Mohon tunggu...
Azzan Dwi Riski
Azzan Dwi Riski Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hanya manusia biasa

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Penerapan Teori GONE dan CDMA pada Kasus Korupsi di Indonesia

27 Mei 2023   12:01 Diperbarui: 27 Mei 2023   12:40 1480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
GONE Theory (dokumen pribadi)

Penerapan teori GONE dapat memberikan dampak positif pada penanganan korupsi di Indonesia. Dengan menerapkan teori ini, penegak hukum dapat lebih mudah mengidentifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi. Hal ini dapat membantu penegak hukum dalam menentukan langkah-langkah pencegahan dan penindakan yang tepat dengan cara mengurangi atau menghilangkan salah satu atau lebih faktor-faktor tersebut. Misalnya, untuk mengurangi Greed, dapat dilakukan dengan meningkatkan kesadaran moral dan etika para pejabat publik dan masyarakat. Untuk mengurangi Opportunity, dapat dilakukan dengan meningkatkan transparansi serta memperkuat sistem pengawasan dan pengendalian dari pihak-pihak yang berwenang. Untuk mengurangi Need, dapat dilakukan dengan memberikan kesejahteraan dan perlindungan sosial yang memadai kepada para pejabat publik dan masyarakat. Untuk mengurangi Exposure, dapat dilakukan dengan memberlakukan hukum yang tegas dan adil bagi para pelaku korupsi.

Teori CDMA Robert Klitgaard

Robert Klitgaard adalah seorang ahli ekonomi yang mengemukakan teori tentang korupsi yang dikenal sebagai teori CDMA. Teori ini menekankan tiga elemen penting yang mempengaruhi terjadinya korupsi, yaitu diskresi (discretion), monopoli (monopoly), dan akuntabilitas (accountability).

CDMA Theory (dokumen pribadi)
CDMA Theory (dokumen pribadi)

Teori Robert Klitgaard ini menggunakan rumus C = D + M - A, yang artinya kekuasaan yang dimonopoli oleh para pimpinan (monopoly of power), ditambah dengan tingginya wewenang yang dimiliki oleh mereka (discretion of official), dan kurangnya akuntabilitas yang memadai (minus accountability), menyebabkan dorongan melakukan tindak pidana korupsi. Menurut teori ini, semakin besar kekuasaan dan monopoli yang dimiliki seseorang atau kelompok, semakin besar pula kemungkinan mereka melakukan korupsi, kecuali jika ada mekanisme akuntabilitas yang efektif untuk mengawasi dan mengontrol perilaku mereka.

  • Diskresi (Discretion)

Discretion mengacu pada kewenangan atau kebijaksanaan yang dimiliki oleh individu dalam mengambil keputusan. Elemen ini merupakan faktor kunci dalam terjadinya korupsi.

Ketika individu memiliki kebebasan untuk menggunakan kewenangan mereka tanpa adanya batasan yang jelas, peluang untuk menyalahgunakan kewenangan tersebut menjadi lebih besar. Tindakan korupsi sering kali terjadi ketika individu menggunakan kebijaksanaan mereka untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, bukan untuk kepentingan publik.

Ketika pedoman dan prosedur yang jelas tidak ada atau tidak diterapkan dengan baik, hal ini memberikan ruang bagi individu untuk bertindak secara sewenang-wenang dan melanggar prinsip-prinsip integritas. Kekurangan pedoman dan prosedur yang jelas dapat menyebabkan ketidakadilan dan penyalahgunaan kekuasaan.

  • Monopoly (Monopoly)

Monopoli atau kontrol atas sumber daya dan akses terbatas juga berperan dalam terjadinya korupsi. Ketika suatu pihak memiliki kekuasaan atau kendali mutlak terhadap suatu sumber daya atau pasar, peluang untuk melakukan tindakan korupsi menjadi lebih besar.

Ketika individu atau kelompok memiliki kontrol yang eksklusif terhadap sumber daya atau akses terbatas, mereka dapat memanfaatkan posisi mereka untuk memperoleh keuntungan yang tidak adil. Monopoli yang tidak diatur dengan baik atau tidak ada persaingan yang sehat dapat menjadi tempat subur bagi praktik korupsi.

Kekuasaan yang tidak terkendali atau perlakuan yang tidak adil terhadap pihak-pihak yang tidak memiliki kekuatan atau pengaruh dapat menjadi pemicu terjadinya korupsi. Ketika individu atau lembaga menggunakan kekuasaan mereka untuk memberikan perlakuan tidak adil atau mendapatkan keuntungan pribadi, tindakan korupsi dapat terjadi.

  • Akuntabilitas (Accountability)

Akuntabilitas atau pertanggungjawaban merupakan elemen penting dalam pencegahan korupsi. Ketika individu atau lembaga bertanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka, risiko korupsi dapat ditekan.

Transparansi dalam tindakan dan pertanggungjawaban terhadap publik merupakan langkah penting dalam mengurangi praktik korupsi. Ketika individu atau lembaga dipertanggungjawabkan atas tindakan mereka dan informasi mengenai keputusan atau tindakan tersebut dapat diakses oleh publik, risiko korupsi dapat dikurangi karena adanya pengawasan.

Pemberantasan korupsi membutuhkan sistem pengawasan yang kuat dan efektif. Ketika ada mekanisme pengawasan yang efektif dan sanksi yang tegas terhadap pelaku korupsi, individu atau lembaga akan lebih berpikir dua kali sebelum terlibat dalam tindakan korupsi.

William J. Chambliss mengemukakan bahwa korupsi melibatkan banyak pihak yang ia sebut sebagai cabal atau jaringan korupsi. Menurutnya, korupsi merupakan bagian tak terpisahkan dari setiap struktur birokrasi yang terlibat dengan kepentingan sekelompok kecil pengusaha, penegak hukum, dan politisi yang sulit diungkap. Jaringan korupsi ini melibatkan elit-elit di pusat kekuasaan, termasuk pimpinan eksekutif, elit partai politik, pejabat tinggi di lembaga peradilan, dan kalangan bisnis. Korupsi menjadi bagian dari sistem itu sendiri, sehingga menjadi tantangan yang tidak mudah untuk memberantas korupsi karena aparat penegak hukum sering kali berada dalam dilema. Korupsi bukanlah kejahatan yang terjadi di luar sistem, oleh karena itu jaringan korupsi ini sangat sulit ditembus dari dalam karena adanya kolusi antara pengusaha, politisi, dan aparat penegak hukum. Selain itu, jaringan korupsi ini juga sulit ditembus dari luar karena aparat penegak hukum dapat menggunakan "penjahat kelas teri" yang siap dikorbankan sebagai pengalihan perhatian untuk melindungi pelaku sebenarnya yang berada dalam jaringan tersebut (William, 2002).

Perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik menjadi otonomi daerah yang bertujuan untuk menghindari pemusatan kekuasaan justru menggeser praktik korupsi yang sebelumnya didominasi oleh pemerintah pusat (karena pada saat itu kekuasaan ada di tangan pemerintah pusat) menjadi semakin marak terjadi di daerah (karena otonomi daerah memberikan kekuasaan kepada para pimpinan di daerah). Hal ini sejalan dengan teori Klitgaard yang menyatakan bahwa korupsi mengikuti kekuasaan.

Teori CDMA ini dapat digunakan untuk menganalisis berbagai kasus korupsi yang terjadi di berbagai sektor dan tingkatan. Misalnya, seorang pejabat publik yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan izin atau memberikan layanan tertentu kepada masyarakat, dapat melakukan korupsi jika tidak ada pesaing atau alternatif lain yang dapat dipilih oleh masyarakat (monopoli), dan jika tidak ada lembaga atau aturan yang dapat memeriksa dan menindak tindakan mereka (akuntabilitas). Demikian pula, seorang pengusaha yang memiliki posisi dominan di pasar tertentu, dapat melakukan korupsi jika tidak ada saingan atau regulasi yang dapat menghalangi praktik monopoli atau kolusi mereka.

Penerapan Teori CDMA

Teori C=D+M-A dapat diterapkan pada berbagai kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. Dengan menggunakan teori ini, kita dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi dan mencari solusi yang tepat untuk mengatasinya. Berikut ini adalah beberapa contoh penerapan teori C=D+M-A pada kasus korupsi di Indonesia.

  • Kasus Korupsi E-KTP

Beberapa tahun lalu, kasus korupsi KTP elektronik sempat menjadi perhatian publik karena besarnya kerugian dan kejadian yang penuh dengan drama. Berdasarkan audit dari BPK, negara menderita kerugian sebesar Rp2,3 triliun akibat adanya mark up harga, penggelembungan anggaran, dan pemberian fee kepada sejumlah pihak. Beberapa tokoh terkenal yang terlibat dalam kasus ini antara lain mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, Irman Gusman, dan Andi Narogong.

Dalam kasus ini, terdapat faktor discretion yang tinggi karena pejabat publik memiliki kekuasaan untuk menentukan pemenang tender, spesifikasi teknis, dan alokasi anggaran. Selain itu, terdapat faktor monopoly karena hanya ada satu perusahaan yang ditunjuk sebagai pemenang tender, yaitu PT Biomorf Lone Indonesia, sehingga menghalangi persaingan yang sehat dan transparan. Sementara itu, faktor acountability sangat rendah karena tidak ada pengawasan yang efektif dari lembaga negara maupun masyarakat sipil, sehingga mereka berhasil mengelabui sistem pengawasan dan hukum selama bertahun-tahun.

  • Kasus Korupsi Jiwasraya

Selain kasus korupsi E-KTP, kasus dugaan korupsi yang melibatkan PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) juga sempat menjadi sorotan publik. Jiwasraya sebelumnya mengalami kegagalan dalam membayar polis kepada nasabah terkait investasi Saving Plan senilai Rp12,4 triliun. Produk tersebut merupakan asuransi jiwa yang dikombinasikan dengan investasi dan dijual melalui sejumlah bank sebagai agen penjualan.

Dikutip dari situs bpk.go.id, total kerugian negara dalam kasus Jiwasraya mencapai Rp16,81 Triliun. Pada tanggal 9 Maret 2020 pukul 14.00 WIB, Agung Firman Sampurna, selaku Ketua BPK, telah menyerahkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif terkait Penghitungan Kerugian Negara yang disebabkan oleh pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero) selama periode 2008 hingga 2018 kepada Jaksa Agung di Kantor Kejaksaan Agung RI. Setelah melakukan penyelidikan sejak tanggal 17 Desember 2019, Kejaksaan Agung menetapkan lima orang sebagai tersangka. Mereka adalah Benny Tjokrosaputro, Direktur Utama PT. Hanson International Tbk., Harry Prasetyo, mantan Direktur Keuangan PT. Asuransi Jiwasraya, Heru Hidayat, Presiden Komisaris PT. Trada Alam Minera Tbk., Hendrisman Rahim, mantan Direktur Utama PT. Asuransi Jiwasraya, dan Syahmirwan, seorang pensiunan dari PT. Asuransi Jiwasraya.

Dalam kasus ini, terdapat faktor discretion yang tinggi karena direksi dan komisaris memiliki kekuasaan untuk menentukan kebijakan investasi dan keuangan perusahaan tanpa adanya batasan atau pedoman yang jelas. Selain itu, terdapat faktor monopoly karena PT Asuransi Jiwasraya merupakan salah satu perusahaan asuransi milik negara yang memiliki pangsa pasar yang besar di sektor asuransi jiwa. Sementara itu, faktor acountability sangat rendah karena tidak ada pengawasan yang efektif dari lembaga negara maupun masyarakat sipil terhadap kinerja dan laporan keuangan perusahaan.

  • Kasus Korupsi Hambalang

Satu lagi kasus korupsi yang dapat dianalisis dengan menggunakan teori ini adalah kasus korupsi Hambalang. Kasus ini melibatkan proyek pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, yang menelan anggaran sekitar Rp 2,5 triliun. Proyek ini diduga sarat dengan praktik kolusi, mark up, dan penggelembungan anggaran.

Dalam kasus ini, terdapat beberapa aktor yang memiliki kewenangan dan monopoli dalam pengambilan keputusan terkait proyek Hambalang. Di antaranya adalah mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng, dan mantan anggota DPR, Angelina Sondakh. Mereka diduga berperan dalam menentukan pemenang tender proyek, mengatur alokasi anggaran, dan menerima suap dari kontraktor.

Sementara itu, akuntabilitas yang dimiliki oleh para aktor tersebut sangat rendah. Hal ini dikarenakan minimnya pengawasan dan transparansi dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian proyek. Selain itu, adanya intervensi politik dari partai berkuasa saat itu juga menghambat proses penegakan hukum terhadap para tersangka korupsi.

Analisis Penerapan Teori C=D+M-A pada Kasus Korupsi

Dari ketiga contoh kasus di atas, dapat dilihat bahwa penerapan teori C=D+M-A dapat menjelaskan mengapa korupsi terjadi di Indonesia. Diskresi atau keleluasaan dalam mengambil keputusan merupakan faktor utama yang mendorong seseorang untuk melakukan korupsi. Monopoli dalam penyediaan barang atau jasa tertentu juga dapat memicu terjadinya korupsi. Namun, jika sebuah organisasi memiliki akuntabilitas atau pertanggungjawaban yang efektif, maka seseorang akan berpikir dua kali sebelum melakukan korupsi.

Penerapan teori C=D+M-A dapat memberikan dampak positif pada penanganan korupsi di Indonesia. Salah satu caranya adalah dengan mengurangi kekuasaan dan monopoli yang dimiliki oleh pelaku potensial korupsi, misalnya dengan melakukan reformasi birokrasi, mendorong transparansi dan partisipasi publik, memberantas kolusi dan nepotisme, memberikan sanksi yang tegas bagi pelaku korupsi, dan sebagainya. Cara lainnya adalah dengan meningkatkan akuntabilitas pelaku potensial korupsi, misalnya dengan memperkuat lembaga pengawas, penegak hukum, media massa, organisasi masyarakat sipil, sistem pengaduan publik, dan sebagainya.

Mengapa Korupsi Perlu Diberantas?

Korupsi adalah salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Korupsi merugikan perekonomian negara, merusak tatanan sosial, dan menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Hal ini jelas sangat berbahaya bagi keutuhan suatu negara. Oleh karena itu, sangat penting untuk memberantas korupsi. Berikut adalah beberapa bahaya korupsi menurut Wicipto Setiadi (2021):

  • Bahaya Korupsi terhadap Masyarakat dan Individu

Korupsi telah menjadi ancaman serius bagi masyarakat dan individu. Dampak negatif dari korupsi dapat merusak tatanan sosial, menghancurkan keadilan sosial, dan mengancam persaudaraan yang tulus. Masyarakat yang terbebani oleh korupsi cenderung mengutamakan kepentingan pribadi dan keegoisan, tanpa adanya kerjasama yang sehat.

Penelitian empiris di berbagai negara telah membuktikan bahwa korupsi memiliki dampak negatif terhadap kesetaraan sosial. Korupsi menciptakan kesenjangan yang tajam antara kelompok-kelompok sosial dan individu dalam hal pendapatan, status sosial, kekuasaan, dan lain-lain. Selain itu, korupsi juga merusak standar moral dan intelektual masyarakat. Ketika korupsi merajalela, nilai-nilai kemuliaan dalam masyarakat menjadi pudar.

Korupsi menciptakan iklim ketamakan, keegoisan, dan sinisme. Individu cenderung memprioritaskan kepentingan pribadi di atas segala-galanya, tanpa memedulikan hal-hal lainnya. Jika kondisi ini terjadi dalam masyarakat, semangat pengorbanan demi kebaikan dan kemajuan masyarakat akan semakin menurun bahkan mungkin menghilang.

  • Bahaya Korupsi terhadap Generasi Muda

Salah satu dampak negatif yang sangat berbahaya dari korupsi dalam jangka panjang adalah kerusakan yang ditimbulkan pada generasi muda. Dalam masyarakat di mana korupsi telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, anak-anak tumbuh dengan pola pikir antisosial. Akibatnya, generasi muda ini cenderung menganggap korupsi sebagai sesuatu yang normal, bahkan sebagai bagian dari budaya mereka. Seiring waktu, perkembangan kepribadian mereka terbiasa dengan perilaku yang tidak jujur dan tidak bertanggung jawab. Jika situasi generasi muda dalam suatu negara berada dalam kondisi seperti ini, maka masa depan negara tersebut akan sangat suram.

  • Bahaya Korupsi terhadap Politik

Kekuasaan politik yang dicapai melalui korupsi akan menciptakan pemerintahan dan pemimpin yang tidak diakui secara publik. Masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah dan pemimpin mereka. Akibatnya, mereka akan menjadi tidak patuh dan tidak menghormati otoritas yang ada. Praktik korupsi yang meluas dalam politik, seperti pemilu yang curang, kekerasan dalam pemilu, money politics, dan sebagainya, dapat merusak demokrasi. Penguasa yang korup akan menggunakan kekerasan atau bahkan menyebarkan korupsi lebih luas untuk mempertahankan kekuasaan. Keadaan seperti ini dapat memicu instabilitas sosial-politik dan mengganggu integrasi sosial. Banyak kasus di mana korupsi politik menyebabkan kejatuhan pemerintahan yang tidak terhormat.

  • Bahaya Korupsi Bagi Ekonomi Bangsa

Korupsi merusak perkembangan ekonomi suatu bangsa. Jika sebuah proyek ekonomi dijalankan dengan korupsi, seperti suap untuk persetujuan proyek, nepotisme dalam penunjukan pelaksana proyek, penggelembungan biaya, dan berbagai bentuk korupsi lainnya, maka pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dari proyek tersebut tidak akan tercapai. Penelitian oleh Transparency International menunjukkan bahwa korupsi juga menyebabkan berkurangnya investasi, baik dari modal dalam negeri maupun luar negeri. Para investor akan berpikir dua kali untuk berinvestasi karena harus membayar biaya yang lebih tinggi, seperti suap kepada pejabat untuk mendapatkan izin, biaya keamanan agar investasinya aman, dan berbagai biaya tidak perlu lainnya. Sejak tahun 1997, investor dari negara maju cenderung lebih memilih untuk berinvestasi langsung di negara yang memiliki tingkat korupsi yang rendah.

Korupsi juga berdampak buruk bagi birokrasi. Korupsi mengakibatkan tidak efisienya sistem birokrasi dan meningkatnya biaya administrasi. Jika korupsi telah merasuki berbagai lapisan birokrasi, maka prinsip-prinsip dasar birokrasi yang seharusnya rasional, efisien, dan berkualitas tidak akan pernah terwujud. Kualitas pelayanan publik akan sangat buruk dan mengecewakan. Hanya mereka yang memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk memberikan suap yang akan mendapatkan pelayanan yang baik. Situasi ini dapat menyebabkan penyebaran ketidakpuasan sosial, ketimpangan sosial, dan bahkan kemarahan sosial yang berpotensi menyebabkan kejatuhan para birokrat.

Strategi Pemberantasan Korupsi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun