Mohon tunggu...
Azwar Abidin
Azwar Abidin Mohon Tunggu... Dosen - A humble, yet open-minded wordsmith.

Faculty Member at FTIK, State Islamic Institute of Kendari. Likes Reading, Drinks Coffee.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Argumentasi Tak Hanya Soal Bukti, Perlu Saling Memahami

8 Maret 2021   13:31 Diperbarui: 8 Maret 2021   13:57 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lisa-Blue / E+ via Getty Images 

Sebagai contoh, ketika dia mengajukan Argumen A di atas bahwa kualitas pendidikan di Indonesia sangat rendah karena SDMnya tidak dapat diandalkan. Ketika disajikan data tentang peningkatan SDM Indonesia maka dia akan mengelak dengan lari ke kategori lainnya seperti mengatakan bahwa jumlah pengangguran semakin meningkat.

Begitu ditunjukkan data jumlah pengangguran dengan instrumen tertentu yang tidak sesuai dengan simpulannya maka dia pun kembali mengelak dengan menyebutkan kategori lainnya. Begitu seterusnya. Dia hanya terpaku melakukan pembenaran dan terus mengelak untuk memperluas batasan dari pembahasan awal. Sebab semakin luas batasan dari suatu bahasan maka semakin sulit pula melihat konteksnya secara tepat. Begitu pun dengan tolok ukur yang mesti dirancang ulang untuk menyesuaikan.

Permainan argumentasi seperti ini hanya ingin membuyarkan fokus publik terhadap apa yang sebenarnya ingin dibahas dan diselesaikan. Pemberi argumen tidak berniat menyelesaikan bahasan pada satu kategori sebelum berpindah ke kategori lainnya karena hal itu akan menunjukkan ketidakcakapan dirinya dalam membangun struktur logis dari penalarannya.

Seperti kata Giovanni Tuzet bahwa ketiadaan bukti secara logis tidaklah sama dengan bukti akan ketiadaan (Absence of evidence isn't logically equivalent to evidence of absence). Maksudnya, tendensi pemberi argumen yang terus menerus meminta bukti yang tidak dapat ditunjukkan atau dihadirkan tidak dapat dipandang sebagai bukti baru bahwa apa yang dia minta memang tidak ada. Meski pada konteks ketiadaan barang bukti pada proses peradilan, seperti ungkap studinya, juga tidak dapat menjadi alasan pemberhentian tuntutan hukum.

Mari kita ilustrasikan:
Azwar terus mendesak saya untuk menunjukkan seperti apa wujud dari virus Corona. Saya tidak bisa memenuhi itu karena saya buka bukan ahli virus serta tidak punya instrumen untuk menunjukkan wujud dari virus Corona. Meskipun saya mempunyai instrumen, saya tidak memahami aplikasinya sebab saya tidak mengerti metodologi atau basis penalarannya.

Ketidakmampuan saya memenuhi permintaan Azwar kemudian dia jadikan sebagai bukti bahwa virus Corona itu tidak ada. Padahal, pembuktian saya tidak bisa dijadikan dasar karena bukan bidang keahlian saya. Keterbatasan itu tidak bisa begitu saja saya lampaui; butuh proses pendidikan dan penelitian yang panjang bagi saya untuk mendapatkan pengakuan keahlian di bidang itu.

Meski demikian, tidak berarti bahwa virus Corona tidak ada. Bukti (baik wujud, perilaku, hingga dampaknya) itu bisa ditunjukkan oleh mereka yang ahli di bidang itu. Saya akan meminta Azwar untuk mengalihkan tuntutan atas pembuktian virus Corona tersebut kepada mereka. Meski demikian, Azwar boleh menerima pembuktian mereka atau menolaknya, itu sepenuhnya menjadi tanggungjawab dia.

Debat: Olah Pikir Untuk Saling Memahami

Seperti yang disampaikan sebelumnya, agar adu argumentasi menjadi produktif maka kedua belah pihak mesti menyepakati kepada siapa tuntutan atas pembuktian itu ditujukan. Dengan catatan bahwa pihak manapun yang mendapatkan amanah itu perlu mengindahkan kaidah empiris dengan bersandar pada bukti yang dapat diverifikasi serta sedapat mungkin menjauhi bias pada simpulannya.

Kesepahaman tersebut tidak berhenti di tahap itu tetapi berlanjut hingga kebebasan setiap pihak untuk memilih keyakinan setelah pembuktian dilakukan. Apapun pilihannya, pihak yang satu mesti memahami dan menghargai pilihan pihak lainnya. Aturan yang sama juga berlaku kepada siapapun yang menyaksikan adu argumentasi dari kedua belah pihak tersebut.

Tanpa adanya kesepakatan basis penalaran dan kesepahaman, masing-masing pihak hanya akan saling melempar tuntutan untuk membuktikan simpulannya. Bahkan dengan hadirnya pakar di pihak ketiga sebagai penengah, setiap pihak akan bertahan dengan penalarannya sendiri. Pada tataran ini, tuntutan atas pembuktian hanya berfungsi sebagai pengalihan sebab tak satu pun pihak berorientasi menyelesaikan masalah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun