Diakui atau tidak, masyarakat memahami konsep diskriminasi layaknya memahami konsep terorisme. Jika sikap militansi dari sebuah ideologi yang tidak direstui dilabeli terorisme maka sikap yang tidak mempertimbangkan kepentingan suatu pihak dilabeli diskriminasi. Namun, label diskriminasi terkadang dipahami serampangan sehingga rentan disalahartikan dan memicu pertengkaran yang tidak perlu.
Menerapkan perlakuan berbeda terhadap suatu golongan dan kelompok tertentu atau mengecewakan mereka bukanlah suatu tindakan diskriminatif. Memberikan libur untuk istirahat pada pegawai perempuan karena desakan biologis seperti haid atau hamil tentu tidak dapat dianggap sebagai bentuk diskriminasi terhadap pegawai laki-laki. Masalah pokok diskriminasi adalah ketidakadilan.
Ketidakadilan ini diukur dari perlakuan berbeda yang diterima seseorang hanya karena ia berasal dari golongan atau kelompok tertentu. Seperti memberi upah pegawai perempuan lebih murah atas anggapan bahwa perempuan tidak seulet dan seproduktif pegawai laki-laki. Tindakan itu menyiratkan sebuah ketidakadilan yang menempatkan posisi perempuan yang tidak setara dengan posisi laki-laki.
Sengaja merugikan seseorang tanpa memberi kesempatan untuk unjuk diri atas dasar prasangka merupakan bentuk perlakuan diskriminatif yang paling jelas. Hal ini tentu menyangkut persoalan moral. Setiap orang mesti diperlakukan setara tanpa memandang latar belakang atau golongannya. Itu merupakan nilai paling mendasar dari moralitas. Nilai ini pula yang menjadi ukuran bagi sebuah perlakuan bisa disebut diskriminatif atau tidak.
Ukuran lain pun bisa menjadi pertimbangan bila menyangkut persoalan tertentu. Pegawai mesti dipensiunkan pada usia lanjut, surat izin mengemudi mensyaratkan usia 18 tahun ke atas, hingga pasangan dibolehkan menikah ketika beberapa syarat mereka penuhi merupakan perlakuan yang mungkin tidak menguntungkan pihak-pihak tertentu tapi tidak serta merta disebut diskriminatif.
Ada pertimbangan-pertimbangan tertentu yang melatarbelakangi perlakuan tersebut yang dapat diterima lewat penjelasan logis. Terkadang pertimbangan itu juga menyangkut konsep moral yang dianut. Usia lanjut untuk istirahat dari rutinitas kerja, kedewasaan yang dimulai pada usia tertentu secara umum, dan institusi pernikahan yang dianggap sakral merupakan alasan yang dimaklumi oleh komunitas atau masyarakat di lingkungan tertentu.
Lalu Bagaimana Mengukur Suatu Perlakuan Diskriminatif?
Usia renta tidak mesti tidak produktif demikian pula remaja belum tentu tidak mampu bersikap dewasa. Namun umumnya yang kita temui adalah sebaliknya. Jadi hanya masalah kemungkinan. Sebab untuk menguji kedewasaan setiap remaja tidaklah mudah maka membatasi mereka dalam beberapa hal karena usia merujuk pada hasil-hasil studi yang  melibatkan sebagian mereka bisa diterima.
Salah satu aspek yang menjadi ukuran adalah relevansi. Aspek ini menghubungkan sebuah perlakuan dengan alasan yang melandasinya. Melarang anak dan remaja mengendarai motor karena alasan usia bisa diterima karena pertimbangan kematangan dianggap relevan dengan pelarangan tersebut. Lain halnya jika seseorang ditolak bekerja pada sebuah instansi karena warna kulit mereka. Sebab warna kulit tidak ada sangkut pautnya dengan kemampuan bekerja.
Selain warna kulit, agama, ras, gender, suku, asal daerah, dan beberapa hal lainnya yang bersifat personal dipahami secara umum tidak memiliki relevansi yang kuat ketika dihubungkan dengan proses sosialisasi hingga kemampuan profesional. Merugikan suatu kelompok masyarakat tanpa relevansi yang kuat merupakan perilaku diskriminatif. Namun, bagaimana kita meyakini suatu alasan itu tidak relevan?
Bagi komunitas rasis, warna kulit merupakan alasan yang sangat relevan. Demikian pula bagi kalangan konservatif dan fundamentalis, peran dan perilaku mesti dibedakan menurut, sebagai contoh, jenis kelamin. Sehingga dari sudut pandang moral, diskriminasi masih menyisakan polemik. Diskriminasi umumnya dialamatkan untuk karakteristik yang tidak dapat atau sulit diubah. Padahal, alasannya justru melampaui kondisi tersebut.
Taruhlah jika seseorang mengganti jenis kelamin dan publik tahu akan hal itu, apakah diskriminasi terhadapnya akan berhenti? Dalam banyak kasus, justru kondisi itu hanya akan mengganti alasan dan bukan perilaku diskriminatifnya. Bukankah yang dihargai itu adalah manusianya bukan fitur yang melekat padanya? Artinya, apapun kategorinya, baik jenis kelamin, agama, atau orientasi seksual tertentu, mereka tetap dihargai sebagai manusia.
Basis argumen anti-diskriminasi adalah kemanusiaan. Setiap manusia berbagi rasa kemanusiaan yang sama sehingga setiap dari manusia itu mesti diperlakukan sama. Pelaku diskriminasi pun sepakat dengan basis argumen ini. Hingga karakteristik yang melibatkan gender, agama, hingga ras menjadi atribut pada seseorang melahirkan perilaku diskriminatif.
Bahkan, pelaku diskriminasi tidak menyasar atribut tersebut secara langsung. Artinya, mereka tidak secara langsung menjadikan warna kulit, agama, jenis kelamin atau yang lainnya sebagai alasan untuk mendiskriminasi seseorang atau kelompok tertentu. Justru atribut itu dilekatkan pada stereotipe yang dibangun secara khusus untuk menjustifikasi relevansi dari alasan yang mereka gunakan.
Sebagai contoh, kulit hitam diidentikkan dengan ras budak, penganut agama tertentu dianggap radikal, atau jenis kelamin perempuan dipandang lemah dan inferior dari laki-laki. Alasan-alasan itu yang dijadikan sebagai pembenaran dari perilaku diskriminatif mereka. Sehingga mereka lebih leluasa meyakini apa yang perbuat itu benar dan mendorong masyarakat untuk melakukan hal yang sama.
Kepercayaan itu begitu kuat sehingga pelaku diskriminasi sama sekali tidak merasa bersalah atas apa yang mereka lakukan. Bahkan mereka menganggap kelompok yang mendapat perlakuan diskriminasi pantas diperlakulan demikian karena asosiasi, yang sebetulnya hanya delusi, kualitas negatif yang disematkan secara serampangan pada atribut kelompok masyarakat tertentu.
Sulit untuk meyakinkan pelaku diskriminasi yang memiliki pandangan kuat seperti tadi. Sebab mereka akan beralasan bahwa hal yang mereka lakukan adalah lumrah. Membatasi perempuan karena alasan kelemahan atau keterbatasan mereka dianggap sama saja seperti ketika melarang anak atau remaja mengendarai sepeda motor karena alasan ketidakdewasaan.
Justifikasi perilaku diskriminatif melalui relevansi praduga tertentu memang problematis. Sebab pengujian terhadap pernyataan pada kedua kasus yang sepertinya setaraf itu juga sama. Jika untuk membuktikan anak dan remaja memang tidak layak berkendara dengan menguji mereka seluruhnya maka pengujian yang sama diperlukan terhadap semua perempuan untuk membuktikan bahwa apa yang dituduhkan tidaklah benar.
Menentukan Perilaku Diskriminatif Secara Tepat
Pelaku diskriminasi akan menyebutkan satu per satu kasus yang mendukung basis argumennya untuk meyakinkan orang-orang bahwa stereotipe dari korban diskriminasinya memang benar adanya. Dia akan menyebutkan seluruh tindakan kriminal yang dilakukan oleh orang berkulit hitam dengan mengabaikan fakta bahwa kejahatan yang sama juga dilakukan oleh kelompok masyarakat lainnya.
Bisa dikatakan bahwa pelaku diskriminasi sebenarnya tidak paham betul perilaku diskriminatifnya. Sebab ia merugikan kelompok masyarakat yang ia diskriminasi dengan menutup mata terhadap fakta-fakta pendukung alasan yang ia sebutkan. Ia melakukan itu dengan sadar dan sengaja saat ia sendiri tidak yakin dengan alasan di balik perilakunya. Ia hanya berlindung di balik pembenaran dan bukan fakta yang benar.
Tidak ada relevansi yang kuat antara perilaku diskriminatifnya dengan alasan di baliknya sehingga korban diskriminasi layak dibela dari tuduhan dan perlakuan serampangan itu. Ini yang membuat perilaku diskriminatif menjadi salah dan tidak bisa dibenarkan. Tuduhan yang dilandaskan pada stereotipe tidak bisa menjadi landasan argumen karena fakta yang diajukannya tidak bisa dibuktikan dengan akurat.
Kasus pelarangan berkendara bagi anak dan remaja dengan kasus pelecehan seksual bagi perempuan di ruang publik tidak bisa dianggap setara. Ada perbedaan mendasar dari bangunan argumen keduanya yakni batasan dan ukuran moralitas. Kita bisa dengan santai mengatakan bahwa izin berkendara bagi anak dan remaja akan berujung kecelakaan dan korban jiwa.
Tidak demikian dengan pelecehan seksual. Tentu membolehkan pelecehan bagi perempuan di ruang publik hanya karena pakaian atau dandanan mereka tidak bisa dinyatakan dengan seenaknya. Ada norma-norma tertentu yang menghalangi kita mengeluarkan pernyataan seperti itu secara terbuka. Ini yang membuat akurasi informasi, terutama terhadap kelompok masyarakat tertentu, penting untuk diulas dan terus diulas sebelum dijadikan fakta landasan argumen pembenaran.
Sekarang kita mesti menanyakan, bisakah hal-hal tadi dapat dipastikan secara akurat? Jika iya, siapkah kita menerima kemungkinan kondisi yang berbeda? Dalam artian bahwa jika, taruhlah ternyata bukan pakaian atau dandanan perempuan yang menjadi alasan orang mendiskriminasi perempuan lewat pelecehan, apakah kita semua bersedia menghentikan perilaku diskriminatif akibat salah paham itu?
Soalannya adalah, tidak mudah meyakinkan pelaku diskriminatif atas kesesatan pikir mereka. Meski sudah dikoreksi melalui fakta dan argumentasi, mereka masih tak merasa bersalah. Padahal, mereka sendiri mengaku melakukannya atas alasan rasional. Sehingga mereka tidak perlu dihadapi dengan argumentasi. Sebab yang pantas mereka dapatkan adalah sanksi moral.
Bagaimanapun, perilaku diskriminatif itu berkaitan dengan isu moral. Membangun dan mempertahankan suatu kepercayaan pada akhirnya akan berdampak pada orang lain. Selain sesat pikir, mengingkari fakta dan argumen yang solid dan lebih memilih pembenaran yang mengada-ngada juga menandakan suatu ketimpangan moral.
Jika saya membenci seseorang karena ia berasal dari kelompok tertentu, merasa jijik, atau malah takut tentunya emosi itu harus punya korelasi dengan kepercayaan yang saya anut. Saya tentu merasa orang yang saya benci bisa membahayakan diri dan kepercayaan saya. Sehingga untuk apa saya mengabaikan emosi yang menurut saya layak untuk diekspresikan?
Okelah, emosi itu masalah privat yang tentu menjadi hak masing-masing orang. Namun ekspresi emosi yang menyasar orang lain tentu lain masalah. Merugikan orang lain hanya karena kita berbagi kepercayaan yang sama dengan mayoritas dan berlindung di balik dukungan sesama penganut kepercayaan itu merupakan tindakan tercela karena cenderung mengabaikan alasan logis yang melandasinya.
Tentu pelaku diskriminasi akan kembali mengajukan skenario pamungkasnya: bagaimana jika diskriminasi itu didukung data dan fakta yang ada? Sebut saja perempuan dinilai tidak produktif karena terlalu banyak cuti, entah cuti bersalin atau cuti menstruasi, mantan pencandu narkoba lebih rentan kembali ke dunia lamanya, dan komunitas punk cenderung berbuat onar. Kasus-kasus tersebut memang didukung data statistik pada suatu daerah. Nah, apakah dengan demikian diskriminasi bisa dibenarkan?
Tentu tidak! Bukankah data dan fakta itu disajikan memang dalam rangka membangun sebuah stereotipe untuk kalangan tertentu? Benar jika perempuan secara biologis punya konsekuensi cuti lebih lama ketibang laki-laki namun apakah itu merupakan jaminan semua perempuan tidak produktif? Bukankah banyak perempuan yang mampu menyelesaikan pekerjaan mereka dengan lebih kreatif, lebih baik, dan malah punya prestasi kerja yang membanggakan?
Apakah semua mantan pencandu sudah tidak punya harapan sehingga mesti diisolasi dari pergaulan sosial dan dunia kerja? Bagaimana jika beberapa anggota komunitas punk justru punya kontribusi yang lebih besar terhadap kebersihan lingkungan dan lebih menginspirasi suatu amal jariyah sosial? Apakah kita akan mengabaikan kemungkinan-kemungkinan itu dan percaya begitu saja pada data dan fakta yang disajikan?
Jika kita masih saja mendiskriminasi individu hanya karena ia berasal dari kelompok yang, secara statistik, memang benar seperti yang dituduhkan dengan tidak mengindahkan pengecualian bagi individu yang mungkin saja tidak mengikuti tren kelompoknya maka perlakuan diskriminatif kita terhadap individu itu tetap tidak bisa dibenarkan. Individu itu tidak perlu menanggung dosa dari kejahatan yang dilakukan atas nama kelompoknya.
Pilih Kasih atau Diskriminasi?
Membeda-bedakan perlakuan terhadap orang lain tidak melulu bersifat diskriminatif. Terkadang, berdasarkan pertimbangan tertentu, beberapa orang mendapat perlakuan berbeda dari yang lainnya. Lebih supel dengan keturunan Tionghoa, misalnya, tidak berarti pilih kasih atau tidak mendahulukan teman-teman lainnya. Hal itu dilakukan agar kawan kita dari etnis Tionghoa ini merasa diterima dengan baik oleh masyarakatnya.
Sama halnya dengan menentukan prioritas, perlakuan mendahulukan seseorang ketimbang yang lainnya lebih memperhatikan kebutuhan bukannya afiliasinya dengan kelompok tertentu. Memberikan ruang prioritas terhadap perempuan di fasilitas publik bukan karena stereotipe tertentu tapi data menyebutkan mereka rentan mengalami pelecehan.
Preservasi lingkungan dan hutan lebih diutamakan ketimbang pembangunan infrastruktur tidak berarti kita tidak pro dengan pembangunan namun lebih kepada menjaga sumber makanan dan kebutuhan hidup kita sendiri. Iya, diskriminasi tidak hanya menyasar dinamika manusia namun juga dinamika struktur serta lembaga yang melingkupi interaksi manusia.
Simpulannya, tidak semua perlakuan berbeda dapat disebut diskriminatif. Diskriminasi mengandaikan perlakuan berbeda yang disebabkan oleh informasi yang tidak faktual atau benar yang diterima mengenai kelompok atau konsep tertentu. Perlakuan berbeda lainnya bisa diterapkan untuk menutupi kebutuhan tertentu seperti menyatakan dukungan atau menegaskan sikap terhadap fenomena tertentu.
Mengenali perlakuan berbeda ini sesuai dengan maksud yang melandasinya sangat krusial. Sebab kita cenderung merujuk pada suatu pola yang pernah dikenali sebelumnya. Taruhlah seperti stereotipe yang memang betul akurat dan stereotipe ini dimulai dari anggapan tentang kelompok tertentu. Bisa dikatakan bahwa apa yang ditakutkan betul menjadi kenyataan. Nah, ini bisa menjadi polemik berkepanjangan.
Sebagai contoh para imigran yang masuk ke suatu negeri untuk mencari suaka. Mereka dianggap akan menimbulkan masalah baru dan ditakutkan akan meningkatkan angka kriminalitas di kelompok mereka sendiri. Taruhlah hal itu memang terjadi seperti yang dikhawatirkan. Penyebabnya sebut saja kemiskinan dan bertahan hidup. Data itu akan menggiring opini masyarakat untuk mendiskreditkan seluruh imigran secara rata tanpa menimbang kondisi mereka.
Penyesatan informasi seperti itu bukan hanya disebabkan oleh praduga berlebihan yang tidak mengindahkan fakta. Terkadang, hal seperti itu juga disebabkan oleh salah tafsir terhadap teks-teks tertentu. Kasus yang melibatkan hal itu biasanya ditemui di kalangan konservatif atau fundamentalis. Uniknya, diskriminasi itu tidak didasarkan pada fakta empiris seperti pada kasus imigran tadi namun didasarkan pada tafsir terhadap hukum tertentu.
Seperti mengatur bagaimana perempuan berpakaian yang tertutup dan terisolasi dari laki-laki bukan mahram sepenuhnya yang didasarkan oleh tafsir terhadap teks suci namun menyangsikan fakta empiris bahwa pelecehan fisik dan catcalling juga dialami oleh perempuan berhijab juga marak terjadi. Pertentangan antara tafsir hukum dan data empiris juga sering melatarbelakangi perilaku diskriminatif.
Masalah ini perlu dibahas secara terpisah karena cakupan bahasan dan argumentasi yang luas. Di sini, kita perlu menjernihkan akar persoalan mengapa diskriminasi berlaku dan sejauh mana batasannya. Dari penjelasan panjang sedari tadi, mungkin ada yang menyimpulkan ada baiknya kita memandang seseorang sebagai individu terpisah dari berbagai latar belakang baik kelompok sosial maupun kategorisasinya untuk menjaga nilai moralitas kita.
Perlu dipahami bahwa hal tersebut bisa dikatakan mustahil secara psikologis. Berhadapan dengan seseorang adalah pertemuan dengan tabiat dan adat yang dibentuk oleh lingkungan di mana ia menghabiskan sebagian besar waktunya. Selain itu, melepaskan individu dari keterikatan kelompok sosialnya sesungguhnya tidak realistis. Bahkan, kita akan kehilangan kesempatan untuk mengukur akurasi dari stereotipe yang melekat pada kelompok sosial di mana individu itu berasal.
Identitas diri dibangun dari identitas sosial sehingga hal itu juga berarti bahwa kategorisasi berdasarkan kelompok sosial tertentu nyata adanya dan berlaku. Membayangkan individu tanpa karakter sosial kelompoknya dapat menyesatkan ke posisi ideal namun tidak realistis. Kita memang hidup dalam masyarakat dengan latar belakang kelompok sosial berbeda, itu mesti kita terima apa adanya.
Berdasarkan kenyataan tersebut, masalah perlakuan diskriminatif ini perlu dibincangkan secara terbuka, apa, dan sebagaimana adanya agar komunikasi bisa tetap didahulukan ketimbang prasangka. Pelaku diskriminasi akan terus ada selama eksklusivitas tidak dibarengi dengan logika relevansi antara stereotipe dan perilaku berinteraksi.
Yang perlu pula kembali ditekankan adalah bahwa masyarakat majemuk harus memaklumi dinamika masing-masing kelompoknya. Kategorisasi dan pengelompokan individu ke komunitasnya masing-masing yang perlu mendapat porsi lebih dalam diskusi etis bukan malah fokus ke individunya. Saya sendiri percaya bila kita saling terbuka dan terus terang dalam berkomunikasi, isu diskriminasi akan perlahan samar dari diskusi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI