Kemarin, Sabtu, 1 Agustus 2020 ada yang baru di Komunitas Sastra Masyarakat Binjai (Kosambi) yang alamatnya di Jl Palembang Kota Binjai. Apa itu? Studio Kosambi namanya. Dan pada malam Minggu yang diguyur hujan besar itu, adalah launching-nya.Â
Lantas apa pertunjukan seninya? Ada. Yakni sebuah pertunjukan baca puisi yang dilakukan tiga penyair Kosambi yakni, Tsi Taura, Ibrahim Harahap dan Agus Susilo.Â
Tiga seniman ini membacakan 10 puisi yang terkumpul dalam buku puisi, Neraka di Tepian Sajadah, karya Tsi Taura. Meski banyak kekurangan di sana-sini, namun acara berdurasi 30 menit itu cukup mempesona mata.Â
Studio itu lebih tepat dikatakan, Studio Mini Kosambi. Sebab studio ini benar-benar mini. Besarnya sekira 12 x 10 meter saja. Letaknya pun di salah satu ruangan rumah pemiliknya, yakni, Tsi Taura plus dipotong tiga lemari buku besar. Ruangan itu kira-kira hanya mampu menampung 25 penonton di masa normal. Di masa pandemik paling banter 15 orang saja.
Malam itu kami datang bersama penyair Porman Wilson Manalu dan Pesenirupa, Rudi Pama. Tetapi ada juga penonton lain yang juga datang melalui undangan, yakni, novelis Idris Pasaribu, Suyadi San dan Syarifuddin Lubis dan seorang Kadis Pendidikan Kota Binjai yang juga penyair, Sriulina Ginting.
Pertunjukan perdana ini syarat masalah. Dari mulai pencahayaan yang kurang memadai, tim yang gagap teknologi dan komunikasi yang kurang terjalin. Sebagai sebuah perdana, mestinya Studio Kosambi tidak perlu tergesa-gesa dalam membungkus sebuah pertunjukan. Studio boleh baru, namun Kosambi bukan sebuah komunitas yang "kaleng-kaleng".
Maka ide membuat Studio Kosambi patut diancungi jempol. Mengapa? Sebab Binjai sebagai Kota Kecil di dekat Medan itu harus terus menggeliat, mendobrak kebekuan kesenian yang di era new normal ini pindah panggung kearah panggung virtual.
Tentu saja ini sejalan dengan apa yang dikatakan Tsi Taura dalam pidatonya, bahwa panggung adalah mahkota seniman dan seni tak boleh berhenti meski diancam pandemi. Tsi Taura adalah sosok yang peduli pada kesenian di sumut. Dia juga bercita-cita membangun ekosistem kesenian yang kuat dengan menjalin hubungan yang baik antar disiplin kesenian yang berbeda.
Seni memang harus liat. Melekuk-lekuk dan licin bagai belut. Mampu keluar dari kungkungan apa saja. Teruji dan mampu bertahan di tengah keringnya nafas-nafas kehidupan. Gelombang badai yang tentu saja semakin membuat seniman semakin berdiri tegak bagai karang di lautan.
Di tengah situasi seperti itulah Studio Kosambi ini dilahirkan. Lahir dalam kesederhanaan. Lahir tanpa tumpeng gemerlapnya lampu panggung. Dia hanya menggunakan spotlight yang redup. Â Yang mengaburkan para penonton saat menyaksikan tiga penyair ini membaca puisinya. Nyaris tak tampak.
Lahir dengan sajian Ibu Marisa yang rela bercapek-capek menyiapkan berbagai sajian hari raya Idul Adha seperti lontong dan daging qurban yang empuk lezat bukan main. Sungguh seorang istri yang patut diancungi dua jempol. Â Sebab ia barupun sembuh dari sakit. Â Senyumnya pun mengembang, tak tampak wajah capai di rautnya.
Pertunjukan itu cukup sederhana. Â Diawali dengan TSI Taura. Dia seperti menyapa penonton dengan berakting seolah-olah belum dalam kamera FB yang sudah on air. Â Lalu meluncurlah puisi terbarunya, Â Belukar Rindu yang kemudian tanpa jeda dilanjutkan dengan Ibrahim Harahap dengan tiga puisi.Â
Pembacaan itu diringingi musik apik. Di dinding belakang tampak gambar gambar hidup seperti hutan terbakar dan pasien-pasien covid19. Sepertinya ada korelasi interaksi tekstual antara teks-teks puisi dengan gambar hidup tersebut.
Jika digarap rada lebih serius sedikit lagi, pertunjukan puisi itu bisa lebih hikmat dan tidak mengalami distorsi panggung yang menghilangkan ekspresi wajah pembaca saat tampil. Tetapi ada juga bagian-bagian adegan yang menarik, seperti musik tepuk tangan saat Agus Susilo melantunkan kata "tak" pada puisi Tak DatangÂ
Lagi, yang kemudian dijalin dengan teaterikal pada puisi Rumah Kesendirian dan Wajah Seribu Bayang. Lalu pembaca memukul-mukul tubuhnya dengan gerakan-gerakan teaterikal. Adegan itu sangat atraktif dan mencerahkan. Â Sepertinya ada nuansa Aceh dalam pembacaan tersebut.
Penyair Tsi Taura dan Ibra membaca dengan diksi yang sedemikian apik. Mereka punya ciri khas masing-masing. Tsi Taura membaca tiga puisi
yakni, Belukar Rindu, Ibuku Takbirku dan Daun-Daun Berguguran. Sedangkan Ibrahim Harahap atau Ibra, juga membaca 3 puisi berjudul, Nyanyian Asap, Duka Palu, Sigi dan Donggala dan Rumah Atok.
Kita berharap Studio Kosambi tidak berhenti pada titik-titik geliat kebudayaan yang kondisinya sedang "sakit" ini. Tetapi menjadi gerakan kebudayaan yang terus mencari titik-tili cahaya sehingga nantinya Studio Kosambi menjadi studio dimana para penggiat kesenian dapat menyalurkan aspirasinya, berkarya dengan leluasa dan nyaman. Dan tidak sekedar ada.
"Harapan dari Studio Kosambi ini adalah terciptanya ruang presentasi karya, dokumentasi dan pengarsipan serta workshop karya-karya seni pertunjukan berbasis karya-karya sastra," jelas Tsi Taura.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H