Mohon tunggu...
ayub badrin
ayub badrin Mohon Tunggu... Penulis - Ayub Badrin seorang jurnalis

Selain menggeluti dunia Teater saya juga aktif di media masa lokal.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menonton Launching Studio Kosambi, Seni Tak Boleh Berhenti

2 Agustus 2020   16:02 Diperbarui: 2 Agustus 2020   16:08 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penyair Tsi Taura | dokpri

Pertunjukan itu cukup sederhana.  Diawali dengan TSI Taura. Dia seperti menyapa penonton dengan berakting seolah-olah belum dalam kamera FB yang sudah on air.  Lalu meluncurlah puisi terbarunya,  Belukar Rindu yang kemudian tanpa jeda dilanjutkan dengan Ibrahim Harahap dengan tiga puisi. 

Pembacaan itu diringingi musik apik. Di dinding belakang tampak gambar gambar hidup seperti hutan terbakar dan pasien-pasien covid19. Sepertinya ada korelasi interaksi tekstual antara teks-teks puisi dengan gambar hidup tersebut.

Jika digarap rada lebih serius sedikit lagi, pertunjukan puisi itu bisa lebih hikmat dan tidak mengalami distorsi panggung yang menghilangkan ekspresi wajah pembaca saat tampil. Tetapi ada juga bagian-bagian adegan yang menarik, seperti musik tepuk tangan saat Agus Susilo melantunkan kata "tak" pada puisi Tak Datang 

Lagi, yang kemudian dijalin dengan teaterikal pada puisi Rumah Kesendirian dan Wajah Seribu Bayang. Lalu pembaca memukul-mukul tubuhnya dengan gerakan-gerakan teaterikal. Adegan itu sangat atraktif dan mencerahkan.  Sepertinya ada nuansa Aceh dalam pembacaan tersebut.

Penyair Tsi Taura dan Ibra membaca dengan diksi yang sedemikian apik. Mereka punya ciri khas masing-masing. Tsi Taura membaca tiga puisi
yakni, Belukar Rindu, Ibuku Takbirku dan Daun-Daun Berguguran. Sedangkan Ibrahim Harahap atau Ibra, juga membaca 3 puisi berjudul, Nyanyian Asap, Duka Palu, Sigi dan Donggala dan Rumah Atok.

Ibrahim Harahap | dokpri
Ibrahim Harahap | dokpri
Walhasil pertunjukan itu menjadi sebuah kolaborasi yang tidak boleh dibilang jelek. Sebagai sebuah pertunjukan perdana, setidaknya Studio Kosambi telah menelurkan embrio yang sehat dan menggemaskan buat catatan kesenian, sastra dan kebudayaan di Sumatera Utara.

Kita berharap Studio Kosambi tidak berhenti pada titik-titik geliat kebudayaan yang kondisinya sedang "sakit" ini. Tetapi menjadi gerakan kebudayaan yang terus mencari titik-tili cahaya sehingga nantinya Studio Kosambi menjadi studio dimana para penggiat kesenian dapat menyalurkan aspirasinya, berkarya dengan leluasa dan nyaman. Dan tidak sekedar ada.

"Harapan dari Studio Kosambi ini adalah terciptanya ruang presentasi karya, dokumentasi dan pengarsipan serta workshop karya-karya seni pertunjukan berbasis karya-karya sastra," jelas Tsi Taura.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun