Ketika lampu dinyalakan,  tampak seorang lelaki tengah memahat batu.  Namun sejurus kemudian,  lelaki itu memahat tubuhnya dan  kepalanya. Dua orang perempuan di belakang yang berdiri seperti patung arca,  mulai bergerak.  Mereka menggerakkan ember yang berisi batu kerikil. Â
Suara batu-batu itu seperti suara ombak lautan. Atau suara rintihan alam yang magis.Kemudian masuk sosok lelaki menyapu panggung. Membersihkan segala yang kotor. Mungkin kita akan diingatkan, Â bahwa negeri ini butuh pembersih. Â Semua harus disapu bersih. Â Dan kita teringat pada Gedung Kejaksaan Agung yang terbakar.
Itulah adegan pembuka "Batu Penanda Yang Menggelinding" Minggu (23/8) yang dimainkan Teater Rumah Mata secara offline dan online dari studio Kosambi. Â Reportoar 30 menit ini,dibuat berdasarkan puisi Tsi Taura yang berjudul Situs Kota Cina.
Agus Susilo sangat energik dalam melakoni peran demi peran. Â Dimulai dengan memahat batu, Â Agus yang sekaligus sebagai sutradara ini, Â ingin menggambarkan, peristiwa pada seribu tahun lalu. Â Dimana orang masih menggunakan batu untuk teknologi. Â Namun juga patung-patung sebagai persembahan.
Tetapi apakah batu-batu dari masa lalu itu harus teronggok begitu saja dalam museum-meseum? Bukankah batu-batu itu, menjadi penanda juga dan mengikuti zaman? Hanya batu yang dapat menyimpan berbagai kisah dan berjuta kenangan plus ilmu pengetahuan.
Berabad-abad terus keluar masuk seribu tahun lamanya, Â seribu tahun yang telah lewat dan seribu tahun kemudian.Saya menonton pertunjukan ini dari siaran langsung yang tayang di akun Grup Facebook Studio Kosambi.Â
Saya menontonnya walau saya kurang sehat. Â Saya terpaksa harus berterus terang, Â karena seharusnya saya ikut bermain dalam pertunjukan tersebut. Â Namun karena kondisi kesehatan saya yang terganggu, Â saya terpaksa tidak main. Â Dan peran saya, Â dimainkan Agus sendiri, Â dengan menukar-nukar kostum.
Batu Penanda Yang Menggelinding bercerita tentang sebuah kampung di daerah Marelan Medan Sumatera Utara. Â Dekat dengan Pelabuhan Belawan. Â
Di kampung ini, juga terdapat sebuah museum. Namanya Museum Kotta Cinna. Â Di museum ini banyak terdapat benda-benda purbakala. Patung, arca,serpihan perahu, Â keramik, Â emas, batu akik, batu mulia, tembikar dan benda-benda purba.
Di kampung ini, Â masih banyak terpendam harta karun. Inilah sepertinya yang dipertanyakan Agus. Â Mengapa kampung yang seribu tahun yang lalu adalah dermaga internasional, kini tidak dipedulikan pemerintah, sehingga masyarakatnya hidup miskin.
Nelayan itu mengatakan kalau dulu mudah mencari Ikan atau Kepiting Bakau. Â Tetapi kini kampung mereka yang mestinya indah lantaran terdapat danau buatan (Siombak) itu kini jorok lantaran menjadi tempat pembuangan sampah."Tau kelen, Â malah kemaren ribuan babi mati mengapung di danau kami, " kata nelayan itu.
Realitas ini sepertinya yang ingin dibidik Agus. Â Batu-batu itu menjadi memiliki banyak kisah. Ribuan kisah terkubur di kampung itu. Termasuk kisah Cheng Ho, Â panglima perang dari China yang beragama Islam itu. Â
Orang sebesar Cheng Ho dituliskan dalam sejarah yang dilihat di Museum Situs Kotta Cinna pernah datang ke pelabuhan ini sebanyak empat kali.
"Anderson di saku mana kau sembunyikan kisah-kisah itu. Â Dimana kau sembunyikan Cheng Ho? " kata seorang lelaki tua dengan tongkat panjang dan tembikar di tangan kirinya.
Dia bertanya pada penonton, Â tapi ia ragu apakah dia bertanya atau sedang menjawab. Dan dia terus bertanya tentang batu-batu itu. Â Sebab, Â masyarakat di Kampung Paya Pasir, Â penuh batu-batu dikepalanya. Â
Keramik, koin, tembikar dan itu semua menjadi mimpi yang indah bila menemukannya. Â Tetapi kampung itu telah menjadi kampung yang penuh sampah pelastik.
"Setiap kali aku cari ikan di sini, yang kudapat hanya sampah plastik. Â Tak ada lagi kepiting dan ikan, " ujar nelayan itu.
Sosok lainnya adalah lelaki tanpa identitas. Â Sekali waktu dia menyambangi dua perempuan yang sedang menangis pilu. Â Lalu lelaki itu, Â menjaring perempuan itu dengan bubu.Â
Dia mengatakan agar mereka membuka kepala mereka. Â Bahwa kampung itu dahulu sangat terkenal. Waktu itu Kerajaan Aru berkuasa. Â Dan pelabuhan itu tempat pertemuan orang dari seluruh dunia.
"Thamil, Â China, Â Sri Langka, Â Eropah, Â Timur Tengah bercinta di kepalamu dan kepalamu menjadi batu-batu, " ujarnya.
"Batu pecah, kepala pecah, kepala menjadi batu, kepala batu, kepala batu pecah," ujarnya berulang-ulang hingga dia roboh. Dan dua perempuan itu menguburnya dengan menimbunnya dengan batu-batu dan plastik.
Pertunjukan ini sangat menarik untuk ditonton. Â Berbeda dengan karya-karya Agus Susilo sebelumnya, pementasan sudah terjaga ritme pertunjukannya. Â
Bahkan adegan-adegan realis yang bernuansa segar dan komikal, Â sudah mulai terasa diselipkan di tengah-tengah pertunjukan yang serba "gelap" dan emosi yang serba tegang ini. Â Bravo Teater Rumah Mata
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H