Mohon tunggu...
Badrun Niam
Badrun Niam Mohon Tunggu... Peternak - Guru, Peternak dan Penggemar Sepakbola

Tulisan berasal dari pengamatan, pengalaman dan buku bacaan. | Happy Reading and Writing :) | Mari Berdikusi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pilih Kampus Pendidikan, Antara UNS dan UNNES

11 Januari 2021   12:04 Diperbarui: 11 Januari 2021   12:19 5099
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Andrea Piacquaido (pexels.com)

Sebelum Anda membaca lebih jauh, saya sampaikan bahwa ini semua adalah pendapat saya secara pribadi. Sehingga tingkat subyektivitas lumayan tinggi. Mohon maaf, hanya berbagi referensi tentang apa yang saya alami dan amati. Jadi jika ada yang tak setuju, itu hal wajar setiap orang berhak berpendapat sesuai argumen yang dimiliki.

Oke lanjut ya. :) 

*Sepenggal kisah

Saya merupakan lulusan dari salah satu SMA di kota Cepu, Blora pada tahun 2013. Saya terlahir dari keluarga petani sederhana di sebuah desa. Selain itu, kebanyakan dari kerabat saya (kakak, bibi, sepupu) dan tetangga sekitar merupakan guru SD. Sehingga secara tidak langsung saya terpengaruh untuk mengambil jurusan Pendidikan Guru SD (PGSD) juga. 

Waktu saya dipanggil dan berdiskusi dengan salah satu guru BK secara empat mata, akhirnya saya disarankan untuk mengambil pendidikan kimia saja. Untuk kampusnya disarankan keluarga di UNNES karena banyak kerabat di Semarang. 

Di tahun itu seleksi ada 3 jalur, yaitu SNMPTN, SBMPTN dan Mandiri. Singkat cerita, karena tidak lolos jalur SNMPTN, saya mengikuti tes SBMPTN di UNNES Semarang. Alhamdulillah, akhirnya lolos juga dan  diterima sebagai mahasiswa Pendidikan Kimia di UNS Solo.

Lho kok bisa?

Berikut penjelasannya sekaligus tips memilih kampus versi saya.

1. Temukan Passion

Tips ini mungkin terdengar klasik. Tapi bagi saya ini sangat penting, karena proses saat kuliah lebih melelahkan daripada saat proses seleksi masuk kuliah. Saat kuliah dibutuhkan kurang lebih 4 tahun untuk program Sarjana. 

Dengan waktu yang lumayan panjang tak seperti saat SMP atau SMA yang hanya butuh 3 tahun, tentu jika jurusan itu tidak sesuai passion, akan merasa tidak betah dan angin-anginan. 

"Menurut hemat saya, passion itu sesuatu yang membuat kita betah dan bahagia berada disana sekaligus bersedia menderita selama menjalani prosesnya."

Lalu mengapa saya memilih jurusan Pendidikan Kimia? Karena saya sangat senang dalam mengajar. Ada kepuasan tersendiri apabila ada seseorang yang awalnya tidak paham menjadi paham atau yang awalnya bingung menjadi tercerahkan. Apalagi jika itu lewat pendampingan saya. Jadi, bidang pendidikan menjadi salah satu hal yang saya minati.

Lalu mengapa pilih kimia? Karena saya saat SMA berada dalam jurusan IPA dan saya merasakan pelajaran kimia itu berimbang antara hitungan dan hafalan. Hitungannya tak seribet Matematika dan Fisika. Hafalannya pun tak sebanyak biologi. Jadi kimia itu seimbang. Selain itu karena masih satu rumpun yaitu saintek. Jika PGSD masuk rumpun soshum maka ketika mau kesana artinya harus menyebrang rumpun.. Saat seleksi juga harus mengerjakan soal-soal Ekonomi, Sosiologi dan Geografi. Saya tidak mau sampai seribet itu. 

Saya pun selama kuliah menikmati apapun yang terjadi. Begadang, buat laporan praktikum tulisan tangan, buat makalah, punya dosen galak dan perfeksionis, tak sengaja sedikit menghirup zat beracun, merasa pengap di laboratorium berjam-jam karena harus memakai APD dan sebagainya. Intinya harus bahagia dan siap menderita dengan berbagai kondisi yang ada.

2. Prospek Karier

Apa sih tujuan utama dari kuliah? Membanggakan orang tua, mencari ilmu, agar karirnya lebih cemerlang, mengisi waktu luang, iseng-iseng merantau untuk kuliah biar tak dicap pengangguran di rumah, dan sebagainya. Tentu semua memiliki tujuan masing-masing ketika kuliah. Tujuan utama biasanya terkait karir atau pekerjaan ke depan. 

Ada yang masuk jurusan teknik agar bisa bekerja di perusahaan besar dan terpandang. Ada yang masuk kedokteran karena bidang kesehatan jadi bidang paling krusial dan selalu dibutuhkan. 

Untuk pendidikan kimia bagi saya lumayan prospek karena bisa menjadi guru kimia di SMA/sederajat atau guru IPA di SMP/sederajat. Apabila tak jadi guru, bisa juga membuka les privat atau bergabung ke lembaga bimbingan belajar sebagai tutor. Apalagi saya merasa bahwa memang passion saya ada disana.

Namun, lama kelamaan, minat saya menjadi guru kimia mulai meluntur karena melihat kebijakan pemerintah terkait status guru honorer dan persaingan menjadi guru lebih ketat. Apalagi saat itu sudah mulai digulirkan Program PPG (Pendidikan Profesi Guru) semacam sertifikasi untuk menyaring guru yang lebih kompeten. Padahal selama kuliah, kami juga diajari cara dan praktik langsung bagaimana cara mengajar. 

Sebenarnya niat untuk menyaring guru yang berkompeten itu bagus namun bagian yang saya tidak setuju yaitu ketika ada peraturan yang memperbolehkan lulusan dari non kependidikan boleh ikut PPG. Tentu hal ini semakin menipiskan peluang bagi kami yang lulusan kependidikan. Apalagi kebijakan terbaru tentang CPNS dan P3K untuk guru-guru, masih menjadi pro kontra. 

Sehingga di akhir-akhir masa kuliah saya merenung dan mencoba mencari passion baru. Mulai dari ikut berorganisasi di kampus hingga ikut berbagai seminar. Pada akhirnya saya menemukan passion baru yaitu dunia bisnis dan peternakan. Dimana dua bidang ini sedang saya mulai kembangkan. 

"Kuliah bukan hanya bertujuan untuk mencari kerja, tapi juga mencari cara bagaimana bekerja yang baik dan menghasilkan karya terbaik" 

3. Passing Grade

Saya gagal SNMPTN karena salah memasukkan Pendidikan Kimia UNNES di prioritas pertama padahal passing gradenya lebih rendah daripada UNESA (Pilih ke Surabaya sebagai cadangan karena ikut teman saja). Jadi nilai rapot saya tidak bisa membuat lolos SNMPTN di UNNES apalagi di prioritas kedua yang passing gradenya lebih tinggi. 

Lalu di SBMPTN saya meletakkan yang UNS di prioritas 1 sedangkan UNNES di prioritas 2. Pada tahun tersebut, passing grade Pendidikan Kimia UNS sebesar 36,5 %, dan UNNES sebesar 28,3%. Akhirnya lolos di pillihan pertama yaitu UNS.

Sebenarnya setiap kampus tidak merilis resmi passing grade yang dimiliki. Kampus hanya merilis jatah tiap jurusan dan peminat di tahun sebelumnya (Tingkat Keketatan) sebagai gambaran. Namun, melihat kasus saya di atas, data passing grade dari internet itu bisa juga jadi bahan pertimbangan di samping tingkat keketatan. 

4. Transportasi

Untuk bidang transportasi, saya rasa UNS lebih baik daripada UNNES. Karena saat saya ikut tes SBMPTN di UNNES saya merasakan sendiri harus naik beberapa transportasi. Naik kereta dari Stasiun Cepu ke stasiun Poncol Semarang. Setelah itu harus naik angkot 3 kali baru bisa sampai di UNNES. Apalagi jika tau bahwa saya adalah pendatang, supirnya agak jahil, tarifnya dinaikkan. Letak kampusnya berada di daerah pegunungan sehingga banyak jalan naik turun. 

Sedangkan di UNS, saya cuma naik bus 2 kali dari terminal Cepu ke Ngawi, lalu  pindah bus Jurusan Surabaya-Yogyakarta dan turun di depan kampus UNS. Karena letak kampus UNS berada di pinggir jalan Provinsi. Jika turun di stasiun Balapan atau Bandara Adi Sumarmo, tinggal naik BST (Batik Solo Trans) atau ojek online sudah bisa sampai depan kampus.

5. Biaya Hidup

Menurut saya biaya hidup di Solo lebih murah daripada di Semarang. Saat ikut seleksi SBMPTN di UNNES saya bisa habis sekitar Rp. 8.000 - Rp. 12.000 sekali makan soto. Sedangkan di Solo Rp. 5000 - Rp. 7000, sudah bisa dapat makan soto dan es teh. 

Belum lagi di Solo banyak angkringan atau warung Pokwe (Jupok Dewe) yang memanjakan kantong mahasiswa perantauan saat akhir bulan tak banyak uang. Untuk kos-kosan juga murah sekitar 250 ribu hingga 400 ribu sesuai kebutuhan. Apalagi jika bayarnya per semester atau per tahun tentu ada potongan harga.

6. Lingkungan Sosial

Solo terkenal dengan masyarakatnya yang halus, ramah dan sangat menjunjung tinggi nilai budaya serta punya tata kota yang baik. Tak heran jika pada tahun 2019, Solo mendapatkan predikat pertama kota layak huni versi IAP (Ikatan Ahli Perencanaan) dengan tingkat kelayakan 66,9% sedangkan Semarang ada di peringkat 5 dengan presentase 65,6%. 

Saya paling kagum dengan fakta bahwa di Solo memiliki corak yang berwarna.
- NU ada
- Muhammadiyah ada, bahkan punya kampus terbaik dan termegah di sana (Kampus UMS)
- MTA, pusatnya disana
- LDII ada
- HTI sempat ada
- Budaya berbau klenik juga masih ada dalam bentuk event-event di keraton Solo

Saya dari Cepu yang notabene dari kalangan NU, sangat bersyukur selama kuliah di Solo. Karena bisa melihat langsung berbagai perbedaan itu. Sehingga saya mulai terbiasa untuk tidak kagetan dan nggumunan (Bahasa Jawa: kaget dan heran berlebihan) terhadap sesuatu yang baru. Perbedaan yang katanya rawan konflik, justru terlihat indah jika saling menghormati dan tak saling mengusik. 

"Dikelilingi banyak orang dengan cara pandang yang berbeda denganmu sangatlah bermanfaat." (Nadiem Makarim)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun