Mohon tunggu...
Azwar Abidin
Azwar Abidin Mohon Tunggu... Dosen - A humble, yet open-minded wordsmith.

Faculty Member at FTIK, State Islamic Institute of Kendari. Likes Reading, Drinks Coffee.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kecerdasan Bukan Jaminan untuk Tidak Melakukan Tindakan Ceroboh nan Konyol, Berikut Ulasannya

13 Mei 2020   22:19 Diperbarui: 13 Mei 2020   22:51 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hidup terlampau kompleks untuk dihadapi hanya berbekal kecerdasan (credit: Shutterstocks)

Terlebih, sesat pikir itu didukung oleh bias visual yang ditampilkan oleh kemasan SKM. Visualisasinya didominasi gambar anak dengan tumbuh kembang sehat bersama segelas susu seakan memberi pesan bahwa mengonsumsi produk SKM itu akan membuat anak tumbuh sehat. Padahal, produk SKM tidak disarankan untuk anak di bawah lima tahun.

Uniknya, sesat pikir seperti itu justru didemonstrasikan oleh mereka yang punya latar belakang akademik mumpuni. Simpulan ini ditegaskan oleh studi yang dilakukan oleh Wndi Bruine de Bruin dari Universitas Leeds, Inggris. Menurutnya, kecenderungan itu disebabkan oleh ketergantungan terhadap pola pikir intuitif ketimbang berpikir kritis.

Orang cerdas terbiasa dengan pola pikir abstrak yang sifatnya intuitif. Akibatnya, kendali terhadap pola pikir rasional menjadi rendah dan membiarkan perasaan mereka menguasai proses pengambilan keputusan. Analoginya, orang cerdas itu mudah terperdaya oleh sekumpulan label serta informasi yang disematkan pada sebuah produk daripada menimbang komposisi dari bahan bakunya.

Demikian pula terhadap individu lain. Mereka cenderung melihat titel dan reputasi orang lain daripada memperhatikan proses serta dampak dari kebijakan yang mereka ambil. Ada kecenderungan menyamakan kondisi diri dengan kondisi orang lain dengan menganggap bahwa jikalau dirinya berada di posisi tersebut pasti akan melakukan hal yang sama sehingga intuisi itu menjustifikasi pandangannya.

Nah, kecenderungan itu ternyata berimbas pada bias lainnya. Keith Stanovich dari Universitas Toronto, seorang pakar kajian kognitif, menyimpulkan bahwa orang cerdas terlampau percaya diri dengan meyakini bahwa mereka tidak mungkin akan terjemurus pada bias seperti yang disebutkan tadi. Kondisi yang diistilahkan dengan Blind Spot Bias ini membuat orang cerdas berpikir bahwa mereka tidak mungkin salah dan menganggap keputusannya adalah yang paling benar.

Paradoks Imunitas Diri
Kepercayaan diri yang melampaui batas hingga menganggap diri tidak mungkin salah membuat seseorang menutup mata terhadap fatalnya akibat yang ditimbulkannya. Anehnya, hal itu sebenarnya ia sadari sepenuhnya. Namun ego dan bias pandangannya membuat ia melihat akibat buruk tersebut sebagai akibat yang baik. Bahkan, ketika sudah terlanjur dan berlarut, ia malah berargumen bahwa kerusakan yang ia timbulkan untuk mendatangkan maslahat yang lebih besar (necessary evil).

Kecenderungan menimpakan kesalahan pada diri orang lain ketimbang mengakui keterbatasan diri bisa ditelusur jauh ke belakang pada kisah-kisah nubuat yang mengajarkan kita bahwa reputasi bukanlah segalanya. Sebagai contoh Nabi Daud AS, juga diceritakan dalam Al-Quran (Shod: 21-25), bahwa suatu ketika Sang Nabi yang juga Raja itu diminta untuk memutuskan perkara sengketa.

Pria yang mengeluh kepada Nabi Daud AS bertutur bahwa pria yang menjadi lawan sengketanya berupaya merampas seekor kambing miliknya satu-satunya. Padahal, pria itu sudah punya sembilan puluh sembilan ekor kambing. Cukup mudah bagi Nabi Daud AS memutuskan perkaranya dengan meminta pria yang berniat merampas tadi untuk melupakan seekor kambing milik pria satunya karena ia sudah punya lebih dari cukup.

Namun seketika beliau sadar diri, dari peristiwa itu, bahwa apa yang ditunjukkan di hadapannya merupakan teguran langsung dari Tuhan. Beliau sendiri sebelumnya memaksa seorang wanita untuk ia persunting dengan memanfaatkan kekuasaannya. Padahal, wanita itu sudah bersuami. Ternyata, dua pria yang bersengketa tadi adalah dua malaikat yang ditugaskan untuk menyadarkan sang Nabi.

Bias seperti itu sangat sering kita temui. Orang yang menggunakan kekuasaan yang dimilikinya, termasuk kecerdasannya, untuk menguasai orang lain. Paradoks imunitas diri secara komprehensif pernah dikaji pula oleh Igor Grossmann, pakar kajian psikologi dari Universitas Waterloo Kanada, yang menyimpulkan bahwa orang cerdas cenderung lebih bijak terhadap masalah orang lain.

Ketika diminta untuk menengahi atau memutuskan perkara yang tidak menyangkut dirinya sendiri, mereka cenderung bijak dan lebih mampu menimbang banyak sisi. Namun ketika diminta untuk memutuskan sesuatu atau mengatasi masalah terkait diri pribadinya, mereka cenderung mengelak mengakui kekurangan diri sehingga keputusan yang dihasilkannya menjadi kontradiktif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun