Dan, ini sulit dipahami oleh orang lain atau bukan orang NTT. Mereka membutuhkan waktu lama untuk memahaminya. Misalnya, kalimat "sa pi makan". Kedengaran sepintasnya, "sapi makan", padahal "saya pergi makan".
Dulu, kita mungkin beranggapan hal itu kampungan. Malu mengucapkan. Lalu, kita memilih untuk berdialek Jawa, Jakarta dan sebagainya. Hal-hal itu sebagai suatu kebanggaan saat seseorang pulang kampong. Kini, hal itu menjadi ngetrend. Apalagi "Sa Su Sayang", lagu yang dipopulerkan Dian Sorowea menjadi trending topic di google. Selain musiknya indah, syair-syair bikin orang penasaran dan kendengarannya asik-asik saja.Â
Bahasa-bahasa yang tak lazim bagi orang di seberang Indonesia Bagian Barat. Tapi inilah kekayaan kita. Kita yang adalah "rakat". Memiliki kekayaan linguistik dalam bahasa tutur sehari-hari. Begitu pula dengan kata "rakat", menjadi populer di Indonesia. Dan, orang semakin mengenal sisi lain kata NTT sebagai pemilik kata "rakat".
Monika mungkin tak membayangkan sejauh itu. Dirinya dan kata "rakat" menjadi viral. Apapun dampaknya, ia telah menunjukkan kreativitas dan kejujurannya (pengakuan dirinya sebagai "rakat"). Orang semakin mengenal NTT tak hanya dari sisi alam dan budaya pula aspek linguistiknya.Â
Simak saja, video Monika dengan logat Bajawa-nya yang kental dan beragam video jawaban dari "rakat" dengan logat yang beragam Bajawa, Nagi, dan sebagainya. Ini menjadi satu point penting. "Rakat" berani menunjukkan jati dirinya, ya dengan berbahasa dan berdialek seturut asal mereka meskipun pilihan kata-kata tidak beretika dan mengarah ke rasis. Sisi ini, NTT sangat kaya.Â
Satu hal yang kita tidak sadari dan lupa, kita menghabiskan energi untuk hal-hal yang remeh temeh dan terbawa emosi oleh video Monika "Rakat" yang membahana itu. What's wrong? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H