Mohon tunggu...
Azwar Abidin
Azwar Abidin Mohon Tunggu... Dosen - A humble, yet open-minded wordsmith.

Faculty Member at FTIK, State Islamic Institute of Kendari. Likes Reading, Drinks Coffee.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kecerdasan Bukan Jaminan untuk Tidak Melakukan Tindakan Ceroboh nan Konyol, Berikut Ulasannya

13 Mei 2020   22:19 Diperbarui: 13 Mei 2020   22:51 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hidup terlampau kompleks untuk dihadapi hanya berbekal kecerdasan (credit: Shutterstocks)

Lebih lanjut, Matthew Fisher dari Universitas Yale melebarkan studi tersebut ke beberapa lulusan sarjana dari berbagai bidang ilmu dengan menguji mereka terlebih dahulu dalam penguasaan materi-materi dasar disiplin ilmu masing-masing. Setelah itu, mereka diminta mengomentari topik atau isu yang bukan merupakan bidang kajian ilmu mereka. Hasilnya, seperti yang disebut oleh warga +62, penjelasan yang muncul berdasarkan "cocoklogi".

Fisher menduga bahwa sistem pendidikan tidak membekali sarjana tersebut dengan topik bahasan yang bisa diaplikasikan sesuai bidang keahlian yang dituju sehingga mereka lupa batasan-batasan kajian mereka sendiri dan membuat penjelasan-penjelasan terhadap fenomena sehari-hari berdasarkan ingatan semu. Cocoklogi dan kepercayaan diri yang terlalu tinggi ini lah yang sering menyulut tindakan-tindakan konyol.

Parahnya, kebanggaan terhadap disiplin ilmu tertentu membuat mereka menutup diri dari penjelasan-penjelasan  dari disiplin ilmu lain yang mungkin lebih memadai. Akibatnya bisa ditebak: debat kusir yang menyulut perundungan dan keributan tidak perlu namun tidak menyelesaikan apa-apa. Padahal sangat mustahil memahami fenomena yang muncul pada saat ini tanpa pendekatan interdisipliner.

Hal ini bisa merusak progres perkembangan suatu bangsa jika orang-orang seperti itu menduduki kekuasaan dan merumuskan kebijakan. Ada semacam kepercayaan diri yang membuat mereka terlalu percaya diri dengan menganggap kepakaran dan keahlian mereka bisa menyelesaikan berbagai hal dan menutup diri terhadap informasi baru.

Bayangkan saja jika seorang politisi dengan latar belakang sarjana ekonomi di mana doktrin ekonomi yang ia kuasai sudah usang sedangkan dia sendiri tidak mau membuka diri terhadap informasi baru. Kombinasi warisan dogma apalagi dibumbui oleh Dysrationalia dan Bias Penalaran Berpihak akan menghasilkan tokoh politik atau pejabat publik yang bisanya hanya bikin rusuh dan membuat kepanikan massal.

Jangan heran bila beberapa nama besar yang dikenal luas sebagai orang cerdas dan pakar di bidangnya justru memiliki pandangan jumud dan ketinggalan zaman. Tak pelak, apa yang mereka yakini dipandang sebagai sesuatu yang konyol. Sebut saja pemenang Nobel seperti Kary Mullis yang meragukan isu pemanasan global dan menganggap AIDS itu hoaks atau James Watson yang masih percaya bahwa tingkat intelektual seseorang ditentukan oleh ras dan warna kulitnya.

Mereka berdua adalah ahli yang temuannya punya pengaruh besar terhadap kehidupan kita saat ini. Sayangnya mereka masih memegang nilai-nilai yang sudah usang dimakan zaman. Meski demikian, mereka lah yang membuat teori konspirasi masih memiliki basis penggemar sebab nama besar  dan gelar mereka digunakan untuk menjustifikasi isu-isu tertentu yang pada hakikatnya tidak berdasar.

Tetap Belajar dan Terus Waspada
Reputasi dan gelar bukanlah jaminan bagi seseorang untuk memastikan keputusan yang diambilnya terbebas dari bias. Kecerdasan, meski merupakan kompetensi dasar untuk bertahan hidup, tidak melulu berkorelasi dengan kebaikan seseorang. Manusia, apapun statusnya, tidak akan luput dari bias sebab pikiran dan jangkauan pandangan kita sangatlah terbatas.

Meski demikian, kecerdasan merupakan langkah awal untuk menuntun diri lebih terbuka terhadap beragam informasi dan menimbang sesuatu dari berbagai sisi. Kecerdasan mestinya membebaskan diri kita dari kungkungan doktrin dan tetap waspada untuk tidak membiarkan diri melakukan hal-hal yang tidak sepatutnya. Sudah saatnya kita menyinkronkan kecerdasan dengan emosi agar salah satunya tidak mendominasi.

Bias-bias tadi sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan diri. Bias imunitas diri, sebagai contoh, kondisi di mana kita lebih bijak memberi nasihat ke orang lain daripada ke diri sendiri diakali melalui "self-distancing". Menurut Igor Grossmann dari Universitas Waterloo di Kanada teknik itu dengan menganggap diri ini adalah orang lain yang membutuhkan masukan dan nasihat dari kita.

Cara ini, menurut Igor, akan meminimalisasi bias yang menganggap diri imun dari segala bentuk kesalahan. Selain itu, sering bertukar pikiran dengan diri sendiri melatih kita untuk memikirkan dengan matang apa yang perlu diucapkan atau dilakukan. Sehingga akan terbayang konsekuensi yang potensial kita hadapi agar kita tidak harus menjilat ludah sendiri karena semberono dalam pengambilan keputusan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun