Wajahku pucat. Â Hadi dan Eka saja keheranan melihatku sudah berada jauh dari pinggir jajaran gelondongan kayu tempat saya tadi tenggelam.
"Yud, kamu kok sudah di situ? Â Naik dari mana?" tanya Hadi keheranan.
"Tadi bukannya tadi naiknya dari sana?" Eka menujuk tepian tempat mereka naik ke atas gelondongan kayu.
Saya tidak bisa menjawabnya. Â Hanya rasa terima kasih pada Tuhan yang telah menyelamatkanku. Â Sungai Mahakam hampir saja menenggelamkanku. Â Hingga saat ini kedua orangtua tidak pernah tahu kejadian ini. Â Â Saya buru-buru menuju pinggiran gelondangan kayu dan meloncat sejauh mungkin menuju ke tepian jalan. Â Iyan membantuku naik ke atas.
"Kok mukamu pucat, Yud?"
"Tadi saya hampir tenggelam, Yan."
Saya menceritakan apa yang baru saja terjadi.
"Untung kamu bisa melihat celah di antara gelondongan itu, Yud."
Ya, saya memang beruntung. Â Namun sejak saat itu saya tidak berani lagi berenang di Sungai Mahakam. Â Saya lebih memilih berenang di kolam renang Gedung Olah Raga Segiri yang lokasinya tidak jauh dari rumah. Â Eka ikut denganku, ia juga tidak mau lagi berenang di sungai Mahakam. Â Bukan karena takut, tetapi karena saya tidak mau lagi berenang di sana. Â Hadi juga jarang berenang di sana kecuali ada teman untuk berenang.
"Kawalan kada bakunyung kah?" (Kalian tidak berenag?) tanya Hadi ketika mengajak kami berenang di Gubernuran.
Saya hanya mengeleng. Â "Kada ah, Â ikam saja." Â (Tidak ah, kamu saja).