Pagi, 30 Juli 2016, langit Kota Kupang cerah ceriah. Seolah siap menyongsong puncak perayaan Hari Keluarga Nasional 2016 yang terpusat di kota karang ini.
Puncak perayaan Harganas 2016 ini dihadiri oleh sang presiden republik ini. Joko Widodo. Presiden populis ini datang lebih awal dan menginap di Hotel Aston Kelapa Lima Kupang.
Kehadiran Jokowi di Aston tidak ada penjagaan yang luar biasa ketat. Memang terlihat para serdadu berloreng berjaga-jaga di gang-gang tak jauh dari hotel. Adanya aparat polisi dan angkatan bersenjata yang lainnya.
Kesan yang muncul hari itu, tidak ada suasana yang mencekam. Biasa-biasa saja. Bahkan masyarakat nyaris tidak merasakan jikalau Jokowi menginap di hotel tertinggi di kota karang ini. Masyarakat tetap melakukan aktivitas biasa. Kendaraan lalu-lalang seperti biasa pula.
Suasana ini mendorong saya untuk menyaksikan Jokowi lebih dekat. Sedekat tatapan mata. Secara kebetulan juga saya sedang berada di rumah keluarga yang tidak jauh di Hotel Aston. Maka bergegaslah kami, hampir seisi rumah, berduyun-duyun ke jalan raya.
Lumayan lama menanti Jokowi. Nyaris melelahkan. Tapi semangat untuk melihat Jokowi mengalahkan kelelahan fisik akibat kurang tidur semalam. Penantian tiba, Jokowi keluar dari hotel di atas mobil Jeep hitam berplat merah. Mobil yang dibawa khusus dari Jakarta.
Kami memang berdiri pada posisi yang tepat. Sesuai arahan seorang polisi yang membocorkan bahwa Jokowi duduk di posisi sebelah kanan sopir karena stir mobil yang ditumpang Jokowi di sebelah kiri.
Meskipun terusik dengan kendaraan yang datang dari arah berlawanan, saya berhasil membidik Jokowi yang dibalut senyum dan senantiasa melambaikan tangan.
Senyum tulusnya menyapa warga sepanjang jalan – termasuk penulis. Lambaian tangannya mengisyaratkan keakraban dan kehangatan serta keramahan seorang presiden.
Tiada pagar betis yang mengawalnya. Masyarakat sibuk dengan aktivitas masing-masing. Suatu keadaan yang berbeda dengan rezim-rezim sebelumnya. Penulis tidak bermaksud untuk membanding-bandingkan. Hanya mau mempertegas setiap masa ada pemimpinnya, setiap pemimpin ada masanya. Setiap pemimpin memiliki karakter kepemimpinan yang berbeda-beda.
Menyaksikan Jokowi yang selalu menebar senyum sejak keluar dari Hotel Aston dan tangan tidak pernah lelah dilambaikan menunjukkan bagian dari komunikasi itu sendiri. Jokowi adalah komunikator ulung. Ia pandai dan tahu cara yang tepat untuk menyadarkan masyarakat akan kehadirannya.
Lambaian tangan Jokowi mengingatkan saya akan kisah seorang biarawati, perawat dan pendiri Pusat Rehabilitasi Kusta-Cacat Cancar, Manggarai, NTT. Dia adalah Sr. Virgula SSpS. Wanita yang telah berusia sepuh dan kini menjalankan masa-masa paripurna tugas di Steyl, Belanda.
Ada kebiasaan positif dari biarawati humanis ini, yakni ia selalu melambaikan tangan kepada siapa saja dalam perjalanannya ke kampung-kampung guna mengobati pasien yang sakit lepra atau kusta. Biasanya ia tidur atau berdoa. Selebihnya ia selalu melambaikan tangan kepada orang yang dijumpai di jalan raya. Hal ini ia lakukan dari atas mobil.
Ia selalu mengatakan bahwa sebuah keharusan untuk melambaikan tangan atau say hello kepada orang lain. Siapapun dia. Dikenal ataupun tidak. Bisa saja lambaian tangan kita dapat membebaskan orang-orang yang dijumpai dari masalah yang dihadapi saat itu. Entah mereka balas atau tidak, hal itu tidak menjadi soal, ia melakukannya sebagai rutinitas kalau ia sedang berpergian.
Saat ditanya alasannya, ia hanya berkata, ”Kita perlu membagi kegembiraan kepada orang lain. Mungkin saat itu orang itu sedang ditimpah masalah, ia akan terhibur dengan lambaian tangan dan sapaan kita.”
Lambaian tangan dan senyum Jokowi adalah sebuah bentuk atau wujud sapaan. Bisa pula lambaian tangan dan senyum Jokowi wujud lain untuk berbagi kegembiraan dengan masyarakatnya. Yang pasti Jokowi telah memainkan peran sebagai komunikator yang ulung. *** (gbm)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H