Negara Indonesia menjamin kehidupan agama bagi seluruh rakyatnya. Dasar negara Pancasila memberikan jaminan kebebasan beragama dengan sila yang pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Undang Undang Dasar 1945 juga menjamin kebebasan menjalankan agama yang tercantum dalam pasal 29. Di samping itu, semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika” memberikan peluang leluasa bagi beragam agama yang ada untuk mengikuti dan melaksanakan ajaran agama di bawah satu kesatuan dasar Pancasila dan UUD 1945. Menteri Agama RI tahun 1978-1984 (H. Alamsjah Ratu Perwiranegara) menetapkan Tri Kerukunan Beragama, yaitu tiga prinsip dasar aturan yang bisa dijadikan sebagai landasan toleransi antarumat beragama di Indonesia. Tiga prinsip dasar yang dimaksud tersebut adalah sebagai berikut:
1) Kerukunan intern umat beragama.
2) Kerukunan antar umat beragama.
3) Kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah
Meski dijamin oleh undang-undang tetapi ada batasan yang tak boleh dilanggar. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam pasal 28 ayat (2) berbunyi : “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”
Terkait dengan hal itu, Mabes Polri telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Kapolri soal penanganan ujaran kebencian atau hate speech Nomor SE/06/X/2015. Isi dalam surat itu salah satunya menyebutkan bahwa pelaku penebar kebencian melalui berbagai media termasuk media sosial bisa diancam hukuman pidana. Anggota kepolisian juga diminta untuk lebih peka untuk mengatisipasi terjadinya konflik sosial dengan mendamaikan pihak-pihak yang berselisih.
Tercatat banyak akun media di ranah virtual berisi konten tentang ujaran kebencian atau hate speech. Ujaran kebencian ini bisa berupa umpatan, pencemaran nama baik, penistaan, penghinaan, perbuatan tidak menyenangkan, menghasut, provokasi dan menyebarkan berita bohong (hoax).
Dalam penelitian yang dilakukan Gabriel Weimann (2014) perkembangan situs yang dimiliki kelompok terorisme dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada tahun 1998 hanya ada 12 situs terkait terorisme, maka pada 2003 telah meningkat menjadi 2.650 situs. Lalu jumlah membengkat menjadi 9.800 situs pada 2014.
Belum lagi provokasi kebencian yang dilakukan melalui medsos lainnya. ISIS tercatat pernah mengumbar hampir 40.000 kicauan (tweets) dalam satu hari. Berdasarkan data yang dirilis Brooking Institut pada 2014 tercatat setidaknya 46.000 akun Twitter terkait pendukung ISIS dengan rata-rata memiliki 1.000 follower. Hal ini belum termasuk pernyataan mereka melalui medsos lain macam Facebook, Line, Blackberry Messager, WhatsApp atau blog.
Memang sulit untuk memberantas atau melacak keberadaan mereka. Sehingga untuk mengantisipasi provokasi rasial melalui medsos, perlu digagas media literacy sebagai pendekatan baru bagi warga. Media literacy dapat dipahami sebagai suatu kecerdasan bermedia agar warga tetap dapat hidup sehat di tengah polusi informasi yang ditebar melalui medsos. Walau jumlah warga yang menggunakan medsos lebih sedikit dari warga yang tidak menggunakannya, desas-desus atau rumor yang bertebaran secara liar di medsos dapat lebih cepat melalui word of mouth (mulut ke mulut) sebagai teknik paling klasik dalam menyebarkan pesan.
Masyarakat perlu memastikan akurasi informasi yang diterimanya. Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama untuk membendung informasi spekulatif atau bohong di medsos. Pemerintah turut terlibat aktif baik melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi, Kementerian Agama, Kepolisian, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian/Lembaga/Instansi terkait lainnya untuk mensosialisasikan dan dialog terkait pentingnya kerukunan beragama teruma di kalangan digital native. Dialog harus dilakukan setara dengan hati lapang dan penuh penghargaan (‘ain al ridla) terhadap lawan dialog, bukan menganggapnya sebagai musuh serta memandang dengan kebencian (‘ain sukhth).