Situasi menyebrangi kali dalam perjalanan pulang dari air terjun Tanggedu (Foto: Primus Metboki)
Keringat bercucuran. Baju kian basah dihujani keringat. Dengan perlengkapan seadanya tanpa perbekalan, kami hanya melindungi kepala dengan kantong plastik dari serangan rintik hujan.Â
Melintasi setapak di tengah kebun warga yang mulai becek. Hingga akhirnya, kami berteduh di bawah rumah seorang warga dimana kami harus mengisi buku tamu dan membayar Rp. 50.000,- sebagai biaya masuk kawasan air terjun.
Kami  berisitirahat sejenak dan menarik nafas. Ratusan meter lagi menggapai tujuan. Setelah tubuh bertenaga, pertualangan dilanjutkan. Baru seberapa meter dari rumah yang kami singgah, hujan kian deras. Baju dan celana pun basah. Keadaan ini tak patahkan semangat kami. Kami bersatu dalam tekad tunggal, menggapai air terjun Tanggedu secepatnya. Kami terus melangkah diiringi canda dan tawa. Mungkin inilah yang menyebabkan perjalanan kami semakin bergairah dan berwarna. Akhirnya, sebuah papan bertuliskan Air Terjun Tanggedu terlihat dari kejauhan menjadi penyemangat. Perjalanan ini tak boleh sia-sia. Semakin dekat ke arah papan itu, semakin terdengar gemuruh air. Sesampai di tepi ngarai, gemuruh air kian melangit. Hujan terus terkucur dari langit. Sekejap tubuh kami basah kuyup. Pendampakan air terjun tertutup banjir maha dasyat. Hasrat untuk mencumbui air terjun Tanggedu layu seketika. Menyesal pun menghinggapi hati kami semua. Niat pulang pun segera. Tapi, pada akhirnya kami semua tetap bersyukur. Apa yang terjadinya seandainya banjir itu datang ketika itu kami di dasar sungai? Hanya Tuhan bisa menjawab peristiwa ini.  Dan, Tuhan telah menjawab semua itu. Kami diselamatkan oleh alam sendiri. Itulah kami mengimaninya.
Kami pun berbalik arah dengan tenaga yang masih tersisa. Kami beristirahat sejenak di rumah penduduk. Pemandu kami makan sirih dengan tuan rumah, kami bercanda satu dengan yang lainnya.Â
Tenaga pulih terisi, kami lanjutkan perjalanan. Sesampai rumah dimana kami mengisi tamu, dari seberang kali kami dikabarkan untuk istirahat sejenak karena kali mati telah dialiri  banjir. Kami memutuskan untuk terus melangkah dan menunggu banjir surut dari pinggir sungai saja.
Semakin dekat dengan kali kecil itu, semakin terdengar deruh suara banjir. Astaga. Berapa lama lagi kami harus menunggu di sini? Bagaimana cara menyeberang ke sebelah?Â
Berbagai pertanyaan dan rasa berkecamuk di benak. Yanti tampak shock, Kiki dan Dewi menampakan wajah yang optimis. Kami duduk seperti sedang berbaris sepanjang jalan setapak itu.Â
Satu jam lebih kami berada di situ. Air surut sangat lamban. Pemandu meyakinkan kami air akan cepat surut. Menurutnya, banjir ini merupakan tumpahan air dari padang. Ia meyakinkan kami untuk bersabar.
Situasi menyebrangi kali dalam perjalanan pulang dari air terjun Tanggedu (Foto: Primus Metboki)Langit semakin cerah. Cahaya matahari menelisik celah pepohonan dan menembus kali. Perubahan alam ini meyakinkan kami bahwa hujan tak turun lagi. Di seberang kali, kami melihat anak Pak Uron membawa seutas tali nilon.Â