui: 17 Januari 2023   17:04 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

 

Dalam bidang tafsir bisa kita lihat konfrontasi Fatima Mernissi, Amina Wadud, dan Isutzu untuk memaknai ulang ayat-ayat yang ditunggangi kepentingan oleh kaum laki-laki yang bias, dan misoginis. Hal tersebut tidak bisa dipungkiri musabab ihwal budaya patriarki yang mengakar, mendoktrin, dan membentuk pemahaman bahwa perempuan hanya sekadar objek. 

Perempuan tidak lagi tidur, ia bangun dan menulis kembali dirinya dalam bentuknya yang utuh, dan bebas. Misalnya perempuan dalam kehidupan pernikahan, eksistensi perempuan dalam domestic dan public, perempuan sosial, agama, politik, dan juga kebudayaan kemudian direfenisi ulang dengan bentuknya yang lain, mengejawantakkan budaya patriarki, memandang kembali perempuan dari perempuan itu sendiri. 

Apa yang dilakukan oleh perempuan-perempuan tersebut adalah bentuk kesadaran dan penyadaaran bagi yang lain, bahwa agama pada akhirnya diletakkan pada tempatnya yang tepat, yaitu sebagai ruang kebersamaan, dan pembebasan. Perempuan tidak lagi hidup dalam mimpi yang berkepanjangan, menilai surgawi adalah nilai entitas mereka yang hakiki dengan tetap tunduk dan menyatakan bahwa mereka tertindas di dunia, dan akan mendapatkan kebahagiaan yang sempurna di akhirat kelak.

 

Mendudukkan kembali Agama

 

Kredo di atas bukan lantas menyatakan agama sebagai momok utama atau primer dalam ketertindasan, alienasi, dan ilusi perempuan dalam realitas kehidupan. Melainkan bagaimana problem tersebut muncul musabab keadaan masyarakat yang menghenadaki kekuasaan yang utuh, otonom, dengan arogansi maskulinitas yang toxic, dengan melegalkan agama sebagai alat legitimasi mereka mendapatkan semua keinginan mereka yang terbentuk oleh kapitalisme yang carut-marut.

 

Agama hanyalah gejala sekunder bagi setiap gejala-gejala yang membuat perempuan tertindas, dan teralienasi. Hanya agama yang mampu meredakan segala eksistensi mereka untuk bebas, karena hanya agamalah yang mampu meninabobokan mereka dari realitas ketidakpastian hidup dan penderitaan tak berujung. Dengan agama perempuan mengira mereka dapat merealisasikan diri, eksistensi mereka bisa hidup, berkembang, dan menemukan ruangnya yang tepat, padahal mereka hanya tidak diberikan ruang yang layak untuk merealisasikan diri mereka sendiri.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun