Taruhlah jika seseorang mengganti jenis kelamin dan publik tahu akan hal itu, apakah diskriminasi terhadapnya akan berhenti? Dalam banyak kasus, justru kondisi itu hanya akan mengganti alasan dan bukan perilaku diskriminatifnya. Bukankah yang dihargai itu adalah manusianya bukan fitur yang melekat padanya? Artinya, apapun kategorinya, baik jenis kelamin, agama, atau orientasi seksual tertentu, mereka tetap dihargai sebagai manusia.
Basis argumen anti-diskriminasi adalah kemanusiaan. Setiap manusia berbagi rasa kemanusiaan yang sama sehingga setiap dari manusia itu mesti diperlakukan sama. Pelaku diskriminasi pun sepakat dengan basis argumen ini. Hingga karakteristik yang melibatkan gender, agama, hingga ras menjadi atribut pada seseorang melahirkan perilaku diskriminatif.
Bahkan, pelaku diskriminasi tidak menyasar atribut tersebut secara langsung. Artinya, mereka tidak secara langsung menjadikan warna kulit, agama, jenis kelamin atau yang lainnya sebagai alasan untuk mendiskriminasi seseorang atau kelompok tertentu. Justru atribut itu dilekatkan pada stereotipe yang dibangun secara khusus untuk menjustifikasi relevansi dari alasan yang mereka gunakan.
Sebagai contoh, kulit hitam diidentikkan dengan ras budak, penganut agama tertentu dianggap radikal, atau jenis kelamin perempuan dipandang lemah dan inferior dari laki-laki. Alasan-alasan itu yang dijadikan sebagai pembenaran dari perilaku diskriminatif mereka. Sehingga mereka lebih leluasa meyakini apa yang perbuat itu benar dan mendorong masyarakat untuk melakukan hal yang sama.
Kepercayaan itu begitu kuat sehingga pelaku diskriminasi sama sekali tidak merasa bersalah atas apa yang mereka lakukan. Bahkan mereka menganggap kelompok yang mendapat perlakuan diskriminasi pantas diperlakulan demikian karena asosiasi, yang sebetulnya hanya delusi, kualitas negatif yang disematkan secara serampangan pada atribut kelompok masyarakat tertentu.
Sulit untuk meyakinkan pelaku diskriminasi yang memiliki pandangan kuat seperti tadi. Sebab mereka akan beralasan bahwa hal yang mereka lakukan adalah lumrah. Membatasi perempuan karena alasan kelemahan atau keterbatasan mereka dianggap sama saja seperti ketika melarang anak atau remaja mengendarai sepeda motor karena alasan ketidakdewasaan.
Justifikasi perilaku diskriminatif melalui relevansi praduga tertentu memang problematis. Sebab pengujian terhadap pernyataan pada kedua kasus yang sepertinya setaraf itu juga sama. Jika untuk membuktikan anak dan remaja memang tidak layak berkendara dengan menguji mereka seluruhnya maka pengujian yang sama diperlukan terhadap semua perempuan untuk membuktikan bahwa apa yang dituduhkan tidaklah benar.
Menentukan Perilaku Diskriminatif Secara Tepat
Pelaku diskriminasi akan menyebutkan satu per satu kasus yang mendukung basis argumennya untuk meyakinkan orang-orang bahwa stereotipe dari korban diskriminasinya memang benar adanya. Dia akan menyebutkan seluruh tindakan kriminal yang dilakukan oleh orang berkulit hitam dengan mengabaikan fakta bahwa kejahatan yang sama juga dilakukan oleh kelompok masyarakat lainnya.
Bisa dikatakan bahwa pelaku diskriminasi sebenarnya tidak paham betul perilaku diskriminatifnya. Sebab ia merugikan kelompok masyarakat yang ia diskriminasi dengan menutup mata terhadap fakta-fakta pendukung alasan yang ia sebutkan. Ia melakukan itu dengan sadar dan sengaja saat ia sendiri tidak yakin dengan alasan di balik perilakunya. Ia hanya berlindung di balik pembenaran dan bukan fakta yang benar.
Tidak ada relevansi yang kuat antara perilaku diskriminatifnya dengan alasan di baliknya sehingga korban diskriminasi layak dibela dari tuduhan dan perlakuan serampangan itu. Ini yang membuat perilaku diskriminatif menjadi salah dan tidak bisa dibenarkan. Tuduhan yang dilandaskan pada stereotipe tidak bisa menjadi landasan argumen karena fakta yang diajukannya tidak bisa dibuktikan dengan akurat.