"Saya tahu kamu mencintaku dari hati. Kamu tulus membangun hubungan denganku."
"Anda menginginkan perasaan yang tulus lalu kenapa tidak menerima pengakuan dari saya?"
"Komunikasi itu penting, sayang. Mengapa kamu menolak teleponku? Sebenarnya aku mau menjelaskan peristiwa yang menyakitkanmu itu."
"Saya punya hati tidak akan luluh. Saya kecewa. Tadi bukan bercanda. Begini yah kalau memang tidak nyaman dengan saya, ya bicara apa adanya. To the point."
"Lantas, untuk apa saya menceritakan seluruh kisah masa laluku semalam?"
"Ya itu khan hanya ingin berbagi."
"Berbagi untuk apa? Karena keyakinanku kepadamulah, aku membuka diri apa adanya."
"Kekuatan doa yang paling besar adalah memaafkan orang lain. Bahasa kitab sucinya, mengampuni." Lanjut Marvel.
"Ya. Sudahlah. Semuanya saya yang salah. Saya terlalu berlebihan maka saya tidak kontrol diri. Tapi itu tulus saya mengakui. Kalau memang kamu tidak mengakui yah mungkin karena alasan lain. Dan, saya tahu alasan itu apa. Jadi, sebelum hubungan ini terlalu jauh yah saya memilih untuk mengundurkan diri. Maafkan saya."
Pesan terakhir dari Monika dibaca Marvel berulang kali. Beragam perasaan berkecamuk. Marvel ingin berteriak sepuasnya. Memecahkan malam yang semakin larut. Tapi itu tak mungkin. Malam terlalu sunyi.
Menunggu balasan Whatsapp dari Monika tak kunjung tiba, Marvel pun tertidur. Lelap sekali. Perdebatannya dengan Monika telah menguras energi yang besar. Lebih berat daripada ia membajak sawah di kampungnya. Kali ini ia benar-benar rasa bersalah, menyesal dan pula kesal. Kesal karena sikap Monika yang tak mau peduli dengan permintaannya.