Dewasa ini banyak sekali sorotan dari media maupun publik yang membicarakan terkait generasi Z. Mulai dari karakter, keunikan, peran mereka bagi bangsa ke depan, hingga muncul berbagai pelabelan yang ditujukan kepada generasi Z. Salah satunya label 'strawberry generation'
Strawberry generation mulai dipopulerkan di Indonesia oleh seorang pendidik sebagai guru besar Ilmu Manajemen di Universitas Indonesia, praktisi bisnis, sekaligus penulis buku 'Strawberry Generation', Prof. Rhenald Kasali.Â
Beliau menyatakan bahwa istilah tersebut ditujukan pada sebagian generasi baru yang lunak seperti buah strawberry. Pemilihan buah strawberry untuk penyebutan generasi baru ini juga karena buah strawberry itu tampak indah dan eksotis, tetapi begitu dipijak atau ditekan ia akan mudah sekali hancur.
Menurut Prof. Rhenald Kasali dalam bukunya dan dalam salah satu kesempatan kuliah online melalui streaming youtubenya, strawberry generation adalah generasi yang penuh dengan gagasan kreatif, tetapi mudah menyerah dan gampang sakit hati. Definisi ini dapat kita lihat melalui laman-laman media sosial. Begitu banyak gagasan- gagasan kreatif yang dilahirkan oleh anak-anak muda, sekaligus pula juga tidak kalah banyak cuitan resah penggambaran suasana hati yang dirasakan oleh mereka.
Namun, apakah para generasi Z sendiri setuju bahwa mereka di cap sebagai strawberry generation?
Penulis berkesempatan untuk berbincang dengan salah satu gen Z bernama Keisha, seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi Universita Negeri Surabaya dan presenter TV Liputan 6 Jawa Timur sejak muda. Menurutnya munculnya terminologi gen Z sebagai strawberry generation tersebut pasti berasal dari suatu latar belakang tertentu. Tetapi, tidak bisa dipungkiri jika tekanan yang dihadapi generasi z saat ini juga sangatlah tinggi.
"Kita juga merupakan generasi yang pressure-nya tinggi banget. Mulai dari inflasi naik, ekspektasi hidup semakin besar, persaingan semakin tinggi, tapi dari yang aku lihat bahwasanya anak-anak gen z ini enggak menyerah untuk kehidupan mereka dan mereka juga enggak akan menghilangkan jati dirinya demi memenuhi hal-hal ekspektasi sosial," ujar Keisha.
Selain itu, hal lain yang membedakan generasi z dengan generasi lain di atasnya yakni adanya banyak opsi yang ditawarkan untuk generasi z. Jika generasi X terbiasa untuk lebih memprioritaskan orang lain dibandingkan dirinya, seperti segala sesuatu harus disesuaikan dengan kemampuan keluarga, tuntutan keluarga dan lain sebagainya sehingga menyebabkan mereka tidak memiliki opsi lain.
Berbeda dengan generasi z dimana mereka dapat menentukan nasib dan pilihan atas hidupnya sendiri. Maka dari itu, menurut Keisha dengan adanya istilah 'strawberry generation' tersebut secara tidak langsung memproyeksikan rasa iri atau keinginan generasi sebelumnya akan kemudahan dan keuntungan yang didapat oleh generasi z.
"Jadi mungkin itu berangkat dari lack of awareness, ketidakpahaman atau gap generasi karena setiap generasi pasti akan melakukan (komparasi atau mebandingkan) hal yang sama dan itu terbukti dalam society. Aku juga pernah baca di sebuah buku bahwa kita itu pasti akan punya misunderstanding sama generasi lain, salah satunya strawberry generation itu. Jadi enggak bisa digeneralisir kalau semua generasi z adalah strawberry generation," pungkas Keisha.