Mohon tunggu...
ayub badrin
ayub badrin Mohon Tunggu... Penulis - Ayub Badrin seorang jurnalis

Selain menggeluti dunia Teater saya juga aktif di media masa lokal.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Melihat Studio Kosambi Merayakan Kemerdekaan

19 Agustus 2020   12:11 Diperbarui: 19 Agustus 2020   12:19 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Ibu Marissa dan Lagu Butet Membuat Terhenyak

Apakah mudah mengajak keluarga untuk ikut mencintai seni? Tentu saja tidak mudah.  Apalagi jika mereka tidak mempunyai jiwa seni.  Tetapi pemandangan yang membuat kita haru biru justru terjadi pada keluarga Tsi Taura.  Pada acara Gebyar Kemerdekaan kemarin,  Senin (17/8) di rumahnya yang juga menjadi studio tersebut. Studio Kosambi namanya.

Kita seperti menyaksikan sebuah harmony yang begitu menguras rasa dan nilai kemanusiaan kita.  Mengapa justru di tengah hiruk pikuk wabah Corona,  sebuah keluarga justru merayakan kemerdekaan negeri ini,  Indonesia.  Ini harusnya menjadi catatan kebudayaan yang begitu penting, di negeri ini.

Marissa adalah istri penyair kondang Tsi Taura. Pada acara yang berkaitan dengan acara 7,5 Jam Merayakan Kemerdekaan Dari Aceh - Papua, Ibu Marissa dan anak perempuannya,  Dewi Rara,  tampil menawan dan membuat jantung kita berdebar kencang.  Bagaimana tidak Marissa yang mampu mengawal sang suami menapaki jenjang karier sebagai seorang jaksa,  mampu menghipnotis penonton dengan lagu Butet.

Lagu Butet tentu saja, sangat akrab di telinga masyarakat Sumatera Utara,  tetapi lagu ini mungkin saja sudah tidak dikenal oleh anak millenial.  Mungkin saja banyak orang juga sudah melupakannya,  tapi Ibu Marissa justru menyanyikannya, ditemani Dewi putrinya yang hanya tidur dipangkuan.  Tetapi adegan itu tentu saja tidak dibaca dengan linier. Ia mengisahkan berbagai peristiwa kehidupan yang mungkin merupakan kenangan yang tak terlupakan.

Melihat Ibu Marissa tampil begitu, runtuh segala ilmu dan nilai-nilai di dalam kesenian.  Kita sudah tidak butuh artistik,  tidak butuh komposisi, tidak butuh suara merdu,  tetapi bagaimana naluri kita disentuh oleh sebuah semangat menyambut kemerdekaan bangsa ini.  Sebagai istri seorang pejabat tinggi di negeri ini,  itulah pencapaian yang paling manusiawi.

Ibu Marissa tidak muluk-muluk.  Dia tampil membawakan 3 lagu-lagu perjuangan dan kebangsaan.  Dia tampil justru di saat suaminya membaca puisi.  Lagu Butet tentu saja menggiring kita kepada masa-masa perjuangan. Bercerita tentang,  seorang pejuang yang akan pergi berperang dan meninggalkan anak gadisnya.

Suara Ibu Marissa tidak bisa dikatakan jelek.  Meski dia juga bukan seorang penyanyi.  Tetapi ini adalah sebuah semangat,  sebuah dedikasi terhadap kesenian yang tentu saja tidak dapat dianggap sepele.  Ibu Marissa bagaikan sekuntum Melati di tengah kegersangan hidup yang kian sulit.  

Melihat keluarga mantan Jaksa yang peduli pada kesenian seperti ini,  kita tidak dapat membaca Indonesia.  Rasanya seperti melihat kampung yang masyarakatnya penuh kepolosan dan kejujuran.  Kita melihat senyum yang ramah yang tidak dibuat-buat.  Senyum yang tidak bertopeng kepalsuan.  Kita melihat wajah-wajah yang jika menyuguhkan singkong goreng terasa gurihnya,  karena benar-benar menggoreng dengan cinta kasih.

Kebudayaan Indonesia benar-benar hidup di rumah ini.  Kita seperti mendapat kegairahan baru.  Kegairan bersama-sama untuk menghidupkan kembali api kesusastraan,  api teater,  api seni rupa dan kebudayaan yang kian sakit ini menjadi energi yang hidup dan penuh daya cipta.

Sebuah kerja yang luar biasa dan tidak mudah tentunya.  Seperti mengangkat batang terendam.  Tsi Taura pastilah akan basah kuyup,  akan masuk angin jika,  tanpa dorongan yang luar biasa dari Ibu Marissa.  Bukan saja tampil menyanyikan lagu-lagu,  tetapi juga mengurusi segala konsumsi.  Sungguh bukan kerja yang main-main.

Bagi kita itulah kerja kesenian yang sesungguhnya. Kerja bahu membahu dan kompak.  Tinggal bagaimana menyusun derap langkah yang lebih seirama,  yang lebih gemerincing seperti suara gesekan daun bambu dan ranting-ranting pohon yang ditiup angin.  Suara alam yang harmoni,  yang mampu menggerakkan nyawa untuk mengangkat beban seberat apapun.

Begitulah keluarga ini membangun ekosistem berkesenian.  Bagi kita,  cahaya pentas yang sedikit backlight menjadi tidak penting,  atau cacat-cacat pertunjukan menjadi tidak asyik lagi untuk diperbincangkan.  Bahkan segepok dana yang mungkin dikeluarkan juga bukan ukuran untuk sebuah kerja kesenian.  Tetapi sebuah kesepakatan untuk mengusung kesenian agar terus bergulir menjadi sangat penting untuk dibicarakan hari ini.  Sebuah semangat kebersamaan dan sebuah keluarga yang "gila" akan kerja-kerja kolektif yang barangkali secara materi tidak mendapat apa-apa.  Tetapi bagaikan puisi, dia mampu menggerakkan semangat kebersamaan untuk menggotong kesenian ini bersama-sama.  Ini tentu saja tidak mudah.

Dok. pribadi
Dok. pribadi
Ibu Marissa sudah menunjukkan hal itu.  Kecintaan terhadap bangsa,  terhadap negeri melalui kepeduliannya terhadap perayaan hari kemerdekaan.  Hari kenerdekaan negeri yang tengah "sakit" lantaran dihantam pandemi.  Lalu ibu-ibu mana yang mampu sepeduli ini terhadap bangsanya?  Sebahagian ibu-ibu mungkin memilih pergi ke luar negeri.  Atau berpoto ria dan aksis di facebook. Tetapi Ibu Marissa justru bernyanyi lagu Butet dengan anak perempuannya. Jantung siapa yang tidak bergetar??Maka penyair sekaliber Porman Wilson Manalu menjadi tersekat suaranya,  pembaca puisi Ayub Badrin dan Agus Susilo terkesan ambruk energinya,  dan pembaca puisi lainnya seperti Syaripudfin Lubis,  Ibra Harahap,  Tanita,  Kadis Pendidikan Ulina Tarigan,  senyap dimakan sepi. Di sini di acara yang dibuka dengan lagu Tujuh Belas Agustus, itu benar-benar menjadi miliknya Ibu Marissa.

Sebuah Kolaborasi Yang Manis

Acara Gebyar Merdeka yang digagas Studio Kosambi patut diacungi jempol.  Sebuah studio yang refresentatif sudah dirancang.  Sebuah gedung yang nyaman dengan pendingin yang sejuk dan segar. Kita pun serasa dimanjakan.  Menonton puisi demi puisi dibacakan oleh 10 penyair dan pembaca.

Acara dibuka dengan lagu Tujuh Belas Agustus. Kita,  penonton menyanyikannya dengan berdiri.  Kita menghormati negeri ini. Kemudian acara dimulai dengan menampilkan Marissa, menyanyikan lagu Tanah Air Beta, Butet, dan Syukur. Marissa yang nama aslinya Tengku Elly Idzham, mampu menyedot perhatian penonton.

Usai Marissa, langsung muncul Sri Ulina Ginting. Perempuan penyair yang juga Kadis Pendidikan ini, membaca sajak Doa Seorang Serdadu Sebelum Berperang karya WS Rendra. Ulina juga mampu mempesona penonton dengan pembacaannya yang khusuk.

Kemudian dilanjutkan dengan, Tsi Taura.  Lelaki ini tampil dengan kostum,  jaket kulit dan tongkat. Tsi Taura membacakan puisinya sendiri berjudul,  Sebo Hitam (2). Tsi Taura juga mampu menghipnotis penonton dengan cara membacanya yang eksentrik itu.

Pembaca berikutnya adalah,  Tanita Liasna dengan puisi berjudul Ode I karya Toto Sudarto Bachtiar. Bermain dengan payung,  Tanita seolah ingin mengatakan bahwa negeri ini butuh payung. Kita menafsirkannya secara bebas.

Pembacaan dilanjutkan dengan Saripuddin Lubis. Lelaki yang juga guru ini membaca puisi berjudul Perempuan Muda Pencuci Kendara. Saripuddin sangat ekspresif.  Gerak-gerak tubuhnya membuat,  pembacaannya terlihat menarik.

Kemudian pembaca berikutnya adalah Pimen D Aryjona. Pimen membacakan puisi berjudul Indonesia Sepenggal karyanya sendiri.  Piman eksplorasi dengan kursi yang diketuk-ketukkan menjadi irama musik.  Pimen berhasil membuat penonton terhenyak.

Dok. pribadi
Dok. pribadi
Tak kalah menariknya,  Porman Wilson Manalu. Tampil dengan puisi berjudul Selamat Pagi karyanya sendiri,  Porman mampu mengkritik Indonesia yang dinilainya masih harus membenahi banyak hal.  Dan dia mempertanyakan makna kemerdekaan itu?Ayub Badrin tampil dengan puisi berjudul Kabut di Kebun dan Rindu Pagi karyanya sendiri juga.  Puisinya yang penuh simbol-simbol itu,  mengungkap tentang kehidupan petani di Berastagi yang serasa kehidupannya belum merdeka. Lelaki tampil dengan seuntai kain merah yang diikat di kursi dan dililit di lehernya.

Pembacaan langsung disambar oleh Agus Susilo dengan puisi berjudul Ironi Bintang-bintang  karya Tsi Taura. Agus membaca ala teaterikal.  Lelaki gondrong ini mampu menyihir penonton dengan gerak-gerak yang intuitif.

Pertunjukan diakhiri dengan penampilan Khairuddin Ibrahim Harahap dengan puisi berjudul Sajak Untuk Sanca karya Tsi Taura. Tampil dengan membawa camera video.  Dengan atraktif,  lelaki dengan nama panggung Ibra ini,  mampu menyuguhkan pembacaan yang membuat penonton teraduk-aduk perasaannya.

Ibra juga merupakan clossing dari pertunjukan 7,5 Jam Merayakan Kemerdekaan yang merupakan program Meditasi Corona Virus.  Bravo Studio Kosambi, bravo MCV.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun