Jangan melayani anak seperti bos. Anak-anak harus bisa mandiri dalam menjalankan atau mengerjakan sesuatu dan menjadi apa yang mereka inginkan. Ajak anak untuk ikut dalam mengambil keputusan, berdiskusi menentukan tempat dan lain sebagainya.
Isu Mental Health Jadi Pemicu Lahir Strawberry Generation
Tidak sependapat dengan Rhenald, salah seorang dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Negeri Surabaya dan sebagai Lembaga Penelitian dan Pengembangan Aisyiyyah (LPPA) Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jawa Timur, Putri Aisyiyah berpendapat bahwasanya tidak sepenuhnya generasi stroberi lahir dari pola asuh strawberry parents.Â
Melainkan, saat ini semakin tingginya literasi masyarakat terkait mental health sehingga menjadikan sikap permisif orang tua terhadap budaya verbal abuse atau physical abuse tersebut semakin tidak diterima dalam masyarakat kita. Oleh karena itu menjadikan adanya perbedaan cara pandang antar generasi terhadap budaya yang semakin cenderung mentolelir budaya 'kekerasan' tersebut.
"Contohnya saya sebagai generasi milineal dimana saya dibesarkan dengan cara yang keras. Misalnya masih sering kalau enggak ngerjain Pekerjaan Rumah (PR) dipukul pakai sapu lidi, dibentak, dan lain sebagainya. Namun, saat ini generasi milineal dituntut untuk menerapkan pola yang berbeda. Sekarang banyak orang dari internet yang membicarakan bagaimana cara mendidik anak, enggak boleh marah-marah, memaksa, memukul, verbal abuse, dan lain sebagainya sehingga menjadikan adanya gap atau perbedaan pandangan tentang generasi saat ini lebih lemah daripada generasi sebelumnya," jelas Putri.
Ditambah lagi, dengan kehadiran teknologi yang semakin memadai dimana saat ini semua orang dapat dengan mudahnya mencurahkan perasaan atau isi hatinya lewat media sosial yang dapat dilihat oleh semua orang. Kemudian, ada pihak lain yang akan saling memberikan support setelah membaca curhatan orang tersebut. Hal tersebut termasuk salah satu poin positif dari perkembangan teknologi. Dibandingkan dahulu seseorang hanya bisa menuangkan emosi dan perasaannya melalui buku diari dan hanya disimpan pribadi.Â
"Kalau dulu zaman saya hanya bisa meluapkan emosi dan perasaan lewat buku diari aja, tapi sekarang dengan adanya media sosial setiap orang memposting sesuatu tentang perasaannya bisa dilihat oleh semua orang. Jadi, generasi sekarang bisa jauh lebih berani untuk speak up," ujar Putri.
Di sisi lain, masih banyak generasi z yang menggunakan media sosial hanya sebagai ajang pamer, seperti outfit of the day (OOTD), tempat wisata healing, makan di restoran mahal, dan lainnya. Hal-hal tersebut menjadi pemicu generasi z untuk bisa mencapai standar kehidupan yang dianggap ideal. Maka dari itu, sebagai generasi z juga harus mempunyai kesadaran bahwa menjalankan segala sesuatu sesuai dengan kemampuan dan kebahagiaan diri sendiri jauh lebih penting daripada memenuhi standar ekspektasi yang dibentuk oleh masyarakat.
Reporter: Azwa Safrina  Â
Â
DAFTAR PUSTAKA