Kasus pelarangan berkendara bagi anak dan remaja dengan kasus pelecehan seksual bagi perempuan di ruang publik tidak bisa dianggap setara. Ada perbedaan mendasar dari bangunan argumen keduanya yakni batasan dan ukuran moralitas. Kita bisa dengan santai mengatakan bahwa izin berkendara bagi anak dan remaja akan berujung kecelakaan dan korban jiwa.
Tidak demikian dengan pelecehan seksual. Tentu membolehkan pelecehan bagi perempuan di ruang publik hanya karena pakaian atau dandanan mereka tidak bisa dinyatakan dengan seenaknya. Ada norma-norma tertentu yang menghalangi kita mengeluarkan pernyataan seperti itu secara terbuka. Ini yang membuat akurasi informasi, terutama terhadap kelompok masyarakat tertentu, penting untuk diulas dan terus diulas sebelum dijadikan fakta landasan argumen pembenaran.
Sekarang kita mesti menanyakan, bisakah hal-hal tadi dapat dipastikan secara akurat? Jika iya, siapkah kita menerima kemungkinan kondisi yang berbeda? Dalam artian bahwa jika, taruhlah ternyata bukan pakaian atau dandanan perempuan yang menjadi alasan orang mendiskriminasi perempuan lewat pelecehan, apakah kita semua bersedia menghentikan perilaku diskriminatif akibat salah paham itu?
Soalannya adalah, tidak mudah meyakinkan pelaku diskriminatif atas kesesatan pikir mereka. Meski sudah dikoreksi melalui fakta dan argumentasi, mereka masih tak merasa bersalah. Padahal, mereka sendiri mengaku melakukannya atas alasan rasional. Sehingga mereka tidak perlu dihadapi dengan argumentasi. Sebab yang pantas mereka dapatkan adalah sanksi moral.
Bagaimanapun, perilaku diskriminatif itu berkaitan dengan isu moral. Membangun dan mempertahankan suatu kepercayaan pada akhirnya akan berdampak pada orang lain. Selain sesat pikir, mengingkari fakta dan argumen yang solid dan lebih memilih pembenaran yang mengada-ngada juga menandakan suatu ketimpangan moral.
Jika saya membenci seseorang karena ia berasal dari kelompok tertentu, merasa jijik, atau malah takut tentunya emosi itu harus punya korelasi dengan kepercayaan yang saya anut. Saya tentu merasa orang yang saya benci bisa membahayakan diri dan kepercayaan saya. Sehingga untuk apa saya mengabaikan emosi yang menurut saya layak untuk diekspresikan?
Okelah, emosi itu masalah privat yang tentu menjadi hak masing-masing orang. Namun ekspresi emosi yang menyasar orang lain tentu lain masalah. Merugikan orang lain hanya karena kita berbagi kepercayaan yang sama dengan mayoritas dan berlindung di balik dukungan sesama penganut kepercayaan itu merupakan tindakan tercela karena cenderung mengabaikan alasan logis yang melandasinya.
Tentu pelaku diskriminasi akan kembali mengajukan skenario pamungkasnya: bagaimana jika diskriminasi itu didukung data dan fakta yang ada? Sebut saja perempuan dinilai tidak produktif karena terlalu banyak cuti, entah cuti bersalin atau cuti menstruasi, mantan pencandu narkoba lebih rentan kembali ke dunia lamanya, dan komunitas punk cenderung berbuat onar. Kasus-kasus tersebut memang didukung data statistik pada suatu daerah. Nah, apakah dengan demikian diskriminasi bisa dibenarkan?
Tentu tidak! Bukankah data dan fakta itu disajikan memang dalam rangka membangun sebuah stereotipe untuk kalangan tertentu? Benar jika perempuan secara biologis punya konsekuensi cuti lebih lama ketibang laki-laki namun apakah itu merupakan jaminan semua perempuan tidak produktif? Bukankah banyak perempuan yang mampu menyelesaikan pekerjaan mereka dengan lebih kreatif, lebih baik, dan malah punya prestasi kerja yang membanggakan?
Apakah semua mantan pencandu sudah tidak punya harapan sehingga mesti diisolasi dari pergaulan sosial dan dunia kerja? Bagaimana jika beberapa anggota komunitas punk justru punya kontribusi yang lebih besar terhadap kebersihan lingkungan dan lebih menginspirasi suatu amal jariyah sosial? Apakah kita akan mengabaikan kemungkinan-kemungkinan itu dan percaya begitu saja pada data dan fakta yang disajikan?