Mohon tunggu...
Herman Wahyudhi
Herman Wahyudhi Mohon Tunggu... Insinyur - PNS, Traveller, Numismatik, dan Pelahap Bermacam Buku

Semakin banyak tahu semakin tahu bahwa banyak yang kita tidak tahu. Terus belajar, belajar, dan belajar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Antara Digital Native, Medsos, dan Kerukunan Beragama

14 September 2016   22:14 Diperbarui: 14 September 2016   22:26 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sejarah Panjang Kerukunan Beragama

Indonesia punya sejarah panjang dalam hal kerukunan beragama.   Sudah menjadi karekter bangsa ini untuk hidup bersama meskipun berbeda suku, agama, bahasa, ataupun adat istiadat.   Geografis Indonesia yang terdiri dari sekitar 17.000 pulau dengan membuat warganya saling berinteraksi dalam keberagaman.  Mpu Tantular telah menyadari kenyataan ke-bhineneka-an tersebut .    Beliau menuliskan pemikirannya dalam pustaka Sutasoma yang berbunyi ” Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”yang artinya: ” walaupun itu berbeda tetapi pada hakikatnya satu, tak ada kebenaran yang ganda “.

Begitu pula ketika ajaran Islam mulai masuk ke Nusantara, para penganut Hindu – Buddha menerima kedatangan Islam dengan terbuka dengan pemikiran bahwa semua agama itu baik.   Dalam Veda, kitab suci umat Hindu, dinyatakan sebuah kalimat: ” Tat Tvam Asi ” yang bermakna: ”Itu adalah Engkau, Dia adalah Kamu, Aku adalah Dia, Engkau adalah Aku, dan seterusnya… ”bahwa setiap manusia adalah saudara dari manusia lainnya dan teman dari insan ciptaan-Nya. Sesanti ‘Tat Tvam Asi‘ ini menjadi landasan etik dan moral bagi umat Hindu di dalam menjalani hidupnya sehingga ia dapat melaksanakan kewajibannya di dunia ini dengan harmonis.   Termasuk berkomunikasi dengan pemeluk agama lainnya.

Hingga konflik-konfik antar umat beragama dapat dihindari.    Mereka bisa hidup berdampingan dengan rukun selama berabad-abad.   Demikian pula dalam penyebaran ajaran Islam, wali sanga juga mengajarkan tolerasi dengan budaya yang telah ada sebelumnya.     Hal ini terlihat  penggunaaan media penyebaran Islam yang dilakukan melalui wayang.   Tak aneh jika kemudian Walisanga juga menggubah lagu “Ilir-Ilir” sebagai media dakwah.  Inilah cerminan agama Islam sebagai rahmatan lil alamin

Sikap toleransi yang pernah ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW pasca penaklukan kota Mekkah.  Beliau tidak memperlakukan orang-orang kafir Quraisy yang ditaklukkan sebagai tawanan perang.   Sebaliknya NAbi Muhammad berpidato, “Hadza laisa yaumul malhamah, walakinna hadza yaumul marhamah”(Hari ini bukanlah hari pembataian dan pembalasan, tetapi hari ini adalah hari kasih sayang). 

Toleransi yang merupakan bagian dari visi teologi atau akidah Islam dan masuk dalam kerangka sistem teologi Islam sejatinya harus dikaji secara mendalam dan diaplikasikan dalam kehidupan beragama karena ia adalah suatu keniscayaan sosial bagi seluruh umat beragama dan merupakan jalan bagi terciptanya kerukunan antar umat beragama.

Lintasan sejarah memang membuktikan bahwa terdapat beberapa kali terjadi konflik antar umat beragama namun hal tersebut dapat diselesaikan secara baik.    Tapi perkembangan teknologi digital yang begitu cepat kadang membuat orang tak siap menerimanya.    Banyak kasus orang yang tertipu atau terhasut oleh teknologi digital utamanya via media sosial (medsos).   Mulai dari kasus penipuan harta benda, pelecehan, hingga cuci otak.

Teknologi telekomunikasi sebelumnya seperti  televisi, telepon dan radio tidak mempunyai pengaruh sebesar era digital saat ini.   Teknologi tersebut memiliki keterbatasan dalam menjangkau sasarannya.   Seperti siaran televisi dan radio, tak sembarang orang bisa memiliki atau menyiarkan pendapatnya melalui media ini.   Sama halnya dengan telepon yang jangkauannya dan sasaran yang dijangkauan lebih kecil.

Era digital dan Paradoks Global

Ketika era digital tiba, semua menjadi lebih mudah, murah, dan cepat.    Medsos telah mengubah cara orang berkomunikasi dan berinteraksi.   Pemerintah tak mampu membendung kebebasan berpendapat dan berekspresi dari warganya.      Keunggulan utama medsos dibandingkan dengan teknologi lainnya adalah hiperaktualitas dan interaktivitas.   Teknologi informasi menjadi semakin terjangkau sehingga hampir semua orang memilikinya.  

 Medsos membuat semua media bisa disampaikan baik berupa suara, tulisan, simbol, tulisan, hingga video bisa diunggah untuk dibagikan kepada orang lain.  Media ini dengan cepat dapat menyebarkan berita atau peristiwa untuk dikomentari, didiskusikan, ditindaklanjuti, atau disebarkan kembali melalui media lain seperti media cetak, radio, dan televisi.

Keunggulan lainnya adalah tanpa batas.    Medsos tidak mengenal batas wilayah, waktu, dan tempat.    Istilahnya 24 jam non stop.  Seperti sudah diramalkan oleh Marshall McLuhan pada 1962 melalui karyanya The Gutenberg Galaxy, bahwa ketergantungan elektronik akan membentuk kembali duania menjadi sebuah desa global (global village).

Tanpa disadari sosmed telah mengubah cara orang berkomunikasi.    Orang tak lagi berinteraksi sosial dengan orang lain secara langsung tetapi melalui media gawai .    Komunikasi dilakukan secara cepat dan masal berdasarkan faktor kesamaan pandangan hidup, hobi, strata sosial, hingga agama.   Hingga lahirlah interaksi digital yang terkotak-kotak.    Para pengguna medsos mudah saja keluar (exit group) jika merasa tak cocok. 

Medsos sudah terlanjur dianggap sebagai media bebas sensor dan longgar.   Apa saja bisa ditulis dan dimasukkan ke dalamnya.  Mau yang dimasukkan itu pengetahuan berharga, unek-unek atau sumpah serapah, terserah penggunanya.  Sehingga medsos dijadikan alat untuk mencurahkan segala unek-unek di dalam dada.  Namun seringkali masalah pribadi dibesar-besarkan menjadi masalah kelompok.

Akhirnya seperti ditulis Merritt Row Smith terbentuklah determinasi teknologi.   Paham terbentuk pada awal jaman revolusi industri, bahwa teknologi adalah kekuatan untuk mengatur manusia.   Bahwa teknologi telah mengubah pola hidup manusia termasuk mobile technology.   Manusia dipaksa untuk berubah.   

Perubahan juga membawa implikasi terhadap mereka yang memiliki bibit-bibit radikalisme dan intoleransi.   Inilah paradoks global, dimana tekanan muncul antara kemajuan teknologi digital dan peningkatan paralel radikalisme dan intoleransi, dimana teknologi digital  berperan penting dalam mencapai tujuan mereka.

Berdasarkan survey nasional “Potensi Radikalisasi dan Intoleransi Sosial Keagamaan di Kalangan Muslim Indonesia”yang dilakukan Wahid Foundation dengan Lembaga Survei Indonesia yang dirilis awal Agustus 2016 sebagian respoden menyatakan tidak bersedia bersikap radikal.   Namun ada satu gejala yang cukup mengkhawatirkan, sebanyak 8 persen dari 1.520 menyatakan bahwa mereka bersedia bahkan pernah melakukan kekerasan atas nama agama.  Misalkan melakukansweepingdan berdemontrasi menentang kelompok lain yang dinilai menodai dan mengancam kesucian Islam.  Bibit-bibit kebencian inilah yang dikhawatirkan akan tumbuh subur ketika berkolaborasi dengan medsos sebagai sarana untuk menyuarakan libido kekerasan dan kebencian mereka.  

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mancatat bahwa tingkat penggunaan internet pada 2014 telah mencapai 88,1 juta pengguna.   Diperkirakan pada saat ini jumlah pengguna internet telah mencapai 100 juta orang dengan penetrasi 40 persen dan Indonesia selalu menjadi 5 teratas di penggunaan konten global seperti Facebook, Twitter, dan lainnya. Berdasarkan data internal Facebook per Maret 2016, jumlah pengguna aktif bulanan Facebook di Indonesia pada kuatal-IV 2015 mecapai kisaran 82 juta orang.    Diungkapkan pula bahwa sebesar 94 persen pengguna Facebook mengakses jajaring sosial tersebut melalui telepon genggam

Generasi Digital Native di Era Digital

Generasi yang lahir di era 1980-an hingga 2000-an adalah generasi yang tumbuh di era digital.  Mereka ada di dunia ketika internet mulai merajalela.    Marc Prensky menyebut mereka sebagai generasi digital native.   Ada pula yang menyebut mereka sebagai Generasi Millineal yaitu mereka yang lahir pada rentang waktu 1982-an hingga awal 2000-an.    Sedangkan generasi yang tumbuh di atas mereka, yaitu sebelum era 1982-an adalah kelompok digital immigrant, beralih dari teknologi analog terjun ke teknologi digital agar bisa berbaur dan tidak dicap sebagai orang yang ketinggalan jaman.   

Generasi digital native inilah yang rentan terhasut ajakan media sosial untuk bersikap radikal dan intoleran.  Contohnya seperti dialami Muhammad Alfian Nauzi.   Seorang pemuda berusia 24 tahun yang diduga bergabung dengan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) di wilayah Suriah pada Maret lalu.   Polisi menyatakan Alfian terpikat pada ISIS melalui pertemanan di Facebook dan perbincangan tertulis via telepon seluler (Tempo, 11 September 2016).  

Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Tito Karnavian menyatakan, belakangan banyak anak muda terlibat kelompok radikal akibat cuci otak yang menyebar melalui medsos.  Mereka kerap mendapatkan informasi yang salah melalui media ini dan akhirnya tersesat.

Generasi digital native membangun komunikasi bersifat massal dan viral, dapat anonim, dan bersifat merusak.  Banyak orang memanfaatkan medsos bak memancing di air keruh, mengumbar kebencian dan mengancam harmoni dan kerukunan beragama,    Seperti bola salju yang menggeliding, semakin lama daya rusaknya makin besar dan jangkauannya makin luas.

Inilah yang dikhawatirkan oleh Nicholas Carr dalam bukunya The Shallow (2010).     Generasi digital nativemengandalkan berita medsos cenderung hanya untuk membaca sekilas dan dangkal.     Kadangkala tanpa melakukan cekdan recheckterlebih dahulu terhadap informasi yang mereka terima.

Orang, kelompok, atau golongan dengan begitu mudahnya saling menghina, memaki, dan memfitnah orang, kelompok dan golongan lain di dunia media sosial itu. Orang pun dengan mudah menyebarkan berita bohong yang kemudian ditelan bulat-bulat oleh orang lain.

Seperti kasus kerusuhan Tanjungbalai yang baru saja terjadi.   Generasi digital nativetermakan provokasi melalui ujaran kebencian yang disampaikan melalui akun Facebook.    Tersangkanya berinisial AT (41 tahun) memang bukan berasal dari generasi digital native.  Ia seorang digital migrant yang berhasil menghasut banyak orang untuk berbuat anarkis.  

Meski proses penyebaran pesan melalui medsos maupun word of mouthtidak sepenuhnya mencerminkan situasi yang terjadi sesungguhnya. Keterbatasan isi pesan yang tersebar dengan peristiwa riil yang sesungguhnya dapat menimbulkan jarak tafsir berbeda, sehingga memungkinkan khalayak berbeda persepsi dalam menerimanya.   Jarak antara realitas sosial dan realitas virtual inilah yang dijadikan sumber potensi provokasi baru.   Inilah sumber potensi laten yang selalu dapat muncul kembali pada masa mendatang.

Penyesatan informasi dan propaganda selalu menjadi ciri utama konflik manusia.  Julius Caesar dalam Perang Galia (58-50 SM) terkenal dengan laporan terkait suku barbar dan sadis yang dia perangi.   Julius Caesar menentukan mana yang “baik” dan “buruk” dalam peperangan.   Demikian pula dengan propaganda Nazi bahwa ras Aria adalah ras terbaik dibandingkan dengan ras lainnya.    

Dalam artikel berjudul Do Artifacts Have Politics? yang ditulis Langdon Winner, menganalisis jembatan penyeberangan sepanjang jalan bebas hambatan di Long Island, New York.   Sepintas memang tidak ada yang aneh dengan jembatan tersebut.    Hanya saja jembatan penyeberangan dibangun setinggi 2,7 meter atau lebih rendah dari standar yang biasa digunakan, sehingga hanya mobil sedan saja yang bisa melintas di bawahnya.    Tidak ada yang salah dengan perencanaannya dan bukan pula karena unsur teknis.

Ternyata memang sengaja dibuat demikian agar bus yang banyak digunakan kaum kelas bawah kulit hitam dan hispanik tidak dapat melintas guna menuju pantai Long Island yang terkenal indah.   Warga kelas atas dan kulit putih-lah yang punya akses menuju pantai.

Contoh lain, pemanfaatan dari penguasaan teknologi membuat terjadinya Genoside Rwanda 1994 yang memakan korban sebanyak 800.00 jiwa.    Pada 1994, ketika orang Hutu, Tutsi, dan Twa memiliki radio, hanya orang Hutu yang memiliki stasiun radio.   Mereka menyuarakan propaganda penuh kebencian terdapa orang Tutsi melalui udara.  Ketika orang Tutsi mencoba melakukan pembelaaan dengan mendirikan stasiun radio, Pemerintah yang banyak didukung orang Hutu menjebloskan opetor dan orang-orang terlibat di dalamnya ke dalam penjara.  Otomatis, orang Hutu jadi bulan-bulanan tanpa bisa melakukan pembelaan.

Akibatnya orang Tutsi banyak menjadi korban dari penyesatan informasi tersebut.  Coba bayangkan jika terjadi pada era digital ini, mungkin orang Tutsi bisa melakukan pembelaan yang seimbang melalui medsos tanpa harus bergantung pada rezim pemerintah.   Medsos menjadi media penyebaran benih-benih kebencian secara efektif dan efisien.    Informasi yang keliru dapat menimbulkan masalah besar. 

Perlunya Media Literacy

Negara Indonesia menjamin kehidupan agama bagi seluruh rakyatnya. Dasar negara Pancasila memberikan jaminan kebebasan beragama dengan sila yang pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Undang Undang  Dasar 1945 juga menjamin kebebasan menjalankan agama yang tercantum dalam pasal 29.   Di samping itu, semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika” memberikan peluang leluasa bagi beragam agama yang ada untuk mengikuti dan melaksanakan ajaran agama di bawah satu kesatuan dasar Pancasila dan UUD 1945.    Menteri Agama RI tahun 1978-1984 (H. Alamsjah Ratu Perwiranegara) menetapkan Tri Kerukunan Beragama, yaitu tiga prinsip dasar aturan yang bisa dijadikan sebagai landasan toleransi antarumat beragama di Indonesia. Tiga prinsip dasar yang dimaksud tersebut adalah sebagai berikut:

1) Kerukunan intern umat beragama.

2) Kerukunan antar umat beragama.

3) Kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah

Meski dijamin oleh undang-undang tetapi ada batasan yang tak boleh dilanggar.   Undang-Undang  Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam pasal 28 ayat (2) berbunyi : “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”

Terkait dengan hal itu, Mabes Polri telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Kapolri soal penanganan ujaran kebencian atau hate speech Nomor SE/06/X/2015. Isi dalam surat itu salah satunya menyebutkan bahwa pelaku penebar kebencian melalui berbagai media termasuk media sosial bisa diancam hukuman pidana.  Anggota kepolisian juga diminta untuk lebih peka untuk mengatisipasi terjadinya konflik sosial dengan mendamaikan pihak-pihak yang berselisih. 

Tercatat banyak akun media di ranah virtual berisi konten tentang ujaran kebencian atau hate speech.   Ujaran kebencian ini bisa berupa umpatan, pencemaran nama baik, penistaan, penghinaan, perbuatan tidak menyenangkan, menghasut, provokasi dan menyebarkan berita bohong (hoax).  

Dalam penelitian yang dilakukan Gabriel Weimann (2014) perkembangan situs yang dimiliki kelompok terorisme dari tahun ke tahun terus meningkat.   Pada tahun 1998 hanya ada 12 situs terkait terorisme, maka pada 2003 telah meningkat menjadi 2.650 situs.   Lalu jumlah membengkat menjadi 9.800 situs pada 2014.  

Belum lagi provokasi kebencian yang dilakukan melalui medsos lainnya.  ISIS tercatat pernah mengumbar hampir 40.000 kicauan (tweets) dalam satu hari.   Berdasarkan data yang dirilis Brooking Institut pada 2014 tercatat setidaknya 46.000 akun Twitter terkait pendukung ISIS dengan rata-rata memiliki 1.000 follower.   Hal ini belum termasuk pernyataan mereka melalui medsos lain macam Facebook, Line,  Blackberry Messager, WhatsApp atau blog.   

Memang sulit untuk memberantas atau melacak keberadaan mereka.   Sehingga untuk mengantisipasi provokasi rasial melalui medsos, perlu digagas media literacy sebagai pendekatan baru bagi warga. Media literacy dapat dipahami sebagai suatu kecerdasan bermedia agar warga tetap dapat hidup sehat di tengah polusi informasi yang ditebar melalui medsos. Walau jumlah warga yang menggunakan medsos lebih sedikit dari warga yang tidak menggunakannya, desas-desus atau rumor yang bertebaran secara liar di medsos dapat lebih cepat melalui word of mouth (mulut ke mulut) sebagai teknik paling klasik dalam menyebarkan pesan.

Masyarakat perlu memastikan akurasi informasi yang diterimanya.    Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama untuk membendung informasi spekulatif atau bohong di medsos.    Pemerintah turut terlibat aktif baik melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi, Kementerian Agama, Kepolisian, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian/Lembaga/Instansi terkait lainnya untuk mensosialisasikan dan dialog terkait pentingnya kerukunan beragama teruma di kalangan digital native.   Dialog harus dilakukan setara dengan hati lapang dan penuh penghargaan (‘ain al ridla) terhadap lawan dialog, bukan menganggapnya sebagai musuh serta memandang dengan kebencian (‘ain sukhth).

Dalam bahasa Human Rights Working Group (HRWG), Negara harus hadir untuk memastikan tidak terjadi tindakan intoleransi dan kekerasan SARA di tengah masyarakat. Negara harus lebih aktif dalam mendialogkan setiap permasalahan yang ada.

Selain itu pemerintah juga membentuk sebuah forum konsultasi dan komunikasi antara pemimpin atau pemuka agama dengan pemerintah untuk memelihara kerukunan antarumat beragama di Indonesia. Hal ini melengkapi upaya yang sebelumnya telah dilakukan, yaitu pemantaban organisasi masing-masing agama. Forum yang dimaksud diberi nama Wadah Musyawarah Antar umat Beragama yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Agama no. 35 tahun 1980. 

Organisasi umat beragama tingkat pusat adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk umat Islam, Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI) untuk umat Kristen Katolik, Dewan Gereja-gereja Indonesia (DGI) untuk umat Kristen Protestan, Parisada Hindhu Dharma Pusat (PHDP) untuk umat Hindhu, dan Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI) untuk umat Buddha (Depag, 1982/1983, h. 46). Wadah-wadah ini diharapkan dapat menjadi pelindung sekaligus tempat mengadu tentang berbagai permasalahan yang terkait dengan agama.   Selain itu berdayakan pula Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) yang tersebar di 516 Kabupaten/Kota yang ada di Indonesia.  

Memang dibutuhkan kearifan dalam menggunakan medsos.  Perlu dicari keseimbangan antara melindungi kepentingan individu dan atau kelompok tanpa menghalangi kebebasan menyatakan berpendapat.

Semoga generasi muda Indonesia adalah generasi yang peduli akan pentingnya kerukunan beragama, bukan generasi sofa dan kentang seperti dikemukan Paus Fransiskus.   Generasi ini lebih banyak mengurung diri di rumah dengan gawai tak pernah lepas dari genggaman sambil  duduk manis di sofa empuk dengan mulut tak henti menguyah kripik kentang.   Bangsa ini butuh generasi muda yang kokoh, kuat, tidak mudah goyah dan diperdaya oleh hasutan kebencian.  

Seperti disitir oleh ahli antropogi etnis, Hans Kohn ”sebagai tekad suatu masyarakat untuk secara sadar membangun masa depan bersama, terlepas dari perbedaan ras, suku ataupun agama warganya“.

Facebook

Twitter

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun