Mohon tunggu...
Azzam Fachriza
Azzam Fachriza Mohon Tunggu... Mahasiswa - .

.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Gaya dan Tipe Kepemimpinan Donald John Trump Pada Era Kepresidenan Amerika Serikat

25 Agustus 2024   23:30 Diperbarui: 25 Agustus 2024   23:32 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Donald Trump adalah seorang pengusaha, selebritas televisi, dan politisi yang menjadi Presiden Amerika Serikat ke-45, menjabat dari tahun 2017 hingga 2021.

Trump memulai kariernya dalam bisnis real estate, bekerja di perusahaan ayahnya, Elizabeth Trump & Son, yang kemudian dia ubah menjadi Trump Organization. Trump terkenal dengan proyek-proyek real estate mewah, seperti Trump Tower di New York City. Dia juga terlibat dalam berbagai bidang bisnis lain, termasuk kasino, hotel, dan lapangan golf.

Trump menjadi lebih dikenal publik melalui acara realitas televisi, "The Apprentice," yang menonjolkan citra dirinya sebagai pebisnis sukses dan tangguh.

Sebelum menjabat sebagai presiden, Trump tidak memiliki pengalaman politik atau militer. Dia mencalonkan diri sebagai presiden dari Partai Republik dan menang dalam pemilihan umum 2016, mengalahkan kandidat dari Partai Demokrat, Hillary Clinton.

Pengaruh Awal Kehidupan dan Pendidikan

Donald Trump lahir pada 14 Juni 1946, di Queens, New York City, dalam keluarga yang mapan secara finansial. Ayahnya, Fred Trump, adalah seorang pengembang real estate yang sukses, sementara ibunya, Mary Anne MacLeod Trump, adalah seorang imigran dari Skotlandia. Latar belakang keluarga dan pendidikan Trump memberikan pengaruh signifikan terhadap karakter dan gaya kepemimpinannya di masa dewasa.

Keluarga Trump memiliki bisnis real estate yang mapan di New York, khususnya dalam pembangunan dan pengelolaan perumahan kelas menengah. Fred Trump dikenal sebagai pengusaha yang keras dan fokus pada kesuksesan bisnis. Pengaruh ayahnya tampak jelas dalam cara Donald Trump menekankan pentingnya kesuksesan dan prestasi, serta pendekatannya yang pragmatis dan kompetitif dalam bisnis dan politik. Pada usia 13 tahun, Trump dikirim ke New York Military Academy, sebuah sekolah asrama militer.

Setelah lulus dari akademi militer, Trump melanjutkan pendidikan di Fordham University selama dua tahun sebelum pindah ke Wharton School di University of Pennsylvania. Dia lulus pada tahun 1968 dengan gelar Bachelor of Science dalam bidang ekonomi. Wharton dikenal sebagai salah satu sekolah bisnis terkemuka di dunia, dan pendidikan di sana memberikan Trump pengetahuan dasar tentang ekonomi, bisnis, dan keuangan.n gaya kepemimpinannya yang tegas dan dominan. Pendidikan bisnis di Wharton memberikan Trump pemahaman tentang pentingnya strategi, negosiasi, dan branding, yang semuanya memainkan peran penting dalam karier bisnisnya dan kemudian dalam pendekatannya terhadap politik. Trump sering menekankan latar belakang pendidikannya sebagai bukti kecerdasannya dan kompetensinya dalam mengelola ekonomi.

Pengalaman di New York Military Academy mengajarkan Trump tentang pentingnya disiplin dan kemandirian. Gaya kepemimpinannya sering menekankan pentingnya kontrol dan otoritas, serta kemampuan untuk membuat keputusan secara mandiri tanpa terlalu banyak bergantung pada nasihat orang lain. Dari ayahnya, Trump belajar pentingnya pragmatisme dalam bisnis, fokus pada hasil nyata, dan keinginan untuk terus berkembang dan memperluas pengaruh. Prinsip-prinsip ini kemudian diterapkan dalam pendekatannya terhadap kebijakan ekonomi dan pengembangan bisnis.

Pendekatan Kepemimpinan: Otoritarianisme dan Sentralisasi Kekuasaan Donald Trump

Donald Trump dikenal dengan gaya kepemimpinan yang menonjolkan otoritarianisme dan sentralisasi kekuasaan, baik dalam karier bisnisnya maupun selama masa jabatannya sebagai Presiden Amerika Serikat. Pendekatan kepemimpinan Donald Trump selama masa kepresidenannya, dan dalam kariernya secara umum, sangat unik dan berbeda dari banyak pemimpin politik tradisional

Otoritarianisme

Trump dikenal karena lebih suka memegang kendali penuh atas proses pengambilan keputusan. Dalam banyak kasus, dia membuat keputusan besar tanpa konsultasi yang luas atau diskusi mendalam dengan penasihat atau stafnya. Misalnya, dia sering mengambil langkah-langkah kebijakan utama melalui perintah eksekutif, melewati proses legislatif yang lebih panjang dan kolaboratif.

Trump menuntut loyalitas pribadi dari orang-orang di sekitarnya, termasuk staf, anggota kabinet, dan bahkan anggota parlemen dari partainya sendiri. Mereka yang dianggap tidak loyal sering kali dikritik secara terbuka, dipecat, atau dikeluarkan dari lingkaran dalam. Loyalitas ini lebih diarahkan pada dirinya sebagai individu daripada pada institusi atau prinsip-prinsip tertentu.

Trump sering menggunakan retorika yang agresif dan konfrontatif untuk menyerang lawan politik dan pihak-pihak yang berbeda pendapat dengannya. Dia menggunakan media sosial, terutama Twitter, untuk langsung menyampaikan serangan pribadi dan kebijakan yang dia yakini. Gaya retorika ini bertujuan untuk mengkonsolidasikan dukungan dari basis pendukungnya dan melemahkan lawan-lawannya dengan menimbulkan rasa takut atau ketidakpercayaan terhadap mereka.

Selama masa kepresidenannya, Trump sering mengkritik lembaga-lembaga demokratik seperti media, peradilan, dan birokrasi pemerintahan yang dia anggap menentangnya. Dia menggambarkan media arus utama sebagai "musuh rakyat," menuduh hakim yang tidak setuju dengannya sebagai bias, dan mencoba mempengaruhi Departemen Kehakiman untuk kepentingan pribadi atau politiknya.

Sentralisasi Kekuasaan

Trump cenderung memusatkan kekuasaan di tangannya sendiri, dengan mengurangi peran dan otonomi pejabat tinggi lainnya. Misalnya, dia sering memecat atau mengganti pejabat tinggi, seperti Menteri Pertahanan, Menteri Luar Negeri, dan Penasihat Keamanan Nasional, yang tidak sepenuhnya sejalan dengan pandangannya. Hal ini menunjukkan ketidakpercayaan terhadap birokrasi yang lebih luas dan keinginan untuk memastikan hanya mereka yang sepemikiran yang memiliki pengaruh di sekitarnya.

Selama masa kepresidenannya, Trump secara luas menggunakan perintah eksekutif untuk melaksanakan kebijakan tanpa persetujuan legislatif, terutama dalam isu-isu kontroversial seperti imigrasi dan perdagangan. Ini mencerminkan pendekatan terpusat yang menekankan kemampuan presiden untuk bertindak secara cepat dan tegas, tanpa harus melalui negosiasi panjang dengan Kongres.

Trump lebih suka berurusan langsung dengan pemimpin dunia lainnya, sering kali membentuk hubungan pribadi yang kuat dengan mereka, seperti yang terlihat dalam hubungannya dengan pemimpin seperti Vladimir Putin dan Kim Jong-un. Pendekatan ini memungkinkan dia untuk memiliki kendali langsung atas kebijakan luar negeri dan menciptakan jalur komunikasi langsung yang terpusat pada dirinya.

Trump sering kali menunjukkan ketidakpuasan terhadap struktur pemerintahan federal yang ada, termasuk lembaga intelijen dan militer. Dia merasa bahwa banyak dari lembaga-lembaga ini bekerja melawannya atau tidak sesuai dengan visinya. Akibatnya, dia berusaha untuk merombak atau mengontrol lebih ketat lembaga-lembaga ini agar lebih sesuai dengan kebijakannya.

Dampak Pendekatan Otoritarianisme dan Sentralisasi Kekuasaan

Trump telah menyebabkan polarisasi politik yang tajam di Amerika Serikat. Pendekatannya yang konfrontatif dan sentralistik mengundang kecaman dari lawan politik dan sebagian publik yang menganggapnya mengancam prinsip-prinsip demokratik dan pluralisme.

Gaya kepemimpinan Trump telah merusak kepercayaan pada institusi-institusi penting seperti media, peradilan, dan lembaga pemerintahan. Serangannya yang terus-menerus terhadap lembaga-lembaga ini telah memperdalam ketidakpercayaan publik dan melemahkan legitimasi institusional.

Meskipun pendekatan ini kontroversial, gaya kepemimpinan Trump berhasil memperkuat basis pendukungnya yang melihatnya sebagai pemimpin kuat yang berani melawan status quo. Pendekatannya yang langsung dan tegas dianggap sebagai tanda kekuatan dan ketegasan dalam menghadapi tantangan domestik dan internasional.

Secara keseluruhan, kepemimpinan Trump yang otoriter dan terpusat mencerminkan kecenderungannya untuk memprioritaskan kendali langsung dan loyalitas pribadi. Pendekatan ini telah membentuk lanskap politik Amerika Serikat secara signifikan, dengan dampak yang masih terasa jauh setelah masa kepresidenannya berakhir.

Pengaruh Geopolitik dan Kebijakan Luar Negeri pada Gaya Kepemimpinan Donald Trump

Gaya kepemimpinan Donald Trump dalam kebijakan luar negeri sangat dipengaruhi oleh pandangan nasionalisnya, pendekatan transaksional, dan keinginannya untuk mereformasi dan menantang tatanan internasional yang ada.

  • Pendekatan "America First" (Amerika yang Utama),Slogan "America First" mencerminkan fokus Trump pada kepentingan nasional Amerika di atas aliansi tradisional atau komitmen multilateral. Ini berarti memprioritaskan pekerjaan, ekonomi, dan keamanan Amerika dalam setiap keputusan kebijakan luar negeri. Trump menarik Amerika Serikat dari beberapa perjanjian internasional yang dia anggap tidak menguntungkan, seperti Perjanjian Paris tentang perubahan iklim, kesepakatan nuklir Iran (JCPOA), dan Perjanjian Perdagangan Trans-Pasifik (TPP). Langkah-langkah ini menunjukkan penolakannya terhadap perjanjian multilateral yang menurutnya merugikan AS.
  • Pendekatan Transaksional dan Bisnis, Trump melihat kebijakan luar negeri sebagai serangkaian kesepakatan yang harus menguntungkan Amerika Serikat. Dia menekankan pentingnya menegosiasikan ulang perjanjian dagang seperti NAFTA, yang kemudian digantikan oleh USMCA (United States-Mexico-Canada Agreement). Kebijakan tarif yang keras terhadap China dan negara-negara lain adalah contoh dari pendekatan transaksionalnya. Trump percaya bahwa tarif dapat digunakan sebagai alat negosiasi untuk memaksa negara-negara lain membuat kesepakatan yang lebih menguntungkan AS.
  • Kritik terhadap Aliansi dan Organisasi Internasional, Trump sering mengkritik anggota NATO karena tidak membayar bagian yang adil untuk pertahanan kolektif, mendorong mereka untuk meningkatkan pengeluaran militer mereka. Ini mencerminkan keinginannya agar sekutu membagi beban pertahanan secara lebih merata. Trump memandang organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sebagai tidak adil bagi AS dan sering kali mengkritik mereka karena bias atau tidak efektif.
  • Pendekatan Konfrontatif terhadap China, Trump melancarkan perang dagang dengan China, memberlakukan tarif pada ratusan miliar dolar barang impor China dengan tujuan mengurangi defisit perdagangan AS dan memaksa China untuk mengubah praktik perdagangannya, termasuk masalah hak kekayaan intelektual. Trump juga mengambil sikap keras terhadap perusahaan teknologi China seperti Huawei dan TikTok, dengan alasan keamanan nasional. Ini mencerminkan keprihatinannya tentang dominasi teknologi dan pengaruh ekonomi China.
  • Hubungan Pribadi dengan Pemimpin Dunia, Trump lebih memilih diplomasi berbasis hubungan pribadi, sering kali mencoba membangun hubungan langsung dengan pemimpin dunia seperti Vladimir Putin (Rusia), Kim Jong-un (Korea Utara), dan Xi Jinping (China). Pendekatan ini mencerminkan gaya bisnis Trump yang lebih informal dan langsung.  Trump sering kali dikritik karena tampaknya lebih nyaman berurusan dengan pemimpin otoriter daripada dengan sekutu tradisional AS. Contohnya termasuk pujiannya terhadap pemimpin seperti Kim Jong-un dan Duterte (Filipina), yang dilihat sebagai pengabaian terhadap hak asasi manusia dan demokrasi.
  • Penekanan pada Kekuatan Militer dan Keamanan, Trump meningkatkan anggaran pertahanan AS dan menekankan pentingnya membangun dan mempertahankan kekuatan militer yang kuat. Ini sejalan dengan pandangannya bahwa kekuatan militer adalah komponen penting dari kebijakan luar negeri yang efektif. Trump sering menggunakan sanksi ekonomi sebagai alat kebijakan luar negeri, baik terhadap negara seperti Iran dan Venezuela maupun individu yang dianggap sebagai ancaman terhadap kepentingan AS.
  • Keputusan Tidak Konvensional, Trump mengambil langkah yang tidak konvensional dengan bertemu langsung dengan Kim Jong-un, pemimpin Korea Utara. Meskipun hasil konkrit dari pertemuan ini diperdebatkan, ini mencerminkan pendekatannya yang berani dan tidak ortodoks dalam menangani tantangan global. Trump membuat keputusan kontroversial untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan Kedutaan Besar AS ke sana. Langkah ini, meskipun disambut baik oleh Israel, memicu kritik internasional dan meningkatkan ketegangan di Timur Tengah.

Dampak Gaya Kepemimpinan Trump dalam Kebijakan Luar Negeri

Pendekatan Trump telah menantang tatanan internasional yang telah mapan, menciptakan ketidakpastian di antara sekutu dan lawan. Sifat tidak dapat diprediksi dari kebijakannya telah memaksa banyak negara untuk menyesuaikan kembali pendekatan mereka terhadap AS. Kepemimpinannya telah menyebabkan polarisasi dalam hubungan internasional, dengan beberapa negara menyambut pendekatan baru AS, sementara yang lain merasa terasing atau bahkan bermusuhan. Kebijakan luar negeri Trump yang berbasis pada prinsip "America First" telah menekankan pentingnya mempertahankan kepentingan nasional AS, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran tentang komitmen AS terhadap aliansi dan multilateralisme di masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun