Mohon tunggu...
Azwar Abidin
Azwar Abidin Mohon Tunggu... Dosen - A humble, yet open-minded wordsmith.

Faculty Member at FTIK, State Islamic Institute of Kendari. Likes Reading, Drinks Coffee.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kecerdasan Bukan Jaminan untuk Tidak Melakukan Tindakan Ceroboh nan Konyol, Berikut Ulasannya

13 Mei 2020   22:19 Diperbarui: 13 Mei 2020   22:51 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hidup terlampau kompleks untuk dihadapi hanya berbekal kecerdasan (credit: Shutterstocks)

Mungkin itu menjelaskan mengapa kaum jomblo justru lebih piawai memberi tips menggaet pasangan tapi dia sendiri tak kunjung punya pasangan. Demikian pula penasehat pernikahan yang justru terjebak kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, atau poligami. Atau mungkin motivator spiritual, Ustadz muda lewat seminar religiusnya, justru dipidanakan atas tuduhan pelecehan seksual terhadap korbannya?

Sampai saat ini, hipotesis-hipotesis tadi lah yang mampu memberi kita penjelasan terhadap kasus-kasus bias seperti yang disebutkan sebelumnya. Tentu banyak sisi yang juga luput dari perhatian atau perlu pendalaman kajian yang lebih serius. Kalau pembaca sekalian jeli mengamati struktur  argumen tulisan ini, bias-bias yang disebutkan juga secara terang-terangan ditampilkan.

Artinya, dengan argumen yang ditunjukkan serta beberapa kasus dan bahan kontemplasi yang disajikan, tulisan ini juga rentan terhadap bias yang coba dijelaskannya. Pembaca yang baik tentu menyadari bahwa selalu ada narasi yang luput dari sebuah monolog. Apalagi jika ditimbang melalui paradoks imunitas diri yang baru saja kita bahas. Semua itu untuk mengantisipasi bias kognitif berikutnya.

Bias Penalaran Berpihak
Mengapa teori konspirasi, betapa pun banyaknya bukti ilmiah atau data lapangan yang menolaknya, tetap saja punya pendukung garis keras yang membela semua argumennya? Mengapa pula sesat pikir dan kekonyolan, meski secara jelas berimbas buruk pada orang lain, kita toleransi atas dasar simpati pada pelakunya? Menurut Dan Kahan dari Universitas Yale, itu karena kita memihak pada satu sisi terlebih dahulu sebelum melakukan penalaran.

Keberpihakan bisa mempengaruhi pandangan seseorang bahkan ketika pandangan itu bertolak-belakang dengan akal sehatnya sendiri. Taruhlah ketika seseorang melakukan perundungan kepada orang lain yang berasal dari golongan tertentu kita tahu bahwa apa yang dilakukannya itu salah dan mesti dihentikan. Namun perundungan itu membuat golongan kita menguat eksistensinya sehingga kita menjustifikasi perlakuan itu dengan berbagai argumen yang sebenarnya mengada-ada.

Secara psikologis, manusia butuh indentitasnya diakui. Merasa bagian dari golongan atau komunitas tertentu merupakan salah satu kebutuhan dasar yang mesti dipenuhi. Sehingga menyatakan opini yang tidak populer atau berseberangan dengan apa yang diyakini golongan/komunitas sendiri merupakan ancaman terhadap eksistensi diri. Pada dasarnya, kita sebagai manusia takut dikucilkan.

Bias ini tidak terbatas pada pilihan individual atau partisipasi dalam proses sosial seperti yang melibatkan isu politis atau isu global. Hal ini juga sangat umum di kalangan masyarakat akademik. Pakar di bidang ilmu atau kajian tertentu terkadang menganggap pakar di bidang ilmu atau kajian lainnya belum mapan baik tradisi maupun metodenya. Bias intelektual ini masih umum kita temui.

Bahkan terkadang menganggap disiplin ilmu atau kajiannya berlaku secara umum. Sehingga metode atau teknik argumentasinya dapat diaplikasikan ke basis logika atau penalaran bidang ilmu/ kajian lainnya. Metode argumentasinya memaksakan adanya hirarki terhadap bangunan disiplin ilmu kepada para penyimak ketimbang menguraikan penalarannya dengan rinci agar lebih mudah dipahami.

Sentimen ini dapat disaksikan secara jelas dan terbuka terhadap kajian-kajian yang melibatkan objek metafisis atau supernatural. Ketidakmapanan tradisi atau tidak memadainya instrumen riset terhadap objek-objek metafisis maupun supernatural sering mengundang cibiran dari golongan pakar bidang ilmu lainnya. Padahal, fenomena yang dibahasnya jelas berdampak pada perilaku individu hingga sosial budaya suatu masyarakat.

Warisan Dogmatisme
Bias penalaran yang membuat orang-orang cerdas menunjukkan perilaku-perilaku konyol seperti yang disunggung pada bahasan sebelumnya juga berasal dari warisan dogmatis disiplin ilmu atau kajian yang ditekuninya. Warisan ini pula lah yang bertanggungjawab melahirkan kecongkakan pada diri sang cendekiawan. Sehingga mereka punya tendensi untuk melebih-lebihkan kepakaran dan keahlian yang dimilikinya.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Nate Kornell dari Williams College, Massachusetts mengonfirmasi simpulan ini. Dalam studi tersebut, beberapa kelompok yang terdiri dari pakar matematika, pakar sejarah, dan atlet berprestasi diminta untuk mengenali figur-figur terkenal dari bidang-bidang tersebut. Hasilnya, mereka hanya mengenali figur yang berasal dari disiplin mereka sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun