Mohon tunggu...
Giorgio Babo Moggi
Giorgio Babo Moggi Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar yang tak berhenti untuk menulis

Dream is My Life's Keyword.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Petaka (Monika) "Rakat" dan Kekayaan Linguistik

15 Maret 2019   07:17 Diperbarui: 15 Maret 2019   07:42 2999
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bila ada yang tahu asal mula kata ini dipercakapkan, bisa saling berbagi informasi. Yang pasti, "rakat" diksi lama yang dipopulerkan kembali dalam kamus percakapan dan tak lama lagi (mungkin) masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang berarti "orang atau masyarakat NTT". Entah "rakat" itu orang Flores, Timor, dan seterusnya. Kata ini menjadi familiar di kalangan orang NTT di perantauan. Lalu, apa yang salah dengan Monika?

Bila Monika menyebut "rakat" miskin dan kampongan lalu apa bedanya kita menyebut orang NTT miskin dan kampungan? Sama saja khan? Watak orang NTT yang keras sekeras alamnya ternyata memiliki perasaan yang sangat sensitif. Mudah marah, mengamuk dan berkata kasar. Monika pun jadi sasaran amarah itu.

Terlepas dari beragam respon terhadap video Monika, kata "rakat" menjadi sama viralnya dengan dirinya. Rakat tak hanya menyebutkan group etnis atau suku, pula menggambarkan siapakah sesungguhnya diri kita. Meskipun tak semua, segelintir saja yang berperangai pemarah.

Monika dalam hati sadar, dirinya adalah "rakat" dan video yang dibuatnya hanya hiburan semata. Tak lebih dari itu, apalagi melecehkan dirinya dan etnisnya. Kehadiran Monika mengingatkan penulis tentang makna "rakat" - telaah dan pemaknaan versi penulis.

"Rakat" menggambarkan representasi orang atau kelompok Indonesia Bagian Timur, khususnya NTT, yang di perantauan. Tak heran kata ini sering digunakan oleh kalangan mahasiswa di tanah Jawa. Perpindahan masyarakat NTT (mahasiswa) dari tanah kelahiran ke tanah rantauan membawaserta dengan kebiasaan dan karakter dasarnya. Dan, kata "rakat" kerap mengekspresikan kelompok orang NTT yang dinilai aneh -- berubah masuk kota atau daerah baru. 

Misalnya, berbicara dengan dialek Jawa meskipun dia tahu dengan asal pasangan bicaranya. Seorang sadar bersua dengan orang-orang seasal tapi membuat diri tak kenal dengan sesama. Lantas orang mencap dengan kalimat "dasar rakat". Itu salah satu contoh, masih banyak ungkapan lain yang ditautkan dengan kata "rakat".

Itu baru perubahan sikap dan perilaku. Belum lagi perubahan penampilan. Orang dapat mewujudkan dirinya seperti apa sesampai di kota. Memodifikasi penampilannya. Memfermak rambutnya. Semula berambut keriting dibuat lurus. Polesan bibir merah. Bergaya dengan kaca mata seukuran gula lempeng. Biar kekotaan. Mengikuti jaman.

Perubahan sikap, perilaku dan penampilan satu dari sebagaian kecil ini yang menyebabkan masyarakat NTT perantuan kerap dilabeli dengan "rakat" oleh sesama "rakat". Jadi, "rakat" selain kata benda yang menunjukkan masyarakat NTT juga menggambarkan ekspresi terhadap sikap, perilaku dan penampilan "rakat" setelah memetamorfosis diri sebagai orang kota.

Lalu, salahkan dengan Monika? Tidak. Di salah cuplikan videonya, Monika menyebut dirinya "rakat" juga. Lalu, pantaskah ada yang marah-marah? Ya, wajar saja. Karena kita tak mampu membendung orang untuk merespon. Sudut pandang setiap orang berbeda-beda. Penilaiannya beragam. Hanya saja, responnya harus cerdas dan beretika.

Apapun dampak yang dilakoni Monika "Rakat", ia telah mempopulerkan kata "rakat" secara masif meskipun harus memicu polemik dan perdebatan. Monika seperti mengajak penulis kembali ke era 90-an kala kata "rakat" menjadi kosa kata baru di Yogyakarta.

Menyingkatkan kata supaya lebih pendek seperti "masyarakat" menjadi "rakat" atau sebuah kalimat seperti "saya pergi makan" menjadi "sa pi makan" merupakan hal biasa di NTT. Inilah fenomena penutur untuk mempersingkat ucapan dan bukan hal baru bagi orang NTT dan orang Indonesia Bagian Timur lainnya. Memang, secara tak sadar kebiasaan berbahasa itu terbawa ke tanah rantauan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun