Generasi digital native membangun komunikasi bersifat massal dan viral, dapat anonim, dan bersifat merusak. Banyak orang memanfaatkan medsos bak memancing di air keruh, mengumbar kebencian dan mengancam harmoni dan kerukunan beragama, Seperti bola salju yang menggeliding, semakin lama daya rusaknya makin besar dan jangkauannya makin luas.
Inilah yang dikhawatirkan oleh Nicholas Carr dalam bukunya The Shallow (2010). Generasi digital nativemengandalkan berita medsos cenderung hanya untuk membaca sekilas dan dangkal. Kadangkala tanpa melakukan cekdan recheckterlebih dahulu terhadap informasi yang mereka terima.
Orang, kelompok, atau golongan dengan begitu mudahnya saling menghina, memaki, dan memfitnah orang, kelompok dan golongan lain di dunia media sosial itu. Orang pun dengan mudah menyebarkan berita bohong yang kemudian ditelan bulat-bulat oleh orang lain.
Seperti kasus kerusuhan Tanjungbalai yang baru saja terjadi. Generasi digital nativetermakan provokasi melalui ujaran kebencian yang disampaikan melalui akun Facebook. Tersangkanya berinisial AT (41 tahun) memang bukan berasal dari generasi digital native. Ia seorang digital migrant yang berhasil menghasut banyak orang untuk berbuat anarkis.
Meski proses penyebaran pesan melalui medsos maupun word of mouthtidak sepenuhnya mencerminkan situasi yang terjadi sesungguhnya. Keterbatasan isi pesan yang tersebar dengan peristiwa riil yang sesungguhnya dapat menimbulkan jarak tafsir berbeda, sehingga memungkinkan khalayak berbeda persepsi dalam menerimanya. Jarak antara realitas sosial dan realitas virtual inilah yang dijadikan sumber potensi provokasi baru. Inilah sumber potensi laten yang selalu dapat muncul kembali pada masa mendatang.
Penyesatan informasi dan propaganda selalu menjadi ciri utama konflik manusia. Julius Caesar dalam Perang Galia (58-50 SM) terkenal dengan laporan terkait suku barbar dan sadis yang dia perangi. Julius Caesar menentukan mana yang “baik” dan “buruk” dalam peperangan. Demikian pula dengan propaganda Nazi bahwa ras Aria adalah ras terbaik dibandingkan dengan ras lainnya.
Dalam artikel berjudul Do Artifacts Have Politics? yang ditulis Langdon Winner, menganalisis jembatan penyeberangan sepanjang jalan bebas hambatan di Long Island, New York. Sepintas memang tidak ada yang aneh dengan jembatan tersebut. Hanya saja jembatan penyeberangan dibangun setinggi 2,7 meter atau lebih rendah dari standar yang biasa digunakan, sehingga hanya mobil sedan saja yang bisa melintas di bawahnya. Tidak ada yang salah dengan perencanaannya dan bukan pula karena unsur teknis.
Ternyata memang sengaja dibuat demikian agar bus yang banyak digunakan kaum kelas bawah kulit hitam dan hispanik tidak dapat melintas guna menuju pantai Long Island yang terkenal indah. Warga kelas atas dan kulit putih-lah yang punya akses menuju pantai.
Contoh lain, pemanfaatan dari penguasaan teknologi membuat terjadinya Genoside Rwanda 1994 yang memakan korban sebanyak 800.00 jiwa. Pada 1994, ketika orang Hutu, Tutsi, dan Twa memiliki radio, hanya orang Hutu yang memiliki stasiun radio. Mereka menyuarakan propaganda penuh kebencian terdapa orang Tutsi melalui udara. Ketika orang Tutsi mencoba melakukan pembelaaan dengan mendirikan stasiun radio, Pemerintah yang banyak didukung orang Hutu menjebloskan opetor dan orang-orang terlibat di dalamnya ke dalam penjara. Otomatis, orang Hutu jadi bulan-bulanan tanpa bisa melakukan pembelaan.
Akibatnya orang Tutsi banyak menjadi korban dari penyesatan informasi tersebut. Coba bayangkan jika terjadi pada era digital ini, mungkin orang Tutsi bisa melakukan pembelaan yang seimbang melalui medsos tanpa harus bergantung pada rezim pemerintah. Medsos menjadi media penyebaran benih-benih kebencian secara efektif dan efisien. Informasi yang keliru dapat menimbulkan masalah besar.
Perlunya Media Literacy