Mohon tunggu...
Herman Wahyudhi
Herman Wahyudhi Mohon Tunggu... Insinyur - PNS, Traveller, Numismatik, dan Pelahap Bermacam Buku

Semakin banyak tahu semakin tahu bahwa banyak yang kita tidak tahu. Terus belajar, belajar, dan belajar.

Selanjutnya

Tutup

Money

Quo Vadis Industri Bauksit Indonesia?

24 Juni 2015   22:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:13 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Dituruti.... Aku mati emak

Tak dituruti......Aku mati bapak

Begitulah.... Nasib cintaku

Bagai buah... Simalakama

 

Lagu Simalakama yang dipopulerkan oleh beberapa penyanyi diantaranya Soimah dan Denis Ariesta, seolah menjadi gambaran mengenai industri pertambangan mineral bauksit.     Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 1 Tahun 2014 yang diterbitkan pada tanggal 12 Januari 2014 dituding sebagai  biang keladi kekacuan industri bauksit di negeri ini.       Bak buah simalakama, kalau dituruti banyak industri pertambangan yang kolaps bahkan tutup.   Ujung-ujungnya terjadi pemutusan hubungan kerja (phk) dalam jumlah besar.    Tapi kalau tidak dituruti, bangsa ini akan terus bergantung pada industri pengolahan mineral bauksit di luar negeri.   Selain itu, tak ada nilai tambah dari industri mineral bauksit.   

 

THE MISSING LINK

Pada saat pemberlakuan  Permen ESDM No 1/2014, belum ada fasilitas pengolahan dan permurnian atau dikenal sebagai smelter di Indonesia.   Jadi tak salah jika hasil mineral bauksit ini diekspor keluar negeri untuk diolah menjadi alumina.  Kemudian alumina ini diekspor kembali ke Indonesia sebagai bahan baku pembuatan aluminium. 

Industri alumina inilah yang menjadi missing link dari industri alumunium tanah air.      Meski keputusan pelarangan ekspor mineral bauksit dinilai terlambat, tetapi pemerintah merasa perlu untuk membungun smelter alumina untuk mencari nilai tambah dari sumber daya alam Indonesia,  

Industri pertambangan bauksit sendiri sudah berlangsung selama 80 tahun.  Tercatat bahwa bauksit pertama kali ditemukan di Kijang pada tahun 1924.   Sedangkan penambangan dan ekspor bauksit dimulai sejak 1935 dan industri hilir PT. Inalum didirikan pada 1976.   Menurut Ketua Asosiasi Pengesuaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I ), Erry Sofyan, potensi cadangan mineral bauksit di Indonesia mencapai 7,55 milyar ton.  

 

KONTRA

Akibat Permen ESDM tersebut membuat industri bauksit hancur karena semua industri bauksit tak lagi dapat mengekspor bauksit yang merupakan bahan mentah pembuatan alumina yang kemudian diolah menjadi alumunium.   Akibat pelarangan tersebut,pasokan 40 juta ton bauksit dari industri nasional untuk dunia internasional menghilang.  Akibatnya harga bauksit di pasar internasional melejit dan dianggap sengaja untuk menguntungkan beberapa pihak.

Bahwa akibat pelarangan ekspor bauksit,Indonesia justru kehilangan potensi devisa sebesar Rp 17,6 triliun per tahun, penerimaan pajak Rp 4,09 trilun, dan penerimaan bukan pajak (PNPB) Rp 595 miliar.  Angka yang cukup besar.

Ketua APB3I mengungkapkan fakta bahwa 77 dari 182 pemegang IUP (Ijin Usaha Operasional) operasi produksi bauksit terhenti kegiatan penambangannya.  Selain hilangnya penerimaan negara, juga mengakibatkan hilang pekerjaan terutama masyarakat di sekitar tambang.    Bahkan ada yang memperkirakan pelarangan ekspor material mentah bauksit menyebabkan pengangguran hingga mencapai 800 ribu orang. 

 

PRO

Mereka yang pro terhadap pelarangan ekspor mineral bauksit menyatakan bahwa Permen ESDM Nomor 1/2014 tersebut sudah sesuai dengan amanat Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba).    Dan memang kebetulan peraturaran teknisnya ada di Kementerian ESDM.    Pelarangan ekspor mineral mentah merupakan perintah Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.   Undang-undang tersebut juga mewajibkan penambahan nilai tambah pada mineral mentah.    Diatur bahwa kebijakan tersebut harus dijalankan selambat-lambatnya 12 Januari 2014. 

Lahirnya UU Minerba sendiri merupakan era baru Indonesia sebagai negara yang tak lagi menjual bahan mentah.    Coba saja tengok, negara maju mana yang masih menjual bahan mentah ke negara lain.  Sumber daya alam yang ada di negara mereka justru dimanfaatkan untuk memberi nilai tambah pada nilai jualnya.   Mereka yang pro yakin bahwa program hilirisasi tak akan mematikan sektor pertambangan.  Kewajiban membangun smelter justru justru memberi kesempatan industri nasional memiliki nilai tyambah dari pengelolaan bahan mineral bauksit.     Bahkan menurut perhitungan Kementerian ESDM, nilai tambah yang bisa diraih dari pengelolaan mineral mentah ini bisa mencapai 50 kali lipat.  Jumlah yang selama ini melayang ke kas pendapatan negara lain.  Wow, jumlah yang fantastis.....

 

LALU BAIKNYA BAGAIMANA?

Sejak bauksit pertama kali di temukan di Indonesia pada 1924 dan sejak 1935 mulai diekspor ke luar negeri.   Sejak itulah hasil tambang bauksit di Indonesia kuras dan langsung diekspor ke luar negeri tanpa memberi nilai tambah.  Tak terasa kegiatan tersebut sudah berlangsung selama 80 tahun.   Lebih tua dari usia kemerdekaan negeri ini.  Status quo ini juga sudah lama dinikmati oleh IUP.    Sebenarnya kalau ditilik lagi, Permen ESDM Nomor 1/2014 ini tidak serta merta muncul melainkan sebagai pelaksana dari peraturan yang lebih tinggi  dan telah ada lebih dulu, yaitu UU Minerba.     Jadi sebenarnya sudah ada jeda selama 5 tahun.   Namun begitu ada Permen ESDM Nomor 1/2014 para pemegang IUP kelabakan dan merasa tidak siap.   Bagus juga sebagai shock therapy.    

Secara matematis pembangunan smelter membawa keuntungan sekaligus kemandirian industri tanah air terutama industri aluminium.    Lucu kan, Indonesia yang merupakan salah satu pengekpor bauksit terbesar dunia, justru PT Inalum mengimpor 100 persen alumina dari Australia.   PT Inalum begantung pada ekspor alumina untuk kelangsungan industri aluminium mereka.    Apa kata dunia.  

Kewajiban pengusaha untuk membangun smelter sendiri sebenarnya masuk akal.  Coba dihitung potensi pendapatan dari ekspor bauksit sekitar Rp. 17,6 triliun.  Padahal industri alumina mempunyai nilai jual 9 – 17 kali dari harga bauksit (jika bauksit harga per ton sekitar US$ 35 maka kisaran harga alumina lebih dari US$ 315).   Berarti dalam setahun kehilangan potensi pendapatan dari (misalkan) industri alumina tanah air adalah Rp. 17,6 triliun x 9 (minimal harga jual bauksit yang telah menjadi alumina) = Rp. 158,4 triliun.   Padahal angka ini cukup memadai  lho untuk membangun antara  22-26 smelter.   Diperkirakan biaya pembangunan satu smelter alumina berkisar antara Rp 6-7 triliun.  

Buktinya saat ini sedang dibangun 6 smelter di berbagai daerah.  Salah satunya smelter alumina yang  sedang dibangun di Kendawangan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.    Smelter ini merupakan investasi  dari PT Well Harvest Winning Alumina.    Perusahaan ini merupakan perusahaan patungan investasi lokal dan Cina.   Nilai investasi pembangunan smelter ini sekitar US $ 1 miliar (atau sekitar Rp 10 triliun) dengan kapasitas produksi sebesar 2 juta ton alumina pertahun. 

PT Aneka Tambang (Persero) Tbk pada awal Februari tahun ini bahkan telah resmi mengoperasikan secara komersial pabril pengolahan biji bauksit menjadi alumina yang berlokasi di Tayan, Kalimantan Barat.  Ini membuktikan bahwa Indonesia mampu mengolah industri alumunium dari hulu hingga hilir.   Rencananya komoditas alumina ini akan dikonsumsi pasar domestik dan sebagain di ekspor untuk memenuhi kebutuhan industri alumunium di Jepang serta pasar internasional.

Pemerintah juga tidakmenutup mata dengan perusahaan IUP yang bersungguh-sungguh ingin membangun smelter almunia.  Pemerintah bisa memberi insentif seperti pinjaman lunak perbankan, tax allowance, atau mengeskpor sebagian material mentah bauksit mereka untuk membiayai pembangunan smelter.   Syarat terakhir ini diberikan kepada IUP yang tengah membangun smelter dengan progress minimal 30 persen (riil di lapangan, bukan di atas kertas) namun kesulitan pembiayaan dalam menyelesaikannnya.   Diharapkan dengan adanya dispensasi ekpor bauksit dapat membuah cash flow perusahaan lancar hingga mampu menyelesaikan pembangunan smelter.

Sebaliknya untuk IUP mineral bauksit yang hanya mau mengekploitasi tambang tanpa mempertimbangkan nilai tambah yang telah ditetapkan, pemerintah dapat mempertimbangkan untuk mencabut IUP.       

 Ini membuktkan bahwa sebenarnya Indonesia mampu mandiri membangun smelter dan tidak perlu bergantung kepada smelter alumina negara lain.   Teringat kisah sewaktu mantan Menteri  Perindutrian MS Hidayat yang begitu terkejut saat  melakukan kunjungan kerja ke Cina.   Beliau melihat timbunan material bauksit sebanyak 3 juta ton di salah satu pelabuhan di Cina.   Mengapa tidak bangsa kita sendiri yang mengolahnya?   Mengapa harus diolah di Cina?   Mengapa Indonesia tidak punya smelter bauksit dan selamanya bergantung pada smelter asing? Tenaga kerja di Indonesia sudah siap dan trampil mengoperasikan smelter.   Jangan bilang bahwa sumber daya manusia Indonesia tidak siap mengoperasikan smelter.   Seperti akal-akalan saja.

Pengangguran yang ditakutkan mungkin saja akan terjadi dan rawan konflik sosial.  Namun bila benar-benar terjadi pengangguran maka itu hanya akan berlangsung selama 2 hingga 3 tahun.   Setelah smelter siap beroperasi  justru akan membuka peluang kerja baru.   Tambang-tambang bauksit pun akan aktif kembali seperti sedia kala.   Beroperasi untuk memenuhi permintaan smelter dalam negeri.   

Berdasarkan data PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum), yang merupakan satu-satunya produsen aluminium ingot nasional,   PT Inalum hanya dapat memenuhi kebutuhan aluminium ingot pasar domestik sebanyak 100 ribu ton dari total kebutuhan 500 ribu ton pertahun.   Sehingga sisa kebutuhan aluminium ingot diimpor dari luar negeri padahal Indonesia adalah salah satu pengekspor bauksit dunia.   Bahkan eskpor bauksit Indonesia memenuhi 80 persen kebutuhan bauksit Cina.    Ironis bukan.......  

Sebagai bangsa yang besar, kita harus belajar keluarga dari zona nyaman.    Jadilah raja di negeri sendiri dan jangan puas hanya menjadi bangsa kuli.   Bangsa Indonesia harus belajar lebih banyak dari negara-negara maju yang miskin sumber daya macam Jepang, Korea Selatan, dan Singapura.

Jepang negara yang rawan bencanan serta memiliki sumber daya alam yang terbatas dan tidak mencukupi untuk menopang pertumbuhan ekonomi negara dan jumlah penduduk yang besar.   Sebab itu Jepang sangat bergantung pada impor bahan mentah dari luar negeri.   Hebatnya dari pengolahan bahan mentah tersebut, Jepang berhasil menjadi negara maju.  Negara matahari terbit ini menjadi produsen utama mobil, motor, komputer, semikonduktor, baja, dan lain-lain.

Tidak seperti tetangganya Korea Utara, Korea Selatan memiliki sumber daya alam yang terbatas.   Seperti Jepang, Korea Selatan sangat bergantung pada impor material metah untuk pertumbuhan industri mereka.   Namun Industri Korea Selatan mulai bangkit pada era 1960-an dan menjadikannya sebagai salah satu negara maju.    Banyak produksi dihasilkan negeri ginseng ini seperti telepon genggam, elektronik, mobil, kapal, petrokimia, dan masih banyak lagi.

Negeri Singapura juga menjadi salah satu negara termakmur di dunia.  Negara yang tidak lebih besar dari Jakarta, sekitar 48 persen produk ekspornya merupakan hasil olahan ulang.    

Indonesia harus belajar dari negera-negara tersebut.    Bahwa harus ada nilai tambah d hasil tambang dan mineral.  Sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) menyebutkan Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.    Negara berdaulat mutlak atas kekayaan sumber daya alam.  Jangan sampai bangsa ini menjadi bangsa pemalas dikarenakan sumber daya alam yang melimpah dan memberikan anugerah alam tersebut kepada negara lain.  Quo vadis? Wake up Indonesia...........

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun