Bagi kita itulah kerja kesenian yang sesungguhnya. Kerja bahu membahu dan kompak. Â Tinggal bagaimana menyusun derap langkah yang lebih seirama, Â yang lebih gemerincing seperti suara gesekan daun bambu dan ranting-ranting pohon yang ditiup angin. Â Suara alam yang harmoni, Â yang mampu menggerakkan nyawa untuk mengangkat beban seberat apapun.
Begitulah keluarga ini membangun ekosistem berkesenian. Â Bagi kita, Â cahaya pentas yang sedikit backlight menjadi tidak penting, Â atau cacat-cacat pertunjukan menjadi tidak asyik lagi untuk diperbincangkan. Â Bahkan segepok dana yang mungkin dikeluarkan juga bukan ukuran untuk sebuah kerja kesenian. Â Tetapi sebuah kesepakatan untuk mengusung kesenian agar terus bergulir menjadi sangat penting untuk dibicarakan hari ini. Â Sebuah semangat kebersamaan dan sebuah keluarga yang "gila" akan kerja-kerja kolektif yang barangkali secara materi tidak mendapat apa-apa. Â Tetapi bagaikan puisi, dia mampu menggerakkan semangat kebersamaan untuk menggotong kesenian ini bersama-sama. Â Ini tentu saja tidak mudah.
Sebuah Kolaborasi Yang Manis
Acara Gebyar Merdeka yang digagas Studio Kosambi patut diacungi jempol. Â Sebuah studio yang refresentatif sudah dirancang. Â Sebuah gedung yang nyaman dengan pendingin yang sejuk dan segar. Kita pun serasa dimanjakan. Â Menonton puisi demi puisi dibacakan oleh 10 penyair dan pembaca.
Acara dibuka dengan lagu Tujuh Belas Agustus. Kita, Â penonton menyanyikannya dengan berdiri. Â Kita menghormati negeri ini. Kemudian acara dimulai dengan menampilkan Marissa, menyanyikan lagu Tanah Air Beta, Butet, dan Syukur. Marissa yang nama aslinya Tengku Elly Idzham, mampu menyedot perhatian penonton.
Usai Marissa, langsung muncul Sri Ulina Ginting. Perempuan penyair yang juga Kadis Pendidikan ini, membaca sajak Doa Seorang Serdadu Sebelum Berperang karya WS Rendra. Ulina juga mampu mempesona penonton dengan pembacaannya yang khusuk.
Kemudian dilanjutkan dengan, Tsi Taura. Â Lelaki ini tampil dengan kostum, Â jaket kulit dan tongkat. Tsi Taura membacakan puisinya sendiri berjudul, Â Sebo Hitam (2). Tsi Taura juga mampu menghipnotis penonton dengan cara membacanya yang eksentrik itu.
Pembaca berikutnya adalah, Â Tanita Liasna dengan puisi berjudul Ode I karya Toto Sudarto Bachtiar. Bermain dengan payung, Â Tanita seolah ingin mengatakan bahwa negeri ini butuh payung. Kita menafsirkannya secara bebas.
Pembacaan dilanjutkan dengan Saripuddin Lubis. Lelaki yang juga guru ini membaca puisi berjudul Perempuan Muda Pencuci Kendara. Saripuddin sangat ekspresif. Â Gerak-gerak tubuhnya membuat, Â pembacaannya terlihat menarik.
Kemudian pembaca berikutnya adalah Pimen D Aryjona. Pimen membacakan puisi berjudul Indonesia Sepenggal karyanya sendiri. Â Piman eksplorasi dengan kursi yang diketuk-ketukkan menjadi irama musik. Â Pimen berhasil membuat penonton terhenyak.