Sudah terkenal dalam kalangan masyarakat umum bahwa korupsi merupakan tindakan kriminal yang merugikan keuangan negara. Namun, fakta sebenarnya lebih luas daripada itu. Korupsi adalah tindakan yang tercela, busuk, jahat, tidak jujur, dan memiliki konotasi negatif lainnya. Bahkan, dapat dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Oleh karena itu, pemahaman, cakupan, dan bentuk korupsi dapat dianalisis secara harfiah, yuridis, sosiologis, politis, dan sebagainya.
Korupsi telah menjadi isu yang mendalam di Indonesia dan sering kali mencoreng integritas lembaga pemerintahan serta menghambat pembangunan negara. Dalam upaya memahami dan melawan korupsi, teori-teori korupsi memainkan peran penting. Salah satu teori yang relevan adalah teori GONE (greed, opportunity, need, exposure) dan teori CDMA (corruption = discretion + monopoly - accountability).
Artikel ini akan menjelaskan secara rinci teori korupsi GONE dan CDMA, serta menerapkan teori-teori ini dalam konteks Indonesia. Namun, sebelum masuk ke pembahasan utama, mari kita pahami terlebih dahulu mengenai definisi korupsi menurut berbagai sumber.
Definisi Korupsi
Korupsi berasal dari kata Latin "corruptio" atau "corruptus" yang memiliki arti busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, dan menyogok. Istilah tersebut kemudian diadaptasi menjadi "corruption" dalam bahasa Inggris, "corruption" dalam bahasa Perancis, dan "corruptie" dalam bahasa Belanda, serta "korupsi" dalam bahasa Indonesia.
Korupsi adalah sebuah penyakit sosial yang memiliki dampak hampir sama dengan kanker pada perkembangan negara. Korupsi dalam skala besar didukung oleh jaringan kekuasaan. Untuk berfungsi dan bertahan, jaringan kekuasaan memerlukan lima kemampuan utama: ekonomi, teknis, politik, fisik, dan ideologis. Korupsi dalam skala besar adalah hasil dari proses sosial yang muncul. Faktor-faktor yang mempengaruhi korupsi dalam skala besar berlawanan dengan upaya untuk mendorong pembangunan. Sejarah dan evolusi pemerintahan telah mengalami banyak pengamatan yang mendalam. Jaringan kekuasaan yang korup dalam proses ekstraksi kekayaan menghasilkan pemborosan, mengurangi produksi, dan menyebabkan penderitaan bagi korban. Setiap dolar yang dicuri mengakibatkan kerugian bagi masyarakat. Jaringan korup tersebut mencapai tingkat kerusakan yang begitu parah sehingga pemerintah harus membongkar institusi-institusi yang terlibat. Kemampuan untuk mendeteksi dan menetralkan jaringan korup yang merusak sangat penting untuk pembangunan (Carvajal, 1999).
Melalui tinjauan literatur, definisi korupsi dapat ditemukan. Secara umum, korupsi dapat didefinisikan sebagai penyalahgunaan jabatan resmi oleh pejabat publik atau pejabat negara demi keuntungan pribadi. Namun, batasan tindakan korupsi tidak lagi hanya berkaitan dengan kerugian negara, melainkan juga mencakup segala bentuk tindakan yang merugikan pihak lain. Tingkat korupsi bervariasi, mulai dari penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberikan atau menerima layanan hingga korupsi berat yang diatur dalam undang-undang.
Dalam bidang ilmu politik, korupsi dapat dijelaskan sebagai tindakan yang melibatkan penyalahgunaan kekuasaan dan administrasi, baik dalam ranah ekonomi maupun politik. Tindakan tersebut dapat dilakukan oleh individu maupun orang lain dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi, yang pada akhirnya merugikan masyarakat umum, perusahaan, atau individu lainnya. Dalam perspektif ekonomi, korupsi didefinisikan dengan lebih spesifik sebagai pertukaran yang merugikan (antara prestasi dan imbalan, baik berupa materi maupun nonmateri) yang terjadi secara rahasia dan sukarela. Tindakan ini melanggar norma-norma yang berlaku dan setidaknya melibatkan penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang oleh salah satu pihak yang terlibat baik dalam sektor publik maupun swasta.
Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, korupsi didefinisikan sebagai tindakan melanggar hukum dengan tujuan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau merugikan negara atau perekonomian negara (Ningtias, 2014). Perilaku semacam ini sangat merugikan keuangan dan perekonomian negara serta menghambat kemajuan pembangunan nasional. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya pemberantasan korupsi guna mencapai masyarakat yang adil dan makmur sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Menurut World Bank, Indeks Pengendalian Korupsi (Control of Corruption Index/CCI) mengartikan korupsi sebagai penggunaan wewenang publik untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat pribadi. Korupsi memiliki konotasi moral dan kualitatif yang negatif. Korupsi dianggap tidak bermoral dan harus diberantas (Ghosh dan Siddique, 2014).
Transparansi Internasional (TI) mendefinisikan korupsi sebagai perilaku pejabat publik, baik politikus maupun pegawai negeri, yang dengan tidak benar dan melanggar hukum memperkaya diri sendiri atau pihak terdekat mereka dengan menyalahgunakan kewenangan publik yang diberikan kepada mereka.
Korupsi Menurut Para Ahli
1. Menurut Robert Klitgaard, korupsi adalah perilaku yang melanggar tugas-tugas resmi suatu jabatan dalam negara, dengan tujuan memperoleh keuntungan atau uang untuk kepentingan pribadi (individu, keluarga dekat, atau kelompok tertentu), atau melanggar aturan dalam pelaksanaan yang berhubungan dengan perilaku pribadi (Klitgaard, 2015). Dalam konteks ini, Klitgaard mengamati korupsi yang lebih khas terjadi pada pejabat publik atau pejabat negara sebagai tindakan "menggunakan jabatan untuk memperoleh keuntungan pribadi". Menurut Robert Klitgaard, secara historis, konsep ini merujuk pada perilaku politik yang tidak benar. Istilah korupsi, menurutnya, mencerminkan serangkaian tindakan yang merusak integritas.
2. Menurut Brooks, korupsi adalah tindakan sengaja melanggar tugas yang diketahui sebagai kewajiban atau melalaikannya dengan sedikit atau tanpa keuntungan pribadi (Brooks, 2019).
3. Menurut Huntington, korupsi adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku tersebut bertujuan untuk memenuhi kepentingan pribadi (Huntington, 2019).
4. Menurut Henry Campbell Black dalam Black's Law Dictionary, korupsi merujuk pada tindakan yang dilakukan dengan niat untuk memperoleh keuntungan yang tidak sah dengan memanfaatkan hak-hak orang lain. Tindakan ini melibatkan penyalahgunaan jabatan atau karakter seseorang dalam mendapatkan keuntungan pribadi atau keuntungan orang lain, yang bertentangan dengan kewajiban dan hak-hak orang lain (Black, 1891).
5. Menurut Mohtar Mas'oed, korupsi adalah perilaku yang menyimpang dari kewajiban formal suatu jabatan publik karena keinginan untuk memperoleh keuntungan ekonomi atau status bagi diri sendiri atau keluarga dekat (Mas'oed, 2019).
6. Menurut Sayed Hussein Alatas dalam bukunya "Corruption and the Disting of Asia", tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi meliputi penyuapan, pemerasan, nepotisme, dan penyalahgunaan kepercayaan atau jabatan demi kepentingan pribadi. Alatas menyatakan bahwa sebuah perilaku dapat dikategorikan sebagai praktek korupsi jika memenuhi karakteristik berikut:
- Korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang.
- Korupsi umumnya dilakukan secara rahasia.
- Korupsi melibatkan unsur saling menguntungkan dan saling berkewajiban.
- Pihak yang melakukan korupsi biasanya menyembunyikan diri di balik alasan hukum.
- Pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi memiliki kepentingan terhadap suatu keputusan dan memiliki kemampuan untuk mempengaruhinya.
- Tindakan korupsi merupakan bentuk penipuan terhadap institusi publik atau masyarakat umum.
- Setiap tindakan korupsi merupakan pengkhianatan terhadap kepercayaan.
- Setiap tindakan korupsi melibatkan fungsi ganda yang bertentangan dari pelaku korupsi.
- Korupsi mengganggu norma-norma tugas dan tanggung jawab dalam masyarakat.
Dari semua pengertian korupsi di atas, dapat disimpulkan bahwa korupsi adalah perilaku yang melanggar aturan dan moral serta menyalahgunakan jabatan dan wewenang untuk keuntungan pribadi atau kelompok. Dari sudut pandang hukum dan keadilan, korupsi meliputi:
a) mengambil sesuatu yang bukan haknya;
b) mengambil perbendaharaan publik atau barang dari pajak yang dibayarkan masyarakat secara tidak jujur untuk kepentingan pribadi;
c) bertindak menyimpang dari tugas resmi suatu jabatan secara sengaja untuk memperoleh keuntungan berupa status, kekayaan atau uang untuk diri sendiri, keluarga dekat atau kelompok tertentu.
Teori GONE Jack Bologna
Teori GONE adalah teori yang dikemukakan oleh Jack Bologna untuk menjelaskan penyebab korupsi. Teori ini menunjukkan bahwa korupsi disebabkan oleh empat faktor utama, yaitu ketamakan (greed), peluang (opportunity), kebutuhan (need), dan pengungkapan (exposure).
- Keserakahan (Greed)
Dalam konteks korupsi, keserakahan merujuk pada keinginan berlebihan untuk memperoleh keuntungan pribadi atau materi. Keinginan yang berlebihan (greed) merupakan faktor utama yang mendorong individu untuk terlibat dalam praktik korupsi. Manusia secara alami memiliki keinginan untuk memperoleh keuntungan dan kemakmuran. Namun, ketika keinginan tersebut melampaui batas moral dan etika, hal ini dapat menyebabkan timbulnya perilaku korupsi.
Keinginan materialistik yang berlebihan dapat menyebabkan seseorang tergoda untuk mencari cara-cara tidak jujur dalam memperoleh kekayaan. Dorongan untuk mengumpulkan harta benda secara tidak sah sering kali menjadi pemicu bagi individu untuk terlibat dalam korupsi. Keinginan yang tak terpuaskan untuk memiliki lebih banyak harta dan kekuasaan menjadi pendorong bagi tindakan korupsi.
Selain itu, ambisi yang berlebihan juga dapat mengorbankan integritas seseorang. Ketika seseorang terobsesi dengan kekuasaan dan prestise, mereka mungkin merasa terdorong untuk melakukan tindakan korupsi demi mencapai tujuan mereka. Ambisi yang tak terkendali dapat mengaburkan pandangan seseorang terhadap konsekuensi moral dari tindakan korupsi yang mereka lakukan.
- Kesempatan (Opportunity)
Peluang atau kesempatan terkait dengan ketersediaan akses yang membuka jalan bagi seseorang untuk melakukan korupsi. Tanpa adanya kesempatan untuk melakukan tindakan korupsi, kemungkinan besar seseorang tidak akan tergoda untuk terlibat dalam praktik korupsi. Meski pada awalnya individu tersebut mungkin tidak berniat melakukannya, namun dengan adanya kesempatan, ia memiliki opsi untuk terlibat dalam korupsi.
Seseorang yang memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menyalahgunakan wewenang tersebut. Korupsi sering kali terjadi di kalangan pejabat pemerintah atau orang-orang yang memiliki kewenangan dan akses terhadap sumber daya penting. Kesempatan untuk mengambil keputusan yang menguntungkan diri sendiri atau pihak lain secara tidak adil menjadi daya tarik yang sulit ditolak.
Kelemahan dalam sistem pemerintahan dan kurangnya pengawasan merupakan celah yang memungkinkan terjadinya korupsi. Ketika sistem tidak transparan atau lemah dalam menerapkan aturan dan hukuman terhadap praktik korupsi, peluang bagi individu yang korup untuk bertindak dengan bebas menjadi lebih besar.
- Kebutuhan (Need)
Faktor ini berkaitan dengan kebutuhan yang dirasakan oleh individu yang terlibat dalam praktik korupsi, seperti kebutuhan untuk memperoleh dana atau sumber daya untuk mencapai tujuan tertentu. Terkadang ada juga kasus di mana individu merasa terpaksa melakukan korupsi karena alasan ekonomi atau kebutuhan hidup. Ketika seseorang merasa terdesak atau memiliki kebutuhan yang mendesak, mereka mungkin cenderung mencari cara-cara yang tidak sah untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Tindakan korupsi dalam konteks ini dapat dipandang sebagai cara untuk mencapai tujuan yang lebih besar.
- Pengungkapan (Exposure)
Pengungkapan atau penyingkapan berkaitan dengan kemungkinan individu yang terlibat dalam praktik korupsi untuk terungkap atau ditangkap dan tingkat keparahan hukuman terhadap pelaku. Dalam beberapa kasus, korupsi terjadi karena adanya kelemahan dalam sistem pengawasan atau pelaporan yang memungkinkan individu untuk melakukan tindakan koruptif tanpa adanya risiko yang signifikan. Dengan kata lain, semakin besar kemungkinan tindakan korupsi terbongkar, semakin sedikit motivasi seseorang untuk melakukannya, dan semakin berat hukuman yang diberikan kepada pelaku, maka semakin sedikit lagi dorongan seseorang untuk melakukan tindakan korupsi.
Penerapan Teori GONE Pada Kasus Korupsi di Indonesia
Teori GONE dapat diterapkan pada berbagai kasus korupsi yang terjadi di indonesia, yang merupakan salah satu negara dengan tingkat korupsi yang tinggi. Berikut ini adalah beberapa contoh penerapan teori GONE pada kasus korupsi di Indonesia.
- Kasus Korupsi Bansos Pandemi COVID-19
Penerapan teori GONE dapat dilihat pada kasus korupsi bantuan sosial di era pandemi COVID-19 di Indonesia. Kasus ini yang melibatkan mantan Menteri Sosial Juliari Batubara dan sejumlah pejabat lainnya yang diduga menyalahgunakan dana bansos yang dialokasikan oleh pemerintah untuk membantu masyarakat terdampak pandemi. Potensi kerugian negara dalam kasus korupsi bantuan sosial mantan Menteri Sosial RI tersebut diperkirakan mencapai Rp. 2 Triliun.
Dari faktor ketamakan (greed), para pelaku korupsi diduga ingin memperoleh keuntungan dari dana bansos dengan cara menetapkan harga lebih tinggi dari harga pasar, menambah jumlah penerima bansos fiktif, atau mengurangi kualitas barang bansos. Dari faktor peluang (opportunity), para pelaku korupsi memanfaatkan situasi darurat dan kebijakan penanganan pandemi yang kurang transparan dan akuntabel untuk melakukan praktik-praktik tidak jujur dalam proses pengadaan, pendistribusian, dan penyaluran bansos. Dari faktor kebutuhan (need) tampak dari alasan yang diberikan oleh Juliari Batubara, yaitu untuk membiayai kegiatan politik dan sosialnya. Dari faktor penyingkapan (exposure), para pelaku korupsi mungkin merasa berani karena adanya perlindungan atau kolusi dengan pihak-pihak berwenang atau berpengaruh yang dapat menghalangi proses penyidikan atau penuntutan.
Kasus Korupsi BLBI
Kasus korupsi BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) melibatkan Sjamsul Nursalim sebagai salah satu tersangka utama. Sjamsul Nursalim adalah pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), salah satu obligor BLBI. Kerugian finansial dalam kasus BLBI yang terkait Sjamsul Nursalim diperkirakan mencapai Rp 4,58 triliun. Saat kasus tersebut diserahkan ke KPK, Sjamsul Nursalim beserta istrinya ditetapkan sebagai buron yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Mereka diketahui bersembunyi di Singapura. KPK pun sudah beberapa kali melakukan pemanggilan terhadap keduanya. Namun, pasangan suami istri itu tidak pernah memenuhi panggilan KPK, baik sebagai saksi maupun tersangka.
Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan SP3 alias Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menyeret nama konglomerat, Sjamsul Nursalim. KPK memberikan alasan bahwa SP3 dikeluarkan untuk memberikan kepastian hukum. Terlebih lagi, salah satu terdakwa dalam kasus yang sama, yaitu Syafruddin Temenggung, telah dinyatakan bebas di tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung (MA).
Dalam kasus ini, Sjamsul Nursalim memiliki keserakahan (greed) yang tinggi untuk memperkaya diri sendiri dan keluarganya. Ia juga diberikan kesempatan (opportunity) untuk melakukan korupsi karena menjabat sebagai pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Selain itu, ia memiliki kebutuhan (need) yang mendesak untuk memperoleh uang dalam jumlah besar untuk menutupi kerugian BDNI. Exposure dalam kasus ini juga sangat rendah karena kasus baru terungkap setelah bertahun-tahun berlalu. Dan meskipun sudah ditetapkan sebagai tersangka, nyatanya Sjamsul Nursalim tidak pernah berhasil tertangkap karena diduga bersembunyi di Singapura. Bahkan saat ini status buron nya juga sudah dicabut.
Kasus Korupsi Asabri
Kasus korupsi Asabri adalah salah satu skandal korupsi terbesar di Indonesia yang melibatkan pengelolaan dana investasi oleh PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Persero) atau Asabri. Kasus ini menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 23,7 triliun dan melibatkan delapan tersangka, termasuk dua mantan direktur utama Asabri dan beberapa pengusaha.
Dalam kasus korupsi Asabri, dapat dikatakan bahwa para tersangka memiliki greed yang tinggi karena mereka ingin mendapatkan keuntungan pribadi dari dana investasi Asabri yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan anggota TNI dan Polri. Mereka juga memiliki opportunity yang besar karena mereka dapat berkolusi dengan pihak-pihak di luar Asabri yang bukan merupakan konsultan investasi atau manajer investasi, seperti Heru Hidayat, Benny Tjokrosaputro, dan Lukman Purnomosidi. Mereka membeli atau menukar saham-saham milik mereka dengan saham-saham dalam portofolio Asabri dengan harga yang telah dimanipulasi menjadi tinggi, sehingga kinerja portofolio Asabri terlihat baik. Mereka juga mengendalikan transaksi-transaksi saham-saham tersebut dengan tujuan menguntungkan diri sendiri dan merugikan investasi Asabri.
Need dari para tersangka mungkin bervariasi, tetapi umumnya berkaitan dengan gaya hidup mewah, ambisi politik, atau keinginan untuk mempertahankan posisi dan kekuasaan mereka. Exposure dari kasus korupsi Asabri sangat rendah karena tidak ada mekanisme pengawasan atau audit yang efektif dari pihak internal maupun eksternal Asabri. Bagaimana tidak, korupsi sudah dilakukan sejak tahun 2012-2019 tapi baru terendus pada Januari 2020 setelah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD berbicara soal adanya dugaan kasus korupsi di ASABRI. Sampai akhirnya Kejagung menetapkan 8 orang tersangka dalam kasus ini pada 8 Februari 2021
Analisis Penerapan Teori GONE pada Kasus Korupsi di Indonesia
Dari ketiga contoh kasus di atas, dapat dilihat bahwa penerapan teori GONE dapat menjelaskan mengapa korupsi terjadi di Indonesia. Keserakahan merupakan faktor utama yang mendorong seseorang untuk melakukan korupsi. Kesempatan dan Kebutuhan yang mendesak juga dapat menjadi pemicu seseorang untuk melakukan korupsi. Namun, jika seseorang yang terungkap diberikan hukuman atau konsekuensi yang tegas, maka ia akan berpikir dua kali sebelum melakukan korupsi.
Penerapan teori GONE dapat memberikan dampak positif pada penanganan korupsi di Indonesia. Dengan menerapkan teori ini, penegak hukum dapat lebih mudah mengidentifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi. Hal ini dapat membantu penegak hukum dalam menentukan langkah-langkah pencegahan dan penindakan yang tepat dengan cara mengurangi atau menghilangkan salah satu atau lebih faktor-faktor tersebut. Misalnya, untuk mengurangi Greed, dapat dilakukan dengan meningkatkan kesadaran moral dan etika para pejabat publik dan masyarakat. Untuk mengurangi Opportunity, dapat dilakukan dengan meningkatkan transparansi serta memperkuat sistem pengawasan dan pengendalian dari pihak-pihak yang berwenang. Untuk mengurangi Need, dapat dilakukan dengan memberikan kesejahteraan dan perlindungan sosial yang memadai kepada para pejabat publik dan masyarakat. Untuk mengurangi Exposure, dapat dilakukan dengan memberlakukan hukum yang tegas dan adil bagi para pelaku korupsi.
Teori CDMA Robert Klitgaard
Robert Klitgaard adalah seorang ahli ekonomi yang mengemukakan teori tentang korupsi yang dikenal sebagai teori CDMA. Teori ini menekankan tiga elemen penting yang mempengaruhi terjadinya korupsi, yaitu diskresi (discretion), monopoli (monopoly), dan akuntabilitas (accountability).
Teori Robert Klitgaard ini menggunakan rumus C = D + M - A, yang artinya kekuasaan yang dimonopoli oleh para pimpinan (monopoly of power), ditambah dengan tingginya wewenang yang dimiliki oleh mereka (discretion of official), dan kurangnya akuntabilitas yang memadai (minus accountability), menyebabkan dorongan melakukan tindak pidana korupsi. Menurut teori ini, semakin besar kekuasaan dan monopoli yang dimiliki seseorang atau kelompok, semakin besar pula kemungkinan mereka melakukan korupsi, kecuali jika ada mekanisme akuntabilitas yang efektif untuk mengawasi dan mengontrol perilaku mereka.
- Diskresi (Discretion)
Discretion mengacu pada kewenangan atau kebijaksanaan yang dimiliki oleh individu dalam mengambil keputusan. Elemen ini merupakan faktor kunci dalam terjadinya korupsi.
Ketika individu memiliki kebebasan untuk menggunakan kewenangan mereka tanpa adanya batasan yang jelas, peluang untuk menyalahgunakan kewenangan tersebut menjadi lebih besar. Tindakan korupsi sering kali terjadi ketika individu menggunakan kebijaksanaan mereka untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, bukan untuk kepentingan publik.
Ketika pedoman dan prosedur yang jelas tidak ada atau tidak diterapkan dengan baik, hal ini memberikan ruang bagi individu untuk bertindak secara sewenang-wenang dan melanggar prinsip-prinsip integritas. Kekurangan pedoman dan prosedur yang jelas dapat menyebabkan ketidakadilan dan penyalahgunaan kekuasaan.
- Monopoly (Monopoly)
Monopoli atau kontrol atas sumber daya dan akses terbatas juga berperan dalam terjadinya korupsi. Ketika suatu pihak memiliki kekuasaan atau kendali mutlak terhadap suatu sumber daya atau pasar, peluang untuk melakukan tindakan korupsi menjadi lebih besar.
Ketika individu atau kelompok memiliki kontrol yang eksklusif terhadap sumber daya atau akses terbatas, mereka dapat memanfaatkan posisi mereka untuk memperoleh keuntungan yang tidak adil. Monopoli yang tidak diatur dengan baik atau tidak ada persaingan yang sehat dapat menjadi tempat subur bagi praktik korupsi.
Kekuasaan yang tidak terkendali atau perlakuan yang tidak adil terhadap pihak-pihak yang tidak memiliki kekuatan atau pengaruh dapat menjadi pemicu terjadinya korupsi. Ketika individu atau lembaga menggunakan kekuasaan mereka untuk memberikan perlakuan tidak adil atau mendapatkan keuntungan pribadi, tindakan korupsi dapat terjadi.
- Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas atau pertanggungjawaban merupakan elemen penting dalam pencegahan korupsi. Ketika individu atau lembaga bertanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka, risiko korupsi dapat ditekan.
Transparansi dalam tindakan dan pertanggungjawaban terhadap publik merupakan langkah penting dalam mengurangi praktik korupsi. Ketika individu atau lembaga dipertanggungjawabkan atas tindakan mereka dan informasi mengenai keputusan atau tindakan tersebut dapat diakses oleh publik, risiko korupsi dapat dikurangi karena adanya pengawasan.
Pemberantasan korupsi membutuhkan sistem pengawasan yang kuat dan efektif. Ketika ada mekanisme pengawasan yang efektif dan sanksi yang tegas terhadap pelaku korupsi, individu atau lembaga akan lebih berpikir dua kali sebelum terlibat dalam tindakan korupsi.
William J. Chambliss mengemukakan bahwa korupsi melibatkan banyak pihak yang ia sebut sebagai cabal atau jaringan korupsi. Menurutnya, korupsi merupakan bagian tak terpisahkan dari setiap struktur birokrasi yang terlibat dengan kepentingan sekelompok kecil pengusaha, penegak hukum, dan politisi yang sulit diungkap. Jaringan korupsi ini melibatkan elit-elit di pusat kekuasaan, termasuk pimpinan eksekutif, elit partai politik, pejabat tinggi di lembaga peradilan, dan kalangan bisnis. Korupsi menjadi bagian dari sistem itu sendiri, sehingga menjadi tantangan yang tidak mudah untuk memberantas korupsi karena aparat penegak hukum sering kali berada dalam dilema. Korupsi bukanlah kejahatan yang terjadi di luar sistem, oleh karena itu jaringan korupsi ini sangat sulit ditembus dari dalam karena adanya kolusi antara pengusaha, politisi, dan aparat penegak hukum. Selain itu, jaringan korupsi ini juga sulit ditembus dari luar karena aparat penegak hukum dapat menggunakan "penjahat kelas teri" yang siap dikorbankan sebagai pengalihan perhatian untuk melindungi pelaku sebenarnya yang berada dalam jaringan tersebut (William, 2002).
Perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik menjadi otonomi daerah yang bertujuan untuk menghindari pemusatan kekuasaan justru menggeser praktik korupsi yang sebelumnya didominasi oleh pemerintah pusat (karena pada saat itu kekuasaan ada di tangan pemerintah pusat) menjadi semakin marak terjadi di daerah (karena otonomi daerah memberikan kekuasaan kepada para pimpinan di daerah). Hal ini sejalan dengan teori Klitgaard yang menyatakan bahwa korupsi mengikuti kekuasaan.
Teori CDMA ini dapat digunakan untuk menganalisis berbagai kasus korupsi yang terjadi di berbagai sektor dan tingkatan. Misalnya, seorang pejabat publik yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan izin atau memberikan layanan tertentu kepada masyarakat, dapat melakukan korupsi jika tidak ada pesaing atau alternatif lain yang dapat dipilih oleh masyarakat (monopoli), dan jika tidak ada lembaga atau aturan yang dapat memeriksa dan menindak tindakan mereka (akuntabilitas). Demikian pula, seorang pengusaha yang memiliki posisi dominan di pasar tertentu, dapat melakukan korupsi jika tidak ada saingan atau regulasi yang dapat menghalangi praktik monopoli atau kolusi mereka.
Penerapan Teori CDMA
Teori C=D+M-A dapat diterapkan pada berbagai kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. Dengan menggunakan teori ini, kita dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi dan mencari solusi yang tepat untuk mengatasinya. Berikut ini adalah beberapa contoh penerapan teori C=D+M-A pada kasus korupsi di Indonesia.
Kasus Korupsi E-KTP
Beberapa tahun lalu, kasus korupsi KTP elektronik sempat menjadi perhatian publik karena besarnya kerugian dan kejadian yang penuh dengan drama. Berdasarkan audit dari BPK, negara menderita kerugian sebesar Rp2,3 triliun akibat adanya mark up harga, penggelembungan anggaran, dan pemberian fee kepada sejumlah pihak. Beberapa tokoh terkenal yang terlibat dalam kasus ini antara lain mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, Irman Gusman, dan Andi Narogong.
Dalam kasus ini, terdapat faktor discretion yang tinggi karena pejabat publik memiliki kekuasaan untuk menentukan pemenang tender, spesifikasi teknis, dan alokasi anggaran. Selain itu, terdapat faktor monopoly karena hanya ada satu perusahaan yang ditunjuk sebagai pemenang tender, yaitu PT Biomorf Lone Indonesia, sehingga menghalangi persaingan yang sehat dan transparan. Sementara itu, faktor acountability sangat rendah karena tidak ada pengawasan yang efektif dari lembaga negara maupun masyarakat sipil, sehingga mereka berhasil mengelabui sistem pengawasan dan hukum selama bertahun-tahun.
Kasus Korupsi Jiwasraya
Selain kasus korupsi E-KTP, kasus dugaan korupsi yang melibatkan PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) juga sempat menjadi sorotan publik. Jiwasraya sebelumnya mengalami kegagalan dalam membayar polis kepada nasabah terkait investasi Saving Plan senilai Rp12,4 triliun. Produk tersebut merupakan asuransi jiwa yang dikombinasikan dengan investasi dan dijual melalui sejumlah bank sebagai agen penjualan.
Dikutip dari situs bpk.go.id, total kerugian negara dalam kasus Jiwasraya mencapai Rp16,81 Triliun. Pada tanggal 9 Maret 2020 pukul 14.00 WIB, Agung Firman Sampurna, selaku Ketua BPK, telah menyerahkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif terkait Penghitungan Kerugian Negara yang disebabkan oleh pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero) selama periode 2008 hingga 2018 kepada Jaksa Agung di Kantor Kejaksaan Agung RI. Setelah melakukan penyelidikan sejak tanggal 17 Desember 2019, Kejaksaan Agung menetapkan lima orang sebagai tersangka. Mereka adalah Benny Tjokrosaputro, Direktur Utama PT. Hanson International Tbk., Harry Prasetyo, mantan Direktur Keuangan PT. Asuransi Jiwasraya, Heru Hidayat, Presiden Komisaris PT. Trada Alam Minera Tbk., Hendrisman Rahim, mantan Direktur Utama PT. Asuransi Jiwasraya, dan Syahmirwan, seorang pensiunan dari PT. Asuransi Jiwasraya.
Dalam kasus ini, terdapat faktor discretion yang tinggi karena direksi dan komisaris memiliki kekuasaan untuk menentukan kebijakan investasi dan keuangan perusahaan tanpa adanya batasan atau pedoman yang jelas. Selain itu, terdapat faktor monopoly karena PT Asuransi Jiwasraya merupakan salah satu perusahaan asuransi milik negara yang memiliki pangsa pasar yang besar di sektor asuransi jiwa. Sementara itu, faktor acountability sangat rendah karena tidak ada pengawasan yang efektif dari lembaga negara maupun masyarakat sipil terhadap kinerja dan laporan keuangan perusahaan.
Kasus Korupsi Hambalang
Satu lagi kasus korupsi yang dapat dianalisis dengan menggunakan teori ini adalah kasus korupsi Hambalang. Kasus ini melibatkan proyek pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, yang menelan anggaran sekitar Rp 2,5 triliun. Proyek ini diduga sarat dengan praktik kolusi, mark up, dan penggelembungan anggaran.
Dalam kasus ini, terdapat beberapa aktor yang memiliki kewenangan dan monopoli dalam pengambilan keputusan terkait proyek Hambalang. Di antaranya adalah mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng, dan mantan anggota DPR, Angelina Sondakh. Mereka diduga berperan dalam menentukan pemenang tender proyek, mengatur alokasi anggaran, dan menerima suap dari kontraktor.
Sementara itu, akuntabilitas yang dimiliki oleh para aktor tersebut sangat rendah. Hal ini dikarenakan minimnya pengawasan dan transparansi dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian proyek. Selain itu, adanya intervensi politik dari partai berkuasa saat itu juga menghambat proses penegakan hukum terhadap para tersangka korupsi.
Analisis Penerapan Teori C=D+M-A pada Kasus Korupsi
Dari ketiga contoh kasus di atas, dapat dilihat bahwa penerapan teori C=D+M-A dapat menjelaskan mengapa korupsi terjadi di Indonesia. Diskresi atau keleluasaan dalam mengambil keputusan merupakan faktor utama yang mendorong seseorang untuk melakukan korupsi. Monopoli dalam penyediaan barang atau jasa tertentu juga dapat memicu terjadinya korupsi. Namun, jika sebuah organisasi memiliki akuntabilitas atau pertanggungjawaban yang efektif, maka seseorang akan berpikir dua kali sebelum melakukan korupsi.
Penerapan teori C=D+M-A dapat memberikan dampak positif pada penanganan korupsi di Indonesia. Salah satu caranya adalah dengan mengurangi kekuasaan dan monopoli yang dimiliki oleh pelaku potensial korupsi, misalnya dengan melakukan reformasi birokrasi, mendorong transparansi dan partisipasi publik, memberantas kolusi dan nepotisme, memberikan sanksi yang tegas bagi pelaku korupsi, dan sebagainya. Cara lainnya adalah dengan meningkatkan akuntabilitas pelaku potensial korupsi, misalnya dengan memperkuat lembaga pengawas, penegak hukum, media massa, organisasi masyarakat sipil, sistem pengaduan publik, dan sebagainya.
Mengapa Korupsi Perlu Diberantas?
Korupsi adalah salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Korupsi merugikan perekonomian negara, merusak tatanan sosial, dan menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Hal ini jelas sangat berbahaya bagi keutuhan suatu negara. Oleh karena itu, sangat penting untuk memberantas korupsi. Berikut adalah beberapa bahaya korupsi menurut Wicipto Setiadi (2021):
Bahaya Korupsi terhadap Masyarakat dan Individu
Korupsi telah menjadi ancaman serius bagi masyarakat dan individu. Dampak negatif dari korupsi dapat merusak tatanan sosial, menghancurkan keadilan sosial, dan mengancam persaudaraan yang tulus. Masyarakat yang terbebani oleh korupsi cenderung mengutamakan kepentingan pribadi dan keegoisan, tanpa adanya kerjasama yang sehat.
Penelitian empiris di berbagai negara telah membuktikan bahwa korupsi memiliki dampak negatif terhadap kesetaraan sosial. Korupsi menciptakan kesenjangan yang tajam antara kelompok-kelompok sosial dan individu dalam hal pendapatan, status sosial, kekuasaan, dan lain-lain. Selain itu, korupsi juga merusak standar moral dan intelektual masyarakat. Ketika korupsi merajalela, nilai-nilai kemuliaan dalam masyarakat menjadi pudar.
Korupsi menciptakan iklim ketamakan, keegoisan, dan sinisme. Individu cenderung memprioritaskan kepentingan pribadi di atas segala-galanya, tanpa memedulikan hal-hal lainnya. Jika kondisi ini terjadi dalam masyarakat, semangat pengorbanan demi kebaikan dan kemajuan masyarakat akan semakin menurun bahkan mungkin menghilang.
Bahaya Korupsi terhadap Generasi Muda
Salah satu dampak negatif yang sangat berbahaya dari korupsi dalam jangka panjang adalah kerusakan yang ditimbulkan pada generasi muda. Dalam masyarakat di mana korupsi telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, anak-anak tumbuh dengan pola pikir antisosial. Akibatnya, generasi muda ini cenderung menganggap korupsi sebagai sesuatu yang normal, bahkan sebagai bagian dari budaya mereka. Seiring waktu, perkembangan kepribadian mereka terbiasa dengan perilaku yang tidak jujur dan tidak bertanggung jawab. Jika situasi generasi muda dalam suatu negara berada dalam kondisi seperti ini, maka masa depan negara tersebut akan sangat suram.
Bahaya Korupsi terhadap Politik
Kekuasaan politik yang dicapai melalui korupsi akan menciptakan pemerintahan dan pemimpin yang tidak diakui secara publik. Masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah dan pemimpin mereka. Akibatnya, mereka akan menjadi tidak patuh dan tidak menghormati otoritas yang ada. Praktik korupsi yang meluas dalam politik, seperti pemilu yang curang, kekerasan dalam pemilu, money politics, dan sebagainya, dapat merusak demokrasi. Penguasa yang korup akan menggunakan kekerasan atau bahkan menyebarkan korupsi lebih luas untuk mempertahankan kekuasaan. Keadaan seperti ini dapat memicu instabilitas sosial-politik dan mengganggu integrasi sosial. Banyak kasus di mana korupsi politik menyebabkan kejatuhan pemerintahan yang tidak terhormat.
Bahaya Korupsi Bagi Ekonomi Bangsa
Korupsi merusak perkembangan ekonomi suatu bangsa. Jika sebuah proyek ekonomi dijalankan dengan korupsi, seperti suap untuk persetujuan proyek, nepotisme dalam penunjukan pelaksana proyek, penggelembungan biaya, dan berbagai bentuk korupsi lainnya, maka pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dari proyek tersebut tidak akan tercapai. Penelitian oleh Transparency International menunjukkan bahwa korupsi juga menyebabkan berkurangnya investasi, baik dari modal dalam negeri maupun luar negeri. Para investor akan berpikir dua kali untuk berinvestasi karena harus membayar biaya yang lebih tinggi, seperti suap kepada pejabat untuk mendapatkan izin, biaya keamanan agar investasinya aman, dan berbagai biaya tidak perlu lainnya. Sejak tahun 1997, investor dari negara maju cenderung lebih memilih untuk berinvestasi langsung di negara yang memiliki tingkat korupsi yang rendah.
Bahaya Korupsi Bagi Birokrasi
Korupsi juga berdampak buruk bagi birokrasi. Korupsi mengakibatkan tidak efisienya sistem birokrasi dan meningkatnya biaya administrasi. Jika korupsi telah merasuki berbagai lapisan birokrasi, maka prinsip-prinsip dasar birokrasi yang seharusnya rasional, efisien, dan berkualitas tidak akan pernah terwujud. Kualitas pelayanan publik akan sangat buruk dan mengecewakan. Hanya mereka yang memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk memberikan suap yang akan mendapatkan pelayanan yang baik. Situasi ini dapat menyebabkan penyebaran ketidakpuasan sosial, ketimpangan sosial, dan bahkan kemarahan sosial yang berpotensi menyebabkan kejatuhan para birokrat.
Strategi Pemberantasan Korupsi
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh lembaga Transparency International, ditemukan hubungan antara tingkat korupsi dan tingkat kejahatan. Ketika korupsi meningkat, kejahatan juga meningkat. Sebaliknya, ketika korupsi berhasil ditekan, kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum bertambah. Kepercayaan dan dukungan masyarakat yang baik membuat penegakan hukum menjadi lebih efektif, sehingga dapat mengurangi jumlah kejahatan secara keseluruhan. Dengan demikian, mengurangi korupsi juga secara tidak langsung mengurangi kejahatan lainnya.
Berikut ini adalah beberapa strategi pemberantasan korupsi yang dapat diuraikan secara singkat (Dwiputrianti, 2009):
Memahami Korupsi dengan Lebih Baik
Sebagai masyarakat, kita perlu belajar mengenali korupsi. Salah satu alasan sulitnya memberantas korupsi adalah karena baik pemerintah maupun masyarakat kurang memahami dan mengenali jenis-jenis korupsi yang sering terjadi. Kita tidak boleh hanya berteriak 'berantas korupsi' tanpa menyadari bahwa kita sendiri sering melakukan tindakan korupsi. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mempelajari dan memahami dengan baik fenomena korupsi ini.
Mengetahui Hak dan Kewajiban dalam Pemberantasan Korupsi
Kita perlu mengetahui dan memahami hak serta kewajiban kita dalam pemberantasan korupsi. Dengan mengetahui aturan mainnya, kita tidak mudah ditipu oleh individu yang terlibat dalam korupsi. Sebaliknya, kita dapat melakukan pengawasan dan berperan aktif dalam menanggulangi serta mencegah korupsi.
Kerjasama dan Komitmen Antar Negara
Dalam upaya memberantas korupsi, kerjasama antar negara sangat diperlukan, terutama dalam kasus korupsi lintas negara. Kerjasama dapat dilakukan secara bilateral antara dua negara, regional antara negara-negara dalam satu wilayah, maupun multilateral melibatkan banyak negara. Kerjasama akan lebih efektif apabila negara-negara tersebut memiliki komitmen yang sama dalam memberantas korupsi, seperti meratifikasi Konvensi Anti Korupsi dan menyesuaikan peraturan perundangan di negara masing-masing.
Pendekatan Pencegahan
Pendekatan pencegahan adalah kebijakan untuk mencegah dan menghilangkan peluang terjadinya korupsi. Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan meningkatkan kesadaran warga negara agar tidak terlibat dalam tindakan korupsi serta melindungi uang dan aset negara. Peluang terjadinya korupsi dapat dikurangi melalui perbaikan sistem hukum dan kelembagaan, serta perbaikan moral dan kesejahteraan warga negara.
Peran Masyarakat dalam Memberantas Korupsi
Korupsi sangat merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan. Dukungan masyarakat sangat penting dalam menjalankan program-program perbaikan. Jika masyarakat memiliki kepercayaan dan mendukung pemerintah serta berperan aktif dalam pemberantasan korupsi, maka korupsi dapat diakhiri. Setiap orang berhak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi mengenai dugaan korupsi serta memberikan saran, pendapat, atau pengaduan kepada penegak hukum atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Penghargaan bagi Pelapor
Ormas, LSM, atau individu yang membantu dalam upaya pencegahan atau pemberantasan korupsi dapat diberikan penghargaan berupa piagam atau premi setelah terdakwa dinyatakan bersalah oleh pengadilan.
Kesimpulan
Korupsi merupakan masalah yang serius di Indonesia. Untuk mengatasinya, perlu adanya upaya untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya tindakan korupsi. Penerapan teori GONE dan CDMA dapat memiliki dampak signifikan dalam upaya pemberantasan korupsi. Dengan memahami faktor-faktor yang mendorong korupsi, pemerintah dan lembaga anti-korupsi dapat merancang kebijakan, sistem pengawasan, dan strategi yang lebih efektif untuk meminimalkan kesempatan dan memotivasi perubahan perilaku yang positif.
Meskipun demikian, kita juga menyadari bahwa mengatasi korupsi tidaklah mudah dan memerlukan kerja sama dari berbagai pihak. Oleh karena itu, upaya pencegahan dan penanggulangan korupsi harus melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat, pihak swasta, dan pemerintah.
Referensi:
Waluyo, B. (2014). Optimalisasi pemberantasan korupsi di indonesia. Jurnal Yuridis, 1(2), 169-162.
Hamson, Z., & Makkah, H. M. (2021). Membedah Anatomi Korupsi. Penerbit NEM.
Brooks, G. (2019). Criminal justice and corruption: state power, privatization and legitimacy. Springer.
Tim Pokja Modul Pembinaan Kesadaran Bela Negara. (2019). Modul PKBN SERI 4.2 PILIHAN: Pencegahan Korupsi Dalam Gerakan Nasional Bela Negara (1st ed.). Kementerian Pertahanan Republik Indonesia. ISBN: 978-979-8878-19-0
Bologna, J., Lindquist, R. J., & Wells, J. T. (1993). The accountant's handbook of fraud and commercial crime. New York, NY: Wiley.
Klitgaard, R. (1988). Controlling corruption. Univ of California Press.
Naya, J., & Yanti, H. B. (2020, April). Mendeteksi Kecurangan Melalui Teori GONE Menurut Persepsi Auditor Eksternal Dengan Pengalaman Kerja Sebagai Variabel Moderasi. In Prosiding Seminar Nasional Pakar (pp. 2-41).
Klitgaard, R. E., Abaroa, R. M., & Parris, H. L. (2000). Corrupt cities: a practical guide to cure and prevention. World Bank Publications.
Setiawan, I., & Jesaja, C. P. (2022). Analisis Perilaku Korupsi Aparatur Pemerintah Di Indonesia (Studi pada Pengelolaan Bantuan Sosial Di Era Pandemi Covid-19). Jurnal Media Birokrasi, 33-50.
Wahyuni, H. R. (2021, December 15). Begini Kronologi Kasus Asabri Sampai Dituntut Hukuman Mati. Finansialku.com. Retrieved from https://www.finansialku.com/begini-kronologi-kasus-asabri-sampai-dituntut-hukuman-mati/
Idris, M. (2021, February 3). Ini Kronologi Korupsi Asabri yang Merugikan Negara Rp 23,7 Triliun. Kompas.com. Retrieved from https://money.kompas.com/read/2021/02/03/030400326/ini-kronologi-korupsi-asabri-yang-merugikan-negara-rp-23-7-triliun
Kompas.com. (2021, April 9). Perjalanan Kasus BLBI Sjamsul Nursalim yang Rugikan Negara Rp 4,5 Triliun. Retrieved from https://money.kompas.com/read/2021/04/09/071630926/perjalanan-kasus-blbi-sjamsul-nursalim-yang-rugikan-negara-rp-45-triliun
Abdillahawang, M. (2023, March 15). Kilas Balik Kasus Korupsi Mega Proyek Hambalang yang Seret Sejumlah Elite Partai Demokrat. Tribunnews.com. Retrieved from https://www.tribunnews.com/nasional/2023/03/15/kilas-balik-kasus-korupsi-mega-proyek-hambalang-yang-seret-sejumlah-elite-partai-demokrat
Napisa, S., & Yustio, H. (2021). Korupsi di Indonesia (Penyebab, Bahaya, Hambatan dan Upaya Pemberantasan, Serta Regulasi) Kajian Literatur Manajemen Pendidikan dan Ilmu Sosial. Jurnal Manajemen Pendidikan dan Ilmu Sosial, 2(2), 564-579.
Dwiputrianti, S. (2009). Memahami Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Jurnal Ilmu Administrasi: Media Pengembangan Ilmu dan Praktek Administrasi, 6(3), 01.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H