Monika, gadis Aimere, Ngada, mendadak viral di media sosial. Video-video yang di-upload-nya di Facebook memancing beragam tanggapan dan perasaan. Tanggapan positif, pula ada yang negatif. Perasaan lucu, pula amarah. Dari siapa? Ya, pinjam istilah Monika, dari "rakat-rakat" yang lain.
Penulis tak selalu mengikuti perkembangannya, juga tidak telusuri kisahnya di dunia maya. Secara kebetulan saja, postingan yang terkait dengan Monika "Rakat" lewat di halaman pribadi saya. Saya temukan di sana, segala perasaan tumpah ruah dan sumpah serampah meluber di dinding-dinding maya.
Rakat bukanlah kata yang baru di kalangan orang-orang NTT di perantuan. Penulis justeru sering mendengar kata itu dari kawan-kawan semasa kuliah di Yogyakarta. Namun, kata itu menjadi polemik belakangan ini dengan hadirnya Monika di Facebook.
Secara etimologis, "rakat" berasal kata "masyarakat". "Rakat" kemudian menunjukkan kepada kelompok orang Indonesia Bagian Timur, lebih khusus untuk orang NTT di perantauan. Sehingga kata ini di NTT tak terlalu populer dan hampir tidak pernah didengar oleh telinga penulis.Â
Jika pernyataan penulis salah, silakan koreksi. Sehingga tak salah pula bila Monika yang berdomisili di Jakarta menyelipkan kata "rakat" dalam video-video yang diunggah di Facebook. Lain rasanya bila Monika mengambil lokasi shooting atau merekam dirinya di NTT.
Tak sedikit yang enjoy dengan video-video Monika. Mereka menikmatinya sebagai hiburan setelah pikiran sehatnya digerus oleh isu politik yang membosankan dan melelahkan. Tapi tak sedikit pula yang memarahi, memaki dan mengancam Monika dan orang tuanya karena videonya yang menurut mereka melecehkan kelompok "rakat" sendiri. Apalagi Monika menyebut "rakat" dengan embel-embel orang kampung dan miskin.Â
Lantas mereka menilai Monika seperti sosok Mina Ancur dalam lagu yang populer di era akhir 80-an. Monika yang lupa akar jati dirinya dan berpenampilan menor setelah tiba di kota.
Siapa yang pertama kali menggunakan kata "rakat" menjadi tanya besar saya. Sesuatu yang pasti, kata itu muncul dalam percakapan harian orang NTT di perantauan.
"Siapa itu?"
"Biasa, si rakat."
Kira-kira begitu penggalan dialog yang kerap kita dengar di perantauan.
Bila ada yang tahu asal mula kata ini dipercakapkan, bisa saling berbagi informasi. Yang pasti, "rakat" diksi lama yang dipopulerkan kembali dalam kamus percakapan dan tak lama lagi (mungkin) masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang berarti "orang atau masyarakat NTT". Entah "rakat" itu orang Flores, Timor, dan seterusnya. Kata ini menjadi familiar di kalangan orang NTT di perantauan. Lalu, apa yang salah dengan Monika?
Bila Monika menyebut "rakat" miskin dan kampongan lalu apa bedanya kita menyebut orang NTT miskin dan kampungan? Sama saja khan? Watak orang NTT yang keras sekeras alamnya ternyata memiliki perasaan yang sangat sensitif. Mudah marah, mengamuk dan berkata kasar. Monika pun jadi sasaran amarah itu.
Terlepas dari beragam respon terhadap video Monika, kata "rakat" menjadi sama viralnya dengan dirinya. Rakat tak hanya menyebutkan group etnis atau suku, pula menggambarkan siapakah sesungguhnya diri kita. Meskipun tak semua, segelintir saja yang berperangai pemarah.
Monika dalam hati sadar, dirinya adalah "rakat" dan video yang dibuatnya hanya hiburan semata. Tak lebih dari itu, apalagi melecehkan dirinya dan etnisnya. Kehadiran Monika mengingatkan penulis tentang makna "rakat" - telaah dan pemaknaan versi penulis.
"Rakat" menggambarkan representasi orang atau kelompok Indonesia Bagian Timur, khususnya NTT, yang di perantauan. Tak heran kata ini sering digunakan oleh kalangan mahasiswa di tanah Jawa. Perpindahan masyarakat NTT (mahasiswa) dari tanah kelahiran ke tanah rantauan membawaserta dengan kebiasaan dan karakter dasarnya. Dan, kata "rakat" kerap mengekspresikan kelompok orang NTT yang dinilai aneh -- berubah masuk kota atau daerah baru.Â
Misalnya, berbicara dengan dialek Jawa meskipun dia tahu dengan asal pasangan bicaranya. Seorang sadar bersua dengan orang-orang seasal tapi membuat diri tak kenal dengan sesama. Lantas orang mencap dengan kalimat "dasar rakat". Itu salah satu contoh, masih banyak ungkapan lain yang ditautkan dengan kata "rakat".
Itu baru perubahan sikap dan perilaku. Belum lagi perubahan penampilan. Orang dapat mewujudkan dirinya seperti apa sesampai di kota. Memodifikasi penampilannya. Memfermak rambutnya. Semula berambut keriting dibuat lurus. Polesan bibir merah. Bergaya dengan kaca mata seukuran gula lempeng. Biar kekotaan. Mengikuti jaman.
Perubahan sikap, perilaku dan penampilan satu dari sebagaian kecil ini yang menyebabkan masyarakat NTT perantuan kerap dilabeli dengan "rakat" oleh sesama "rakat". Jadi, "rakat" selain kata benda yang menunjukkan masyarakat NTT juga menggambarkan ekspresi terhadap sikap, perilaku dan penampilan "rakat" setelah memetamorfosis diri sebagai orang kota.
Lalu, salahkan dengan Monika? Tidak. Di salah cuplikan videonya, Monika menyebut dirinya "rakat" juga. Lalu, pantaskah ada yang marah-marah? Ya, wajar saja. Karena kita tak mampu membendung orang untuk merespon. Sudut pandang setiap orang berbeda-beda. Penilaiannya beragam. Hanya saja, responnya harus cerdas dan beretika.
Apapun dampak yang dilakoni Monika "Rakat", ia telah mempopulerkan kata "rakat" secara masif meskipun harus memicu polemik dan perdebatan. Monika seperti mengajak penulis kembali ke era 90-an kala kata "rakat" menjadi kosa kata baru di Yogyakarta.
Menyingkatkan kata supaya lebih pendek seperti "masyarakat" menjadi "rakat" atau sebuah kalimat seperti "saya pergi makan" menjadi "sa pi makan" merupakan hal biasa di NTT. Inilah fenomena penutur untuk mempersingkat ucapan dan bukan hal baru bagi orang NTT dan orang Indonesia Bagian Timur lainnya. Memang, secara tak sadar kebiasaan berbahasa itu terbawa ke tanah rantauan.Â
Dan, ini sulit dipahami oleh orang lain atau bukan orang NTT. Mereka membutuhkan waktu lama untuk memahaminya. Misalnya, kalimat "sa pi makan". Kedengaran sepintasnya, "sapi makan", padahal "saya pergi makan".
Dulu, kita mungkin beranggapan hal itu kampungan. Malu mengucapkan. Lalu, kita memilih untuk berdialek Jawa, Jakarta dan sebagainya. Hal-hal itu sebagai suatu kebanggaan saat seseorang pulang kampong. Kini, hal itu menjadi ngetrend. Apalagi "Sa Su Sayang", lagu yang dipopulerkan Dian Sorowea menjadi trending topic di google. Selain musiknya indah, syair-syair bikin orang penasaran dan kendengarannya asik-asik saja.Â
Bahasa-bahasa yang tak lazim bagi orang di seberang Indonesia Bagian Barat. Tapi inilah kekayaan kita. Kita yang adalah "rakat". Memiliki kekayaan linguistik dalam bahasa tutur sehari-hari. Begitu pula dengan kata "rakat", menjadi populer di Indonesia. Dan, orang semakin mengenal sisi lain kata NTT sebagai pemilik kata "rakat".
Monika mungkin tak membayangkan sejauh itu. Dirinya dan kata "rakat" menjadi viral. Apapun dampaknya, ia telah menunjukkan kreativitas dan kejujurannya (pengakuan dirinya sebagai "rakat"). Orang semakin mengenal NTT tak hanya dari sisi alam dan budaya pula aspek linguistiknya.Â
Simak saja, video Monika dengan logat Bajawa-nya yang kental dan beragam video jawaban dari "rakat" dengan logat yang beragam Bajawa, Nagi, dan sebagainya. Ini menjadi satu point penting. "Rakat" berani menunjukkan jati dirinya, ya dengan berbahasa dan berdialek seturut asal mereka meskipun pilihan kata-kata tidak beretika dan mengarah ke rasis. Sisi ini, NTT sangat kaya.Â
Satu hal yang kita tidak sadari dan lupa, kita menghabiskan energi untuk hal-hal yang remeh temeh dan terbawa emosi oleh video Monika "Rakat" yang membahana itu. What's wrong? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H