Sistem sosial totalitarian tidak memberikan kemandirian kepada hukum. Di situ hukum tergantung, hanya sah apabila dianggap mendapatkan pengesahan dari kaidah yang lebih tinggi, yang tidak bersifat hukum (legal) tetapi politik. Kaidah politik yang lebih tinggi itulah yang secara pasti memberikan pengesahan kepada hukum.
Birokrasi Totalitarian
Dalam kultur birokrasi yang demikian itu terjadi pembatasan- pembatasan yang sangat jauh, meliputi semuanya, yang memberi alasan rasional untuk penolakan terhadap pendekatan yang tak memihak (impersonal). Birokrasi dalam sistem hukum totalitarian membudak kepada dan bekerja untuk elit yang berkuasa.
Trias Politika Pro-forma
Sistem totalitarian mengakui pembagian antara legislatif, eksekutif dan peradilan secara proforma. Dalam keadaan demikian, maka peradilan merupakan pihak yang paling menjadi korban. Pengadilan tidak memiliki kekuasaan memeriksa dan mengadili secara benar, melainkan hanya menjadi sarana yang dipakai untuk menekan warga Negara dan memuluskan kebijakan politik para elit penguasa.
Kepatuhan Terpaksa
Sistem totalitarian didasarkan pada suatu legitimasi yang diberi nama dead-end legitimacy. Di sini warga Negara menerima hukum dan mentolerir tindakan pemerintah, oleh karena mereka tidak melihat pilihan lain. Mereka menerima hukum, sekalipun opresif, oleh karena itu lebih baik daripada tidak ada hukum sama sekali. Legitimasi tersebut di atas berbeda dari natural legitimacy, oleh karena di sini tidak diperlukan bantuan kekuatan untuk menekan rakyat. Hukum diterima masyarakat berdasarkan hakekatnya, bukan karena ada kekuatan di belakangnya.
Reformasi dan Pergeseran Paradigma Hukum
Menyadari segala kelemahan penataan hukum kita dewasa ini, maka agenda pertama dan terpenting adalah mengembalikan atau memulihkan otentisitas hukum. Langkah ini penting dilakukan, karena hukum saat ini menjadi sangat terhambat dalam usahanya untuk mengatur dan memberikan perlindungan dan keadilan. Oleh karena itu, sebelum melakukan penataan hukum di negeri ini lebih jauh, perlu dipahami secara lebih cermat tujuan kehadiran hukum bagi masyarakat. Bagi Indonesia sendiri, tujuan hukum itu telah dirumuskan secara tegas dalam UUD 1945, "...Untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdeaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...."
Bertolak dari kerangka pemahaman di atas, maka tatanan hukum yang dibentuk minimal memenuhi criteria berikut ini. Pertama, hukum tidak boleh hanya merupakan alat bantu untuk mencapai rasionalitas, akan tetapi hukum itu sendiri harus rasional. Hukum yang rasional itu adalah hukum yang mampu mewujudkan tujuan kehadirannya di lingkungan sosial. Kedua, menjamin agar hukum yang rasional dapat mewujudkan tujuannya, harus didukung oleh tindakan yang efisien oleh perangkat pelaksanaan hukumnya. Ketiga, tentang pentingnya memasukkan substansi ke dalam bentuk hukum berkaitan sangat erat dengan pengaruh struktur sosial masyarakat, karena hukum seharusnya mewujudkan tujuan- tujuannya.
Reformasi haruslah merupakan usaha untuk menjadikan hukum sebagai institusi yang mampu menjalankan pekerjaannya sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman. Reformasi sesungguhnya merupakan suatu perubahan seperangkat tata nilai untuk dijadikan dasar bagi suatu sistem hukum. Perubahan mendasar dimulai dari perangkat nilai dan berlanjut sampai pada tataran substansi, struktur dan kultur hukumnya. Oleh karena itu, reformasi semestinya memiliki visi yang jelas apabila tidak ingin sekadar mengubah hukum secara parsial.