Mohon tunggu...
Azzela Neirine
Azzela Neirine Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis telah menjadi bagian dari hal yang saya nikmati sedari kecil. Saya berharap orang lain juga dapat menikmati karya yang saya tuangkan dalam tulisan-tulisan ini.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Di Balik Menara Gading: Urgensi Penanganan Kolektif Kekerasan Seksual Kampus

30 Desember 2024   20:00 Diperbarui: 30 Desember 2024   19:57 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

"Itu sebabnya, penting untuk dicatat bahwa saat ini para korban sudah mengenal peran satgas PPKS di perguruan tinggi. Oleh karena itu, dukungan terhadap satgas PPKS harus terus diberikan agar mereka dapat membantu para korban. Kebijakan yang diambil dalam beberapa tahun terakhir sudah berada di jalur yang tepat untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi," jelasnya.

Menyikapi isu ini, Departemen Kajian dan Aksi Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FEB Unair berkesempatan untuk berbincang bersama salah seorang staf satgas PPKS, Intan Fitransisa, S. I. Kom., M.Med.Kom. Intan menilai Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 telah tersosialisasi dengan baik di lingkungan kampus Unair.

"Sebelum Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021, Unair telah memiliki Help Center sebagai wadah berkeluh kesah bagi tiap mahasiswa tentang masalah yang terjadi di kampus, termasuk kasus kekerasan seksual. Akan tetapi, penetapan aturan tersebut juga turut membantu pembentukan yang lebih terkoordinir pada tahun 2022 yaitu satgas PPKS. Payung hukum dan kewenangan yang diberikan lebih besar bagi pihak kampus untuk menindaklanjuti kasus kekerasan seksual," ucap Intan.

Perihal efek langsung yang dirasakan atas adanya Permendikbud, Intan menjelaskan terjadi peningkatan laporan kekerasan seksual yang dahulu memiliki frekuensi 1 bulan 1 kasus, tetapi sekarang hanya dalam 1 minggu sudah menerima beberapa kasus. Keseriusan Unair menangani isu kekerasan seksual juga ditunjukkan dengan dimilikinya Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) oleh satgas PPKS yang memiliki nominal diatas Rp.500 juta dengan komposisi terbanyak dikeluarkan untuk biaya konseling sebesar 40%. Selain itu, Intan sempat memberikan respons kasus kekerasan seksual yang baru-baru ini terjadi di area parkir warna-warni kampus B dengan penuh empati

"Sayangnya, kita masih mendengar adanya kasus kekerasan seksual terjadi akhir-akhir ini di tempat-tempat yang kurang pengawasan dan penerangan. Kami dari satgas PPKS telah mengajukan keperluan-keperluan yang diperlukan seperti penerangan dan kamera pengawas kepada pihak kampus untuk mencegah kasus kekerasan terjadi. Akan tetapi, seluruh kebutuhan tersebut tidak dapat langsung terpenuhi dalam satu waktu. Hal itu dapat terealisasi seutuhnya secara bertahap," tegasnya.

Dalam usaha untuk meningkatkan kesadaran warga kampus mengenai kekerasan seksual, satgas PPKS Unair telah melakukan berbagai upaya, salah satunya dengan mengadakan Webinar berjudul Satu Suara untuk UU TPKS:Kenali Bentuk Kekerasan Seksual dalam UU TPKS dan Permendikbud Ristek PPKS yang terselenggara pada 25 November 2022. untuk mensosialisasikan produk hukum terkait. Selain itu, sosialisasi edukasi rutim diberikan beberapa hari sekali untuk merawat kesadaran dan kepekaan mahasiswa. Kampanye "#TemanBICARA" juga diluncurkan untuk meyakinkan korban kekerasan seksual tentang keamanan, keterbukaan, kerahasiaan, dan pertolongan yang tersedia. Melalui inisiatif-inisiatif ini, satgas PPKS bertujuan membangun jaminan dan kepercayaan yang dapat mendorong para korban untuk melaporkan tindak kekerasan seksual yang dialami tanpa rasa takut.

Kekerasan Seksual dalam Perspektif Hukum (UU, Permendikbud) dan Kebijakan Kampus

Kekerasan seksual di Indonesia telah diatur oleh berbagai instrumen hukum dan kebijakan. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) menjadi landasan hukum utama yang secara komprehensif mendefinisikan dan mengatur penanganan kekerasan seksual. UU ini mencakup berbagai bentuk kekerasan seksual, termasuk pelecehan seksual, eksploitasi seksual, dan pemaksaan kontrasepsi. Dalam konteks pendidikan tinggi, dalam Merdeka Belajar Episode Keempat Belas---Kampus Merdeka dari Kekerasan, menampilkan 3 peraturan; Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 (Permendikbud Ristek No. 30/2021), Permendikbud No. 82 Tahun 2015, dan Persesjen Kemendikbud Ristek No. 17 tahun 2022 memberikan kerangka khusus untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus. Peraturan ini mewajibkan setiap perguruan tinggi untuk membentuk satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, serta menyusun kebijakan internal yang sejalan dengan peraturan tersebut. Merespons mandat ini, banyak kampus telah mengembangkan kebijakan spesifik yang mencakup mekanisme pelaporan, perlindungan korban, dan sanksi bagi pelaku. Namun, dalam implementasi kebijakannya masih bervariasi antar institusi, dengan beberapa kampus menunjukkan komitmen kuat melalui pembentukan pusat krisis dan program edukasi komprehensif, sementara yang lain masih dalam tahap awal pengembangan sistem penanganan.

Di satu sisi, kebijakan yang sudah dilakukan dirasa memberi korban rasa aman untuk melaporkan kasus mereka dan memastikan adanya payung hukum yang kuat. Namun, efektivitas dalam mencegah kekerasan seksual dan memberikan keadilan bagi korban masih dipertanyakan, terutama dalam pelaksanaan di lapangan. Masih ada tantangan dalam hal sanksi bagi pelaku serta perlindungan dan stigma sosial yang sering dialami oleh korban kekerasan seksual. Selain itu, pengawasan berkala yang diupayakan kampus-kampus masih belum sepenuhnya efektif di semua tempat dikarenakan adanya kesenjangan pemahaman, keterbatasan sumber daya, dan kadang-kadang resistensi budaya terhadap diskusi terbuka mengenai isu kekerasan seksual. Sosialisasi dan edukasi yang melibatkan mahasiswa secara aktif melalui organisasi kampus juga memerlukan penguatan agar benar-benar dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman.

Dampak Multidimensi Kekerasan Seksual di Kampus

Tindakan kekerasan seksual tidak hanya tindakan yang menyerang dan mengancam pada fisik korban, ada pula kekerasan seksual nonfisik yang mengarah pada hal seksualitas yang dilakukan oleh pelaku melalui pernyataan verbal, mengirimkan gambar, stiker, audio, dan video yang bernuansa seksual tanpa persetujuan pihak korban. Hal ini terjadi karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender yang tentu merugikan pihak korban atas dampak yang ditimbulkan setelah menerima tindakan kekerasan. Akibat hal tersebut, seringkali korban timbul rasa takut untuk melaporkan tindakan kekerasan yang telah diterimanya bahkan tak jarang menyalahkan dirinya sendiri atas tindakan kekerasan seksual tersebut. Lebih parahnya, banyak korban kekerasan seksual yang berlarut-larut dalam perasaan cemas, depresi, dan trauma mendalam yang menimbulkan permasalahan psikis lainnya. Selain itu, kerugian fisik juga seringkali diterima korban sebagai dampak kekerasan seksual, di antaranya ialah luka fisik, kehamilan yang tidak diinginkan, hingga terkena penyakit menular seksual.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun