Dalam perjalanan pulang dari acara Wisuda dan Khotmul Qur’an SD Islam Al Syukro Ciputat akhir Juni 2016 lalu, saya yang membonceng motor teman terjebak macet di jalan. Perjalanan dari Gedung P4TK Bojongsari Depok menuju SD Islam Al Syukro Ciputat yang biasa ditempuh 15 – 20 menit, saat itu harus ditempuh sekitar satu jam. Titik kemacetan berada di peremptatan Gaplek Pamulang – Tangerang Selatan.
Dalam perjalanan di tengah kemacetan itu, teman saya Ustad Henrizal Saidi, M.Ag. mengatakan bahwa ini juga merupakan bagian dari Kiamat Kecil. “Coba saja kita lihat depan, kanan dan kiri kita, semua orang saling berebut jalan. Bagaimana kalau ada seorang Ibu yang mau melahirkan, atau ada orang sakit atau kecelakaan yang membutuhkan pertolongan cepat dan harus segera sampai ke rumah sakit? ” kata Ustad Rizal.
Sebagai orang awam saya mengucap, ya, ya, ya sambil manggut-manggut, walaupun tidak ada yang lihat kalau saya manggut-manggut. Kemudian saya menanggapi: “Dan kondisi kemacetan seperti ini ke depan akan semakin parah. Bagaimana tidak, coba kalau setiap hari di Tangerang Selatan ada satu orang yang seperti Mr. T,” kata saya sambil bercanda disambut tawa Ustad Rizal.
Mr. T adalah seorang teman kantor yang baru saja membeli mobil baru. Ya, bayangkan kalau di Tangsel setiap hari ada satu orang saja yang beli mobil baru. Taruhlah di Jabodetabek satu hari kira-kira ada 5 orang saja yang beli mobil baru. Satu bulan bulan ada 150 mobil baru di Jabodetabek. Jadi satu tahun? Itu hanya kira-kira saya saja karena saya belum sempat mencari data yang pasti. Bisa jadi angkanya lebih dari itu. Dan saya yakin lebih dari itu.
Coba perhatikan di lingkungan kita, tetangga kanan, kiri depan, belakang, atau juga teman-teman di kantor. Apakah ada saja orang-orang yang membeli mobil baru? Sekali-kali kita coba iseng perhatikan dan amati, tempat parkir atau lapangan RW yang dijadikan tempat parkir di lingkungan kita tinggal, apakah terlihat kosong seperti dulu atau semakin penuh dengan mobil-mobil baru?
Melihat fakta dan realita seperti itu, maka tak heran jika jalan-jalan di Jabodetabek setiap hari terlihat semakin macet saja. Saat menjelang hari raya Idul Fitri 1437 H di mana ada ritual mudik, maka kemacetan bergeser dari Jabodetabek ke jalan-jalan jalur mudik. Pemerintah sudah mengupayakan mengatasi hal itu dengan dibangunnya Tol Cikampek – Palimanan (Cipali). Bahkan sudah nyambung dari Palimanan (Cirebon) hingga Pejagan (Brebes). Namun kenyataanya kemacetan tetap saja terjadi bahkan semakin parah.
Saya sendiri sebagai salah seorang Mudikers sudah memprediksi kemacetan seperti ini sejak tiga tahun lalu. Saat saya balik ke Jakarta pada Idul Fitri 1435 H (Tahun 2014) lalu saya mengalami kemacetan yang amat parah. Saya berangkat dari Klampok – Banjarnegara -kampung saya sendiri Kembangan – Bukateja – Purbalingga- jam enam sore naik Bus Sinar Jaya menuju Jakarta.
Kemacetan mulai terjadi selepas Ajibarang (Purwokerto) menuju Bumiayu (Brebes). Sampai di Bumiayu (Brebes) sekitar jam setengah sebelas. Dan pengalaman menarik yang belum pernah saya alami sebelumnya adalah, jam tujuh pagi esok harinya, saya masih di Bumiayu, tepatnya di depan Terminal Bumiayu.
Dalam hati saya mengatakan” “Kalau semalam seuntuk nonton pagelaran wayang kulit sih enak, ini semalam seuntuk di dalam bus yang penuh sesak,” Bagi saya itu adalah penderitaan dan sangat menyiksa. Betapa tidak, duduk di dalam bus yang penuh semalam seuntuk. Haus pengin minum, takut nanti kebelet pipis. Mau ngemil ini itu, takut nanti perut mules. Benar-benar menyiksa.
Alhamdulillah selepas jam tujuh pagi, kendaraan mulai bisa bergerak, padat merayap. Saat itu Tol Cipali belum selesai dibangun. Sopir mengambil jalur alternative. Dari Brebes menuju Cileduk (Cirebon) terus masuk Majalengka, Sumedang, Subang Sadang dan seterusnya. Meski itu jalur alternative namun jalanan tetap “padat semut rangrang.” Maksudnya padat tapi kendaraan bisa jalan lebih cepat dari pada jalannya rayap. Hehehe.
Sampai di Depok jam dua malam. Saya hitung perjalanan dari kampung saya ke Jakarta kurang lebih 32 jam. Waktu tempuh normal adalah 10 hingga 12 jam. Terbayang kan?
Pengalaman macet berikutnya adalah saat Idul Fitri 1436 H (Tahun 2015) lalu. Saya sengaja mudik di malam takbiran biar nggak macet. Berangkat dari Depok jam lima sore. Seperti biasa naik Bus Sinar Jaya. Selain biar nggak macet, saya juga sudah lama tidak solat Idul Fitri di kampung halaman. Jika kondisi jalanan normal sampai di kampung sekitar jam tiga atau empat pagi.
Namun selepas Brebes menuju Bimiayu, jalanan mulai padat dan macet. Saat waktunya solat Idul Fitri tiba, saya masih di perjalanan di daerah yang saya lupa namanya. Jalur antara Brebes-Bumiayu, tapi itu wilayah kabupaten Tegal, sebelum persimpangan rel kereta, sebelum Prupuk (Kab. Tegal). Bahkan di situ, kendaraan macet total. Tidak bergerak sama sekali.
Saat kendaraan mulai bisa bergerak, saya hanya bisa menyaksikan orang-orang dengan pakaian bersih dan rapi berangkat menuju masjid untuk sholat Idul Fitri. Saya hanya bisa menontong dari balik jendela bus yang saya naiki. Sedih.
Dari pengalaman dua kemacetan itu saya mengamati bahwa salah satu –namun ini faktor utama- adalah semakin banyaknya kendaraan (mobil) pribadi yang ikut mudik. Sebagai pengguna angkutan umum –dan memang saya belum punya mobil pribadi, hehe, jujur dong, kenapa mesti malu- bukan membenci apalagi mengutuk para pemudik yang menggunakan mobil pribadi. Tidak. Tetapi itulah realitas yang saya lihat dan amati bahwa semakin banyaknya mobil pribadi itulah penyebab utama terjadinya kemacetan.
Karena itu saat itu saya memprediksi bahwa ke depan kondisi kemacetan akan semakin parah. Sebabnya terlihat sangat jelas, semakin banyak orang yang punya mobil pribadi yang kemudian diikuti dengan semakin banyaknya orang mudik yang menggunakan kendaraan pribadi.
Ya, terus solusinya apa dong? Jangan cuma bisanya menyindir dan mengkritik doing! Tenang-tenang, sabar dulu Bro, saya sruput kopi dulu biar pikiran lebih jernih. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman, ada empat solusi yang saya sarankan untuk mengatasi kemacetan saat arus mudik dan balik lebaran atau hari raya idul fitri.
HARUSKAH PAKAI MOBIL PRIBADI?
Saya teringat kata-kata seorang Filsuf asl Perancis, Rene Des Cartes, “Cogito Ergo Sum,” Aku Berpikir Maka Aku ada. Para Mudiker berkata, “Aku Mudik dengan Mobil Pribadi Maka Aku Ada”. Aktualisasi diri memang pemenuhan kebutuhan tertinggi seorang manusia. Karenanya tidak ada yang salah dengan hal itu.
Namun jika melihat dan mencermati kenyataan bahwa kondisi jalanan yang kian hari kian macet, maka seharusnya kita berpikir lebih dalam. Pertama kita harus tanyakan pada diri sendiri: Apa tujuan utama kita mudik? Silaturahmi bukan? Jika benar itu tujuan utama mudik, maka tidak harus menggunakan mobil pribadi kan?
Banyak bus-bus yang senantiasa setia menunggu para penumpang untuk diantarkan ke kampung halaman masing-masing. Ada bus Kramat Jati dan Lorena ke Surabaya, ada PO Haryanto dan Safari ke Pati dan Semarang, Ada PO Handoyo rute Jakarta – Magelang, Solo, Yogyakarta dan Wonogiri, ada bus Maju Lancar ke Yogyakarta, Ada Rosalia ke Solo.
Ada juga Sumber Alam ke Purworejo, kemudian Sinar Jaya ke Pekalongan, Pemalang, Wonosobo, Purwokerto, Bobotsari dan Cilacap. Dewi Sri dan Dedy Jaya ke Tegal, Pemalang dan Pekalongan. Ada lagi Warga Baru dan Luragung ke Cirebon dan Kuningan. Sementara bagi pemudik yang ke Bandung, Garut dan Tasikmalaya ada Primajasa. Dan masih banyak bus-bus lain yang belum disebutkan.
Bagi yang bertujuan Semarang, Yogyakarta, Solo, Madiun, Malang dan Surabaya, ada Kereta Api yang memberikan pelayanan semakin nyaman. Hanya keterbatasan tempat duduk yang masih menjadi persoalan moda angkutan umum yang satu ini. Selain itu ada juga biro-biro travel yang siap mengantarkan para pemudik ke kampung bahkan sampai di depan rumah masing-masing.
Ya memang sih tujuannya silaturahmi, tapi rumah saudara-saudara ada yang jauh-jauh. Kalau pakai mobil pribadi kan jadi lebih mudah untuk mengunjungi. Apalagi di kampung angkutan umum kan jarang dan susah. Dan naik kendaraan umum di jaman sekarang kayaknya nggak keren deh, ketinggalan jaman, kelihatan orang miskin dan malu. Nggak Level dan Ngaak Kekinian.
Jika kita semua bisa berjiwa besar dan berlapang dada, maka tetap memarkir kendaraan di garasi rumah masing-masing dan berangkat mudik menggunakan angkutan umum adalah pilihan yang bijak. Soal keperluan kesana-kemari di kampung, bisa menggunakan angkutan umum, taksi atau ojek. Sekampung-kampungnya kampung halaman di jaman sekarang, pasti ada lah angkutan umum, minimal ojek.
Jika memilih mudik dengan angkuan umum, otomatis kita berperan aktif mengurangi kemacetan. Dampaknya akan kita rasakan bersama. Dengan berkurangnya kemacetan maka akan memberikan kenyamanan bagi semua pengguna jalan, termasuk diri kita sendiri.
Namun jika tidak ada pilihan lain dan dengan alasan apa pun kita memang harus menggunakan kendaraan pribadi, maka solusi kedua di bawah ini bisa menjadi pilihan.
ATUR WAKTU MUDIK
Waktu puncak arus mudik biasanya terjadi antara H-7 hingga H-3 sebelum lebaran. Begitu juga puncak arus balik, biasanya terjadi antara H+3 hingga H+7. Jika kita ingin terhindar dari kemacetan, maka sebaiknya hindari waktu-waktu itu.
Bagi karyawan atau PNS, bisa mengatur waktu dengan cara mengambil jatah cuti yang belum diambil. Bagi non karyawan dan non PNS seperti pengusaha, pedagang dan lain-lain bahkan bisa lebih mudah mengatur waktu mudik dan balik. Aturlah waktu agar bisa mudik lebih awal dan balik lebih lambat. Sebaiknya begitu. Namun jika tidak bisa mengatur dua-duanya, minimal salah satu. Mudik lebih awal atau balik lebih lambat.
MEMBANGUN DAN MEMPERBAIKI INFRASTRUKTUR
Bahasanya terlalu teknis. Saya sendiri suka bingung apa yang dimaksud infrastruktur, hehe. Maklum orang ndeso. Infrastruktur yang saya maksudkan di sini adalan prasarana jalan, baik jalan kabupaten, jalan propinsi maupun jalan nasional. Ini juga saya bingung mana jalan jalan kabupaten, mana jalan propinsi dan mana jalan nasional.
Tapi intinya, pemerintah berkewajiban memperbaiki dan membangun prasarana jalan, termasuk jalan tol. Jangan tanya saya lagi apa bedanya prasarana dan sarana ya. Saya juga bingung mana yang benar sarana jalan atau prasarana jalan. Ya, saya harus belajar lagi bahasa-bahasa teknis seperti itu.
Sekali lagi, itu tugas dan kewajiban pemerintah untuk membangun, memperbaiki dan menyediakan fasilitas jalan. Saya tidak perlu membahas lebih detil tentang hal ini karena pemerintah dengan jajarannya lebih ahli dan tahu soal kebutuhan fasilitas dan sarana jalan raya maupun jalan tol.
BERSABAR DAN NIKMATILAH KEMACETAN
Jika saran pertama dan kedua tidak bisa juga dilakukan, sementara solusi ketiga belum sesuai harapan, maka tidak ada pilihan lain kecuali siap-siap bermacet ria di jalanan. Jika ini benar-benar terjadi dan dialami, maka bersabarlah. Nikmatilah kemacetan itu. Untuk meraih kebahagiaan apa pun termasuk bersilaturahmi di kampung halaman, butuh proses dan pengorbanan. Anggap saja kemacetan yang diamali sebagai sebuah pengorbanan yang buahnya akan dipetik dan dinikmati saat sampai di rumah orang tua di kampung nanti.
Jangan karena mengalami kemacetan lantas kita menyalahkan orang lain. Jangan karena kemacetan kemudian kita menyalahkan pemerintah khususnya Presiden Jokowi. Saya pikir itu terlalu jauh.
Betul bahwa pemerintah punya kewajiban membangun dan menyediakan infrastruktur berupa jalan. Tetapi seberapa banyak dan panjang jalan yang dibangun, jika jumlah kendaraan yang semakin banyak kemudian bertemu di tempat dan waktu yang bersamaan, maka kemacetan akan teta terjadi.
Kemacetan bukan soal Jokowi atau Ahok. Kemacetan terjadi karena banyaknya jumlah kendaraan yang berjalan di jalan pada waktu yang bersamaan. Kemacetan nggak ada hubungannya dengan Prabowo, Yusril atau pun Habib Riziq. Jangan suka mengada-ada. Mari lihat realita dengan logika.
Selamat Hari Raya Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir dan Batin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H