Opening Statement
Kampus, dengan segala gemerlap intelektualitasnya, seringkali digambarkan sebagai menara gading---simbol kemurnian dan pencerahan. Namun, di balik fasad akademis yang megah, tersembunyi realitas kelam yang jarang terungkap. Kekerasan seksual, bagai hantu yang mengintai di sudut-sudut kampus, terus membayangi kehidupan civitas akademika. Dari ruang kelas hingga asrama mahasiswa, dari kantor dosen hingga acara komunitas, tidak ada tempat yang benar-benar aman dari ancaman ini. Sementara itu, pernyataan Ketua DPR RI, Puan Maharani, yang mengecam keras kejadian tersebut, menandai titik di mana isu ini tak lagi bisa diabaikan oleh para pemangku kebijakan.
Saat dunia bergerak maju dengan gerakan #MeToo dan kesadaran akan pentingnya consent, mengapa lingkungan kampus yang notabene adalah tempat lahirnya ide-ide progresif justru seolah tertinggal? Seberapa mendesak kebutuhan akan pendekatan kolektif dalam menangani masalah ini? Dan yang terpenting, mungkinkah ada "budaya bisu" serta sampai kapan kita akan terus berpura-pura bahwa semua nampak baik saja di balik dinding-dinding menara gading kita?
Kronologi dan Eskalasi Kasus
Di tengah upaya menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif, kekerasan seksual di kampus masih menjadi tantangan serius yang memerlukan penanganan yang efektif dan berkelanjutan. Kasus-kasus ini umumnya melibatkan civitas akademika, yang menunjukkan bahwa area kampus belum sepenuhnya aman untuk semua pihak. Dalam beberapa tahun terakhir, laporan mengenai kekerasan seksual di berbagai universitas di Indonesia mengalami peningkatan seiring dengan tumbuhnya kesadaran mahasiswa untuk melaporkan tindakan yang mereka alami. Meskipun telah ada kebijakan seperti Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021, penanganan kasus di beberapa institusi masih belum optimal. Banyak korban merasa tidak mendapatkan keadilan karena proses pelaporan yang masih dirasa terlalu panjang dan kurang transparan.
Salah satu kasus terbaru yang mendapatkan sorotan publik terjadi di Universitas Airlangga (Unair), ketika seorang mahasiswa melaporkan kekerasan seksual yang terjadi di area parkir kampus melalui media sosial. Kasus ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual sangat bisa terjadi di tempat yang seharusnya memberikan rasa aman dan perlindungan. Kurangnya kamera pengawas, penerangan yang minim di beberapa titik, serta absennya patroli keamanan rutin menyebabkan area parkir sering menjadi titik rawan terjadinya kekerasan seksual. Sehingga, urgensi peningkatan sistem keamanan dan pengawasan di kampus. penting dilakukan sebagai langkah preventif untuk mencegah kasus serupa terjadi lagi di masa mendatang.
Kasus kekerasan seksual tidak hanya terjadi akibat minimnya pengawasan, tetapi juga dipengaruhi oleh pelbagai faktor pendukung yang membuat korban enggan melapor. Stigma buruk dari masyarakat terhadap program penanganan kekerasan seksual seringkali membuat korban merasa malu atau takut dikucilkan jika melaporkan kasusnya. Selain itu, budaya patriarki yang mengakar membuat posisi korban, terutama perempuan, semakin rentan sementara pelaku seringkali terlindungi dari sanksi sosial yang kurang adil. Kurangnya kepedulian masyarakat, serta lemahnya penegakan hukum pada kasus kekerasan seksual juga memperparah keadaan, sehingga korban merasa tidak mendapatkan dukungan dan perlindungan yang cukup untuk menyuarakan apa yang mereka alami. Semua faktor ini berkontribusi pada keputusan korban untuk memendam kasus mereka, alih-alih melaporkannya secara terbuka.
Respons dan Tindakan Penanganan
Eskalasi kasus kekerasan seksual berhasil menyita perhatian Ketua DPR RI, Puan Maharani untuk memberikan tanggapan pada Jumat, 13 September 2024 silam. Beliau menilai kesadaran pihak kampus untuk berperan aktif dalam menangani kasus kekerasan seksual masih kurang.
"Kampus seharusnya menjadi tempat yang mendukung kebebasan akademis dan memberikan rasa aman bagi seluruh mahasiswa, tanpa terkecuali. Rasa aman itu termasuk memastikan lingkungan perguruan tinggi bebas dari segala bentuk kekerasan, baik fisik, mental, maupun kekerasan seksual,"Â ujar Puan.
Menanggapi pernyataan ketua DPR tersebut, Prof. Myrta Dyah Artaria selaku Ketua Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Universitas Airlangga merespons dengan positif
"Itu sebabnya, penting untuk dicatat bahwa saat ini para korban sudah mengenal peran satgas PPKS di perguruan tinggi. Oleh karena itu, dukungan terhadap satgas PPKS harus terus diberikan agar mereka dapat membantu para korban. Kebijakan yang diambil dalam beberapa tahun terakhir sudah berada di jalur yang tepat untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi,"Â jelasnya.
Menyikapi isu ini, Departemen Kajian dan Aksi Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FEB Unair berkesempatan untuk berbincang bersama salah seorang staf satgas PPKS, Intan Fitransisa, S. I. Kom., M.Med.Kom. Intan menilai Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 telah tersosialisasi dengan baik di lingkungan kampus Unair.
"Sebelum Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021, Unair telah memiliki Help Center sebagai wadah berkeluh kesah bagi tiap mahasiswa tentang masalah yang terjadi di kampus, termasuk kasus kekerasan seksual. Akan tetapi, penetapan aturan tersebut juga turut membantu pembentukan yang lebih terkoordinir pada tahun 2022 yaitu satgas PPKS. Payung hukum dan kewenangan yang diberikan lebih besar bagi pihak kampus untuk menindaklanjuti kasus kekerasan seksual," ucap Intan.
Perihal efek langsung yang dirasakan atas adanya Permendikbud, Intan menjelaskan terjadi peningkatan laporan kekerasan seksual yang dahulu memiliki frekuensi 1 bulan 1 kasus, tetapi sekarang hanya dalam 1 minggu sudah menerima beberapa kasus. Keseriusan Unair menangani isu kekerasan seksual juga ditunjukkan dengan dimilikinya Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) oleh satgas PPKS yang memiliki nominal diatas Rp.500 juta dengan komposisi terbanyak dikeluarkan untuk biaya konseling sebesar 40%. Selain itu, Intan sempat memberikan respons kasus kekerasan seksual yang baru-baru ini terjadi di area parkir warna-warni kampus B dengan penuh empati
"Sayangnya, kita masih mendengar adanya kasus kekerasan seksual terjadi akhir-akhir ini di tempat-tempat yang kurang pengawasan dan penerangan. Kami dari satgas PPKS telah mengajukan keperluan-keperluan yang diperlukan seperti penerangan dan kamera pengawas kepada pihak kampus untuk mencegah kasus kekerasan terjadi. Akan tetapi, seluruh kebutuhan tersebut tidak dapat langsung terpenuhi dalam satu waktu. Hal itu dapat terealisasi seutuhnya secara bertahap,"Â tegasnya.
Dalam usaha untuk meningkatkan kesadaran warga kampus mengenai kekerasan seksual, satgas PPKS Unair telah melakukan berbagai upaya, salah satunya dengan mengadakan Webinar berjudul Satu Suara untuk UU TPKS:Kenali Bentuk Kekerasan Seksual dalam UU TPKS dan Permendikbud Ristek PPKS yang terselenggara pada 25 November 2022. untuk mensosialisasikan produk hukum terkait. Selain itu, sosialisasi edukasi rutim diberikan beberapa hari sekali untuk merawat kesadaran dan kepekaan mahasiswa. Kampanye "#TemanBICARA" juga diluncurkan untuk meyakinkan korban kekerasan seksual tentang keamanan, keterbukaan, kerahasiaan, dan pertolongan yang tersedia. Melalui inisiatif-inisiatif ini, satgas PPKS bertujuan membangun jaminan dan kepercayaan yang dapat mendorong para korban untuk melaporkan tindak kekerasan seksual yang dialami tanpa rasa takut.
Kekerasan Seksual dalam Perspektif Hukum (UU, Permendikbud) dan Kebijakan Kampus
Kekerasan seksual di Indonesia telah diatur oleh berbagai instrumen hukum dan kebijakan. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) menjadi landasan hukum utama yang secara komprehensif mendefinisikan dan mengatur penanganan kekerasan seksual. UU ini mencakup berbagai bentuk kekerasan seksual, termasuk pelecehan seksual, eksploitasi seksual, dan pemaksaan kontrasepsi. Dalam konteks pendidikan tinggi, dalam Merdeka Belajar Episode Keempat Belas---Kampus Merdeka dari Kekerasan, menampilkan 3 peraturan; Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 (Permendikbud Ristek No. 30/2021), Permendikbud No. 82 Tahun 2015, dan Persesjen Kemendikbud Ristek No. 17 tahun 2022 memberikan kerangka khusus untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus. Peraturan ini mewajibkan setiap perguruan tinggi untuk membentuk satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, serta menyusun kebijakan internal yang sejalan dengan peraturan tersebut. Merespons mandat ini, banyak kampus telah mengembangkan kebijakan spesifik yang mencakup mekanisme pelaporan, perlindungan korban, dan sanksi bagi pelaku. Namun, dalam implementasi kebijakannya masih bervariasi antar institusi, dengan beberapa kampus menunjukkan komitmen kuat melalui pembentukan pusat krisis dan program edukasi komprehensif, sementara yang lain masih dalam tahap awal pengembangan sistem penanganan.
Di satu sisi, kebijakan yang sudah dilakukan dirasa memberi korban rasa aman untuk melaporkan kasus mereka dan memastikan adanya payung hukum yang kuat. Namun, efektivitas dalam mencegah kekerasan seksual dan memberikan keadilan bagi korban masih dipertanyakan, terutama dalam pelaksanaan di lapangan. Masih ada tantangan dalam hal sanksi bagi pelaku serta perlindungan dan stigma sosial yang sering dialami oleh korban kekerasan seksual. Selain itu, pengawasan berkala yang diupayakan kampus-kampus masih belum sepenuhnya efektif di semua tempat dikarenakan adanya kesenjangan pemahaman, keterbatasan sumber daya, dan kadang-kadang resistensi budaya terhadap diskusi terbuka mengenai isu kekerasan seksual. Sosialisasi dan edukasi yang melibatkan mahasiswa secara aktif melalui organisasi kampus juga memerlukan penguatan agar benar-benar dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman.
Dampak Multidimensi Kekerasan Seksual di Kampus
Tindakan kekerasan seksual tidak hanya tindakan yang menyerang dan mengancam pada fisik korban, ada pula kekerasan seksual nonfisik yang mengarah pada hal seksualitas yang dilakukan oleh pelaku melalui pernyataan verbal, mengirimkan gambar, stiker, audio, dan video yang bernuansa seksual tanpa persetujuan pihak korban. Hal ini terjadi karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender yang tentu merugikan pihak korban atas dampak yang ditimbulkan setelah menerima tindakan kekerasan. Akibat hal tersebut, seringkali korban timbul rasa takut untuk melaporkan tindakan kekerasan yang telah diterimanya bahkan tak jarang menyalahkan dirinya sendiri atas tindakan kekerasan seksual tersebut. Lebih parahnya, banyak korban kekerasan seksual yang berlarut-larut dalam perasaan cemas, depresi, dan trauma mendalam yang menimbulkan permasalahan psikis lainnya. Selain itu, kerugian fisik juga seringkali diterima korban sebagai dampak kekerasan seksual, di antaranya ialah luka fisik, kehamilan yang tidak diinginkan, hingga terkena penyakit menular seksual.
Maraknya kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi telah mengikis rasa keamanan dan kenyamanan civitas akademika, serta berdampak negatif pada citra institusi pendidikan yang seharusnya menjadi tempat aman dari tindakan tersebut. Meskipun telah ada Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 sebagai payung hukum untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual, realitasnya masih menimbulkan keraguan akan jaminan keamanan di institusi pendidikan. Dalam menanggapi situasi ini, sanksi sosial seringkali terbukti lebih efektif dalam meregulasi dan mengikat masyarakat dibandingkan aturan formal yang berlaku. Setiap perguruan tinggi di Indonesia memiliki regulasi dan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang berbeda dalam memberikan sanksi sosial kepada pelaku tindak kekerasan seksual. Sebagai contoh, Unair melalui satgas PPKS tidak hanya memberikan konseling kepada korban atas dampak psikologis dan fisik yang dialami, tetapi juga meminta persetujuan korban dalam setiap tahap penanganan kasus, termasuk dalam hal pemanggilan dan penentuan sanksi bagi pelaku. Dengan demikian, keputusan atau sanksi sosial yang akhirnya diberikan oleh pihak kampus kepada pelaku tindak kekerasan seksual telah melalui pertimbangan menyeluruh atas dampak kerugian yang dialami oleh korban serta memperhatikan permintaan atau permohonan korban, sehingga diharapkan dapat memberikan efek jera dan mengontrol perilaku menyimpang di lingkungan perguruan tinggi.
Penutup: Urgensi Kolaborasi dan Langkah Konkret
Dapat diraih kesimpulan bahwa upaya penanganan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, utamanya kampus perlu dilakukan dengan cara kolektif. Sinergi dan kolaborasi yang kuat dari para pemangku kebijakan, satgas PPKS, dan seluruh civitas akademika termasuk organisasi mahasiswa akan sangat membantu dalam langkah-langkah pencegahan serta penanganan kekerasan seksual yang efektif. Setiap pihak wajib terlibat aktif dalam berbagai upaya untuk meningkatkan kesadaran dan memperkuat dukungan sehingga tercipta ruang aman bagi korban. Selain itu, peningkatan infrastruktur keamanan kampus, seperti penambahan kamera pengawas dan penerangan di area rawan, pembentukan mekanisme pelaporan dan penanganan yang cepat, tepat, dan transparan, serta pelaksanaan program sosialisasi secara berkala terkait kekerasan seksual juga merupakan hal penting yang juga perlu diperhatikan. Dengan segala improvement dan upaya berkala ini, mari bersama menjadi garda terdepan, menciptakan kampus yang aman, nyaman, dan bersih dari segala bentuk kekerasan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI