Postingan itu meningatkan kembali kenalan pertama kami di salah satu sudut kampus STMIK AKAKOM. Ia memperkenalkan diri nama Senin Rahmat asal Batam dengan dialek melayu. Kemudian ia mengaku ayahnya berasal dari Alor. Tapi, itulah perkenalan kami yang selalu dikenang. Awal mula saya mengenalnya. Dari perkenalan itu, bila ia sedang bersama saya, saya merasa dirinya orang NTT daripada orang Batam.
Postingan demi postingan safari politiknya sebenarnya meningspirasi saya untuk menulis tentangnya. Dalam bathin, saya berjanji untuk membuatkan tulisan untuknya. Mengupas tentang Senin dari sisi yang berbeda dalam rangka mendukungnya dalam perhelatan Pileg tahun ini.Â
Sayangnya, hingga hari menjelang Pemilu tak satu pun tulisan yang dihasilkanya. Janji itu tertimbun di bathin, Senin pun tak pernah tahu itu. Hingga ajalnya tiba, janji itu penuhi sekarang tetapi sudah dalam versi yang berbeda.
Senin memang telah tiada. Kenanganya merintis jalan politiknya tetap terpajang dan akan selalu dikenang oleh siapapun yang mengenalnya. Ia membuktikan dirinya sebagai petarung. Bekerja sepanjang siang dan malam. Ia bergerak dari satu titik ke titik yang lain hanya untuk mewartakan sabda politiknya. Dukungan meluas. Sambutan hangat didapatnya. Â
Senin telah membaktikan hidupnya melalui kendaraan politik yang bernama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang ditumpanginya. Ia telah sungguh-sungguh membuktikan diri kepada dunia bahwa ia sungguh-sungguh bekerja.  Bila kerja tak mencapai hasil yang klimaks yang dikehendaki manusia bukanlah sebuah kekalahan melainkan  sebuah kemenangan. Ia telah memangkan sebuah pertarungan atas maut karena imannya.Â
Pada akhirnya,  Pileg bukan lagi  ajang demokrasi yang sejati. Pemilu sejati bukanlah pemilu legislatif. Pemilu sejati, pemilu yang dilakukan oleh Tuhan sendiri. Ia memilih hamba-Nya untuk pulang dan menghuni tempat yang paling pantas di kerajaan-Nya.
Senin telah menghantar perjuangannya hingga garis finish. Â Toh, pada akhirnya, Tuhan menjemputnya di garis finish itu. Senin kembali ke pangkuan-Nya. Satu tempat atau kursi di rumah keabadian tersedia untuknya. Amal bhakti semasa hidup menjadi bekal yang dibawa pulang dan menjadi dirinya layak menghuninya.
Kerja sebuah amanah. Kerja adalah sebuah manifestasi dari iman. Senin telah membuktikan itu hingga ajal menjemputnya. Status Facebook di atas menjadi rangkuman penutup sebelum ia berpisah. Kalimat-kalimat yang dituliskan tampak sebuah ungkapan dari dalam bathinnya yang mungkin tak disadarinya. Kita pun sadar kemudian. Inilah kalimat-kalimat perpisahan.
Tak banyak Caleg yang mau berterima kasih kala hari perhitungan suara belum usai apalagi sesudahnya -- dalam situasi kalah atau menang. Tak banyak Caleg merasa bersalah lalu meminta maaf kepada orang yang merasa diri tersakiti oleh kata dan perbuataan semasanya kampanye. Senin telah memberikan contoh yang baik. Apapun hasil dari konstelasi politik, nada syukur, ucapan terimakasih, dan permohonan maaf harus terujar sebelum Tuhan memanggil kita pulang. Itulah yang melapangkan jalan seseorang menuju Rumah Bapa. Rumah Keabadian.
Senin tetap sosok seorang manusia. Ia memang tak lepas dari dosa, salah, dan kilaf. Syukur, terimakasih dan maaf adalah tutur, sikap dan tindakan yang  menunjukkan dirinya sebagai politisi yang ksatria. Senin adalah salah satu dari sedikit orang yang berpolitik secara kastria.
Kini, Senin tak lagi menjadi utusan PKB di dunia politik, ia telah menjelma menjadi utusan dari dunia yang dipilih Tuhan. Apapun sebab kematiannya, dengan kaca mata iman itu semua adalah kehendak yang terbaik dari Tuhan. Tentang kematian tak ada konfrontasi.Â