Diskursus mengenai hubungan hukum dan politik selalu menarik untuk dibahas. Karena dua hal ini selalu menjadi variabel yang memiliki peran strategis  guna menciptakan peradaban dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga jika ada pertanyaan tentang bagaimana relasi antara hukum dan politik?  apakah hukum  yang mempengaruhi politik, ataukah politik yang mempengaruhi hukum?Â
maka setidaknya dapat  dijawab dengan penjelasan: Pertama, hukum determinan atas  politik dalam arti kegiatan politik diatur oleh aturan hukum dan harus tunduk pada aturan hukum. Kedua, politik determinan atas hukum karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling berkaaitan. Ketiga, politik dan hukum sebagai subsistem sosial berada pada posisi yang seimbang determinasinya.Sebab, meskipun hukum merupakan produk keputusan politik, namun dengan adanya hukum, maka segala aktivitas politik harus mengikuti aturan yang diatur oleh hukum.
Jika kita bicara relasi antara politik dan hukum dalam konteks dewasa ini maka selalu kita menemukan bahwa politik itu selalu determinan atas hukum. Politik selalu memiliki kekuatan yang lebih besar dibandingkan hukum itu sendiri. Bahkan kebanyakan para penstudi hukum mengatakan bahwa hukum adalah produk politik. Artinya bahwa produk hukum yang dibentuk oleh legislator tak steril dari kepentingan politik para pembuatnya. Hukum yang dibentuk oleh suatu negara melalui proses legislasi yang dibuat oleh legislator (DPR) Â tak lepas dari kepentingan atau politik.
Memang jika kita perhatikan, karakter politik indonesia tak lepas dari kebijakan yang berdasarkan hukum, sebab indonesia merupakan negara yang berdasarkan hukum (rechstaat) artinya segala tindakan dan kebijakan suatu negara haruslah berdasarkan hukum, namun demikian politik yang atau kekuasaan yang dijalankan negara dibatasi oleh hukum. Disitulah menariknya jika kita berbicara kedua subsitem dalam masyarakat ini.
Politik juga selalu dikaitkan dengan kekuasaan, karena memang konsep politik itu tak lepas dari mempertahankan kekuasaan. Menurut Niccolo Machiavelli, kekuasaan cenderung dilanggengkan oleh setiap penguasa lewat berbagai cara. Segala bentuk dan macam cara tidak menjadi persoalan asalkan kekuasaan itu dapat dipertahankan. Dari pandangan Machiavelli ini dapat di ketahui bahwa adanya cara-cara diskriminatif dan berlebihan atas tindakan yang dianggap mengancam dan membahayakan penguasa termasuk menggunakan hukum sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan tersebut. Hal ini disebabkan oleh kondisi penguasa yang cenderung memiliki ambisi untuk berkuasa terus-menerus. Sehingga kadangkala kepentingan penguasa sering bertolak belakang dengan kepentingan rakyat banyak.
Paradigma Politik (Kekuasaan) dan Tatanan Hukum
Hukum yang dilandasi oleh paradigm kekuasaan menghadirkan hukum yang tidak demokratis, yaitu system hukum yang totaliter. Implikasinya adalah system hukum yang terdiri dari peraturan yang isinya mudah berubah tergantung putusan penguasa yang dibuat secara arbitrer. Dengan teknikalitas tertentu, hukum dipakai sebagai "kedok" untuk menutupi penggunaan kekuasaan secara arbitrer. Sehingga hukum diterima berdasarkan kesadaran palsu. Sanksi-sanksi hukum mengandung pengrusakan terhadap ikatan-ikatan sosial yang menciptakan susasana nihilisme sosial yang menyebar. Tujuan akhirnya adalah suatu legitimasi institusional, terlepas dari seberapa besar diterima oleh masyarakat.
Kaidah Dasar Totaliter diatas Konstitusi
Kaidah dasar dari sistem hukum totalitarian adalah rumusan pikiran totaliter yang diselundupkan ke dalam Hukum yang selanjutnya menjadi landasan bagi peraturan lain yang dikeluarkan. Untuk menciptakan keberhasilan dari kerja tatanan yang demikian itu diciptakanlah kelompok "intelektual" yang ditugasi untuk mengerjakan sekalian transformasi kepada orde totalitarian. Langkah itu bisa dilakukan melalui pembuatan kaidah hukum baru ataukah penafsiran kembali dari yang lama. Dalam orde totalitarian, konstitusi diberikan kepada rakyat sebagai suatu dokumen nasional penting, tetapi sebenarnya sekedar sebagai "pemanis bibir" belaka. Di belakangnya tercatat kaidah dasar yang totalitarian. Eksistensi konstitusi hanya ingin membuktikan, bahwa warga negara sudah menikmati hak-hak dan perlindungan-perlindungan hukum, padahal sesungguhnya hanya bersifat kosmetis belaka.
Hukum yang membudak
Sistem sosial totalitarian tidak memberikan kemandirian kepada hukum. Di situ hukum tergantung, hanya sah apabila dianggap mendapatkan pengesahan dari kaidah yang lebih tinggi, yang tidak bersifat hukum (legal) tetapi politik. Kaidah politik yang lebih tinggi itulah yang secara pasti memberikan pengesahan kepada hukum.
Birokrasi Totalitarian
Dalam kultur birokrasi yang demikian itu terjadi pembatasan- pembatasan yang sangat jauh, meliputi semuanya, yang memberi alasan rasional untuk penolakan terhadap pendekatan yang tak memihak (impersonal). Birokrasi dalam sistem hukum totalitarian membudak kepada dan bekerja untuk elit yang berkuasa.
Trias Politika Pro-forma
Sistem totalitarian mengakui pembagian antara legislatif, eksekutif dan peradilan secara proforma. Dalam keadaan demikian, maka peradilan merupakan pihak yang paling menjadi korban. Pengadilan tidak memiliki kekuasaan memeriksa dan mengadili secara benar, melainkan hanya menjadi sarana yang dipakai untuk menekan warga Negara dan memuluskan kebijakan politik para elit penguasa.
Kepatuhan Terpaksa
Sistem totalitarian didasarkan pada suatu legitimasi yang diberi nama dead-end legitimacy. Di sini warga Negara menerima hukum dan mentolerir tindakan pemerintah, oleh karena mereka tidak melihat pilihan lain. Mereka menerima hukum, sekalipun opresif, oleh karena itu lebih baik daripada tidak ada hukum sama sekali. Legitimasi tersebut di atas berbeda dari natural legitimacy, oleh karena di sini tidak diperlukan bantuan kekuatan untuk menekan rakyat. Hukum diterima masyarakat berdasarkan hakekatnya, bukan karena ada kekuatan di belakangnya.
Reformasi dan Pergeseran Paradigma Hukum
Menyadari segala kelemahan penataan hukum kita dewasa ini, maka agenda pertama dan terpenting adalah mengembalikan atau memulihkan otentisitas hukum. Langkah ini penting dilakukan, karena hukum saat ini menjadi sangat terhambat dalam usahanya untuk mengatur dan memberikan perlindungan dan keadilan. Oleh karena itu, sebelum melakukan penataan hukum di negeri ini lebih jauh, perlu dipahami secara lebih cermat tujuan kehadiran hukum bagi masyarakat. Bagi Indonesia sendiri, tujuan hukum itu telah dirumuskan secara tegas dalam UUD 1945, "...Untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdeaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...."
Bertolak dari kerangka pemahaman di atas, maka tatanan hukum yang dibentuk minimal memenuhi criteria berikut ini. Pertama, hukum tidak boleh hanya merupakan alat bantu untuk mencapai rasionalitas, akan tetapi hukum itu sendiri harus rasional. Hukum yang rasional itu adalah hukum yang mampu mewujudkan tujuan kehadirannya di lingkungan sosial. Kedua, menjamin agar hukum yang rasional dapat mewujudkan tujuannya, harus didukung oleh tindakan yang efisien oleh perangkat pelaksanaan hukumnya. Ketiga, tentang pentingnya memasukkan substansi ke dalam bentuk hukum berkaitan sangat erat dengan pengaruh struktur sosial masyarakat, karena hukum seharusnya mewujudkan tujuan- tujuannya.
Reformasi haruslah merupakan usaha untuk menjadikan hukum sebagai institusi yang mampu menjalankan pekerjaannya sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman. Reformasi sesungguhnya merupakan suatu perubahan seperangkat tata nilai untuk dijadikan dasar bagi suatu sistem hukum. Perubahan mendasar dimulai dari perangkat nilai dan berlanjut sampai pada tataran substansi, struktur dan kultur hukumnya. Oleh karena itu, reformasi semestinya memiliki visi yang jelas apabila tidak ingin sekadar mengubah hukum secara parsial.
Pergeseran Tatanan Hukum dari Paradigma Kekuasaan menuju Paradigma Moral adalah sebuah keniscayaan. moral tersebut berupa seperangkat nilai yang bersifat egalitarian, demokratis, pluralistis, dan profesional untuk membangun "masyarakat madani" (civil society). Oleh karena itu, usaha reformasi hukum hendaknya ditempatkan di atas landasan paradigma baru tersebut. Akibat kurangnya kesadaran akan muatan nilai tersebut sebagai satu kesatuan atau sistem nilai dalam peraturan perundang-undangan, sehingga penentu kehidupan sosial pun sering terasa kurang jelas. Bahkan, sering dirasa kurang adil karena muatan materinya bersifat interpretatif atau hanya memuat masalah-masalah pokoknya saja, dan kemudian pemerintah diberi ruang gerak yang luas untuk membuat penafsiran, termasuk terhadap berbagai peraturan pelaksanaan yang lebih rendah. Namun dalam praktiknya peluang ini cenderung memihak atau mencerminkan kehendak dari para pihak yang berkuasa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI