Mohon tunggu...
Azwar Abidin
Azwar Abidin Mohon Tunggu... Dosen - A humble, yet open-minded wordsmith.

Faculty Member at FTIK, State Islamic Institute of Kendari. Likes Reading, Drinks Coffee.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kekaguman dan Kebutuhan untuk Dikagumi, Memahami Konsep dan Batasan Diri

3 November 2019   21:23 Diperbarui: 4 November 2019   11:27 653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu portal komunitas yang mengangkat fenomena kekaguman terhadap Idols di masyarakat kita | SC from idntimes.com

Tulisan ini merupakan hasil diskusi dengan salah seorang rekan mahasiswi a.n. Fitrah Waliadin Nur. Semoga di diskusi berikutnya bahan bacaannya makin kaya.

Kekaguman merupakan tanggapan manusiawi yang khas. Hal itu menandakan bahwa manusia mengakui dan cenderung tunduk pada sesuatu yang membuat perhatiannya tertuju dengan tajam. 

Dacher Keltner dan Jonathan Haidt, dua orang psikolog yang membahas perasaan kagum sebagai konsep diri subjek, menyimpulkan bahwa kekaguman merupakan cara diri memaknai pengalaman yang kita lalui dalam kehidupan sehari-hari.

Menanggapi hal tersebut, Robert Clewis dan beberapa psikolog lainnya, mengajukan beberapa klausul tentang bagaimana kekaguman dapat memicu perasaan senang yang berlebihan. 

Menurutnya, setidaknya ada 3 tiga hal yang menjadi alasannya. Pertama, berkembangnya imajinasi. Kedua, anggapan terhadap diri sebagai bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar. Ketiga, pengalaman yang melebihi sesuatu yang tidak kita jumpai di tiap hari.

Selain itu, yang sebetulnya membuat ketiga hal tadi begitu istimewa adalah karena hal-hal itu mampu memalingkan kita dari kesibukan rutinitas sehari-hari yang membosankan. 

Bisa dibilang, sebagai alternatif pelarian diri. Kekaguman akan suatu hal dapat menarik konsep diri sendiri menjadi bagian dari hal tersebut. Sehingga, terkadang kita meniru beberapa aspek atau karakter dari hal yang kita kagumi dan mengadaptasinya ke konsep diri yang kita bangun.

Tahu Idols dari Korea Selatan lewat kultur K-Pop yang digandrungi banyak remaja sekarang ini? Kulit putih mulus, tari yang lincah, (apa lagi ya?) berhasil memancing kekaguman bahkan menjadi tren gaya hidup bagi remaja Indonesia. 

Masalahnya tidak sampai di situ. Kekaguman ini menciptakan pasar dengan konsep 'ideal' yang diadopsi dari para Idols termasuk di antaranya konsep kecantikan. Hasilnya, menjamurlah produk-produk kecantikan yang menjanjikan kulit putih mulus dan licin.

Pasar yang diciptakan dari tren seperti ini bertahan selama kekaguman masih mendapat panggungnya. Khususnya bagi kalangan remaja yang bangunan konsep dirinya masih dalam tahap adopsi dan adaptasi terhadap tren yang diciptakan lingkungannya. 

Masalahnya terletak pada kemampuan remaja itu yang hanya sebatas mengadopsi dan mengadaptasi tanpa bekal diri untuk memenuhi kemampuan itu dengan dukungan morel serta materiel.

Kekaguman itu, sesuai yang Robert Clewis simpulkan, memicu rangkaian peristiwa yang menjanjikan kepuasan batin. Remaja tadi akhirnya mengembangkan imajinasi tentang tubuh ideal serupa dengan Idols-nya.

Dengan penampilan dan perilaku yang dibuat semirip mungkin, ia kemudian menganggap dirinya bagian dari komunitas Idols tersebut. Tak jarang, mereka membuat komunitas fans garis keras yang siap membela Idols-nya segenap jiwa dan raga.

Konsep diri remaja tersebut semakin hari semakin pudar karena fokus konsep bangunan "dirinya" melebur ke konsep "diri Idols" yang dikaguminya. Ia tidak lagi peduli bahkan menafikan konsep "dirinya" yang dianggapnya tidak layak. 

Menjadi anak kampung yang menganggap sekolah dan muatan kurikulumnya tidak lagi relevan dengan orangtua yang mengecewakan karena tidak mampu memenuhi keinginannya ingin ia buang jauh-jauh dari pikirannya. Baginya, realitas kesehariannya itu sangat membosankan dan jauh dari ekspektasi yang ia bangun.

Rasa Kagum, Kepuasan Batin, dan Imajinasi Diri Subjek
Jika remaja tadi diakui oleh sekitarnya sebagai pribadi yang sesuai dengan karakter Idols-nya, maka ia akan merasa senang dan puas luar biasa. Jika ia kembali diingatkan pada diri yang sebanarnya maka ia akan kecewa atau bahkan marah. 

Kekaguman memang memicu kepuasaan batin. Biasanya ditujulan ke hal-hal yang di luar batas kemampuan kreasi subjek pengagum seperti keajaiban dunia (Piramida, Menara Eifel, hingga Candi Borobudur) atau alam semesta (Gunung, Palung, Angkasa, hingga Galaksi).

Kekaguman ini bisa dengan jelas ditampakkan oleh ekspresi tubuh kita. Merinding, mulut menganga, mata yang membelalak, hingga  kesan seakan waktu berjalan lambat. 

Namun ada hal yang berperan penting dalam hal ini yaitu nalar. Kekaguman muncul ketika daya nalar manusia berhadapan langsung dengan kekuatan alam. Bagi Immanuel Kant, jika hal tersebut terjadi maka rasa kagum bisa dilingkupi oleh rasa takjub.

Terinspirasi oleh pemikiran kaum Stoik, Kant percaya bahwa semegah apapun yang alam atau daya kreasi manusia tampilkan, hal itu tidak mengalahkan daya nalar manusia. Mengapa demikian? Karena hanya daya nalar itu yang mampu mengenali dan mengakui kemegahan yang sedang dihadapinya. 

Dalam kasus Idols tadi, semegah apapun kultur yang ditawarkannya tanpa ada remaja yang mengaguminya, maka Idols itu tidak bakal mendapat panggung pertunjukan.

Kesadaran subjek-lah, menurut Kant, yang paling berperan terhadap munculnya rasa kagum itu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin kagum diri subjek akan hal di luar dirinya maka semakin tinggi pula tingkat kesadaran yang bisa dibangun sebagai konsep diri subjek tersebut. Masalahnya, apa yang kita temui dalam fenomena terkait hal tersebut sungguh berbeda. Remaja pengagum Idols K-Pop tadi justru semakin hari semakin tidak mengenal dirinya sendiri.

Meski demikian, ada satu hal yang bisa kita pelajari dari penjelasan Kant, bahwa mengalami rasa kagum itu nuansanya berbeda dari sekadar menikmati sisi keindahan dari apa yang sedang dikagumi. 

Kekaguman tidak melahirkan rasa takut, sebab sejatinya kita menganggap bahwa apa yang kita kagumi tidak membahayakan diri kita sendiri. Kita tidak pernah berhenti mengagumi samudra yang begitu luas meski kita pernah mengalami ketakutan luar biasa berada di tengah laut dengan ombak tinggi.

Hal itu bisa kita jelaskan ke remaja yang sedang mabuk Idols K-Popnya. Bahwa kekaguman mereka itu wajar namun mereka tidak perlu takut oleh pikiran bahwa apa yang dimiliki oleh Idols itu saat ini tidak mampu mereka jangkau. 

Mereka bisa larut dalam kekaguman saat menikmati pertunjukan Idols itu namun kembali berupaya membangun konsep diri mereka sendiri setelah pertunjukan Idols itu selesai.

Menikmati sisi keindahan dari apa yang memicu rasa kagum adalah lumrah bahkan dapat menginspirasi konsep keindahan yang kita imajinasikan secara mandiri. 

Batasannya adalah ketika kekaguman itu membuat diri larut dalam bayang-bayang dari apa yang dikagumi hingga ke kehidupan sehari-hari. Jean-Franois Lyotard menyimpulkan bahwa imajinasi yang membawa diri kita laru ke dunia apa yang sedang kita kagumi dapat dimanfaatkan untuk lebih positif menerima diri kita sendiri apa adanya.

Kebutuhan Untuk Dikagumi: Pengakuan Publik
Kekaguman akan sesuatu dapat melahirkan imajinasi yang jejaknya minta dihadirkan dalam setiap momen. Merujuk pada pola perilaku mengaitkan diri dengan sesuatu yang dikagumi agar mendapat pengakuan entah oleh publik atau komunitasnya, di sinilah imajinasi itu berperan untuk menciptakan token atau karakter yang menghadirkan kekaguman itu dalam wujud fisiknya.

Remaja pengagum Idols K-Pop tadi akan berupaya tampil seperti karakter yang dikaguminya. Model rambut, kosmetik yang dipakai, baju, celana hingga aksesoris yang biasa digunakan oleh Idols itu akan ditiru oleh remaja tadi. 

Hal ini tidak mengherankan sebab semua orang melakukannya. Pengagum klub sepak bola, pengagum band atau artis tertentu, hingga pengagum ideologi akan mewujudkan imajinasi berkenaan kekagumannya dalam wujud fisik.

Ekspresi itu, yang dimulai dari refleksi diri, melahirkan budaya-budaya yang bersifat khas dan temporal. Refleksi itu sendiri merupakan aktualisasi konsep yang bercokol di pikiran seseorang untuk menegaskan seperti apa pribadi yang ia ingin lingungan sekitarnya itu akui. 

Karena manusia merupakan makhluk sosial, ia akan berupaya menemukan pribadi yang setidaknya memiliki beberapa kemiripan karakter dengan pribadinya.

Ekspresi diri yang refleksif ini berkaitan erat dengan kebutuhan untuk diakui baik oleh apa atau siapa yang dikaguminya, oleh publik secara umum, atau bahkan oleh dirinya sendiri. 

Sehingga selama ekspresi ini berorientasi pada pengembangan diri seseorang maka tidak perlu ditekan malah justru mesti didukung. Kecuali dalam kondisi ekspresi itu menyusutkan atau merusak konsep diri yang bersangkutan dan tidak mengindahkan nilai-nilai ekspresi dari orang di sekitarnya maka saat itulah ia mesti diingatkan akan batasan-batasan ekspresinya.

Mengatur pakaian atau aksesoris mana yang harus dikenakan seseorang adalah tindakan yang tidak menghasilkan faedah apa-apa. Mengaitkan ekspresi refleksif diri dengan perilaku tertentu merupakan hal tak berdasar yang cenderung dipaksakan legitimasinya. 

Immanuel Kant menyarankan kita untuk adil sejak dalam pikiran dan tidak memikirkan untuk melanggar batasan orang lain itu dalam rangka menjaga diri agar tidak gegabah dalam menghasilkan simpulan.

Bagaimana dengan remaja pengagum Idols K-Pop tadi? Ya perhatikan saja ekspresi dirinya. Jika hal itu berdampak buruk pada pengembangan diri sehingga memenjarakannya dalam bayang-bayang kekaguman maka sudah saatnya ia diingatkan akan batasan ekspresinya. 

Sama halnya dengan pelancong yang berpakaian atau berperilaku semaunya saja ketika berkunjung ke daerah tertentu tanpa mengindahkan nilai-nilai kultural ekspresi diri masyarakat lokal.

Harga Mahal Kecantikan
Ekspresi diri menjadi mengkhawatirkan ketika seseorang memaksakan diri untuk menjaga standar tertentu dari konsep idealnya dengan menempuh segala cara. 

Remaja pengagum Idols tadi yang mulanya cuma ngerumpi tentang idolanya bersama komunitasnya akhirnya sampai merelakan jatah belanja kebutuhan belajarnya. Entah untuk paket data untuk selalu update kabar idolanya, belanja kosmetik, hingga asesoris agar terus mampu tampil seperti fans K-Pop pada umumnya.

Hal itu diperparah oleh tuntutan di luar diri seseorang ketika orang tersebut berada di ruang publik, media sosial misalnya. Tampil tampan atau cantik di media sosial dengan standar yang diadaptasi dari idolanya, dengan tujuan menuai kekaguman selayak kekagumannya terhadap idolanya, bisa menjadi perangkap bagi orang tersebut. 

Karakter yang ia tampilkan di ruang publik menjadi ciri diri yang diklaim menjadi satu-satunya karakter yang bisa diterima oleh publik tentang dirinya.

Semakin tinggi tuntutan yang diberikan oleh publik, semakin keras ia berusaha untuk memapankan konsep tersebut dengan menghiraukan konsep dirinya sendiri. Apakah hal ini berbahaya? 

Nah, ada satu hal yang mesti dipahami oleh khalayak bahwa karakter yang muncul di media sosial itu tidak seluruhnya peduli dengan apa yang orang lain tunjukkan atau lakukan.

Dengan beragam hal yang ditawarkan media sosial, belum lagi dengan fokus yang mudah dialihkan oleh tautan ke laman lainnya, apa yang ditunjukkan oleh publik di media sosial sama sekali tidak dapat dianggap sebagai sebuah bentuk kepedulian. 

Remaja yang sudah menampilkan diri sedemikian rupa dengan segala usahanya mungkin akan diberi 'like' atau mungkin komentar namun hal itu tidak akan berlangsung lama. Publik akan lanjut berselancar tanpa kepedualian berarti terhadap apa yang ditunjukkan individu di laman profilnya.

Itulah mengapa mengunggah postingan musibah seperti kecelakaan atau lainnya tidak akan memberikan dampak apa-apa. Doa atau simpati yang dituliskan di kolom komentar tidak menjamin ketulusan. 

Malahan, postingan seperti itu kerap disalahgunakan. Demikian pula mengunggah hal-hal yang sifatnya pribadi tidak akan menuai kepedulian berarti sebab media sosial sendiri lebih sering dimanfaatkan sebagai pelarian.

Mengunggah potret diri tanpa latar belakang peristiwa yang sifatnya informatif, apalagi hanya untuk memelas pujian, merupakan bentuk ekspresi diri paling absurd di ruang publik. 

Taruhlah, pujian itu memang diberikan, lalu manfaatnya apa? Belum lagi unggahan video klip yang hanya fokus pada wajah atau bagian tubuh tertentu. Hal itu tujuannya apa? 

Sebab, bagi sebagian orang, termasuk saya sendiri, hal itu bersinggungan dengan nilai-nilai ekspresi diri saya sehingga ketika bertemu dengan hal seperti itu, pasti saya blok dan laporkan sebagai scam.

Di luar sana, mungkin ada beberapa individu yang tidak senang dengan hal tersebut namun memberi tanggapan berbeda; mulai yang cuek hingga yang memicu keributan. 

Beragam tanggapan itu tentu akan kembali ke diri pengunggah konten itu sendiri. Pertanyaannya, apakah mereka siap menghadapi beragam tanggapan tersebut?
Banyak kasus demikian yang justru melahirkan bullying dan depresi.

Ketika ekspektasi tidak lagi dapat dipenuhi, ditambah gejolak batin yang dipicu pertentangan konsep diri yang saling tumpang tindih di pikiran seseorang, ekspresi berlebihan di media sosial hanya akan memberi dampak buruk terhadap kondisi kejiwaan seseorang. 

Berupaya menyenangkan orang lain dengan penampilan semu dan melupakan upaya pengembangan diri sendiri merupakan awal dari runtuhnya bangunan kepercayaan diri.

Bullying bukan masalah yang remeh. Bentuknya yang semakin beragam baik di kehidupan sehari-hari hingga di dunia virtual telah merenggut banyak korban.

Bahkan banyak pesohor yang bangunan konsep dirinya hancur karena tidak mampu mengelola kesan kekaguman yang coba diekspresikannya. Sehingga, konsep yang hilang arah itu menemui muaranya di kehidupan malam, penyalahgunaan narkoba, hingga bunuh diri.

Post-Note
Kekaguman dan kebutuhan untuk dikagumi merupakan fenomena yang melibatkan proses pembangunan konsep diri subjek dalam menanggapi lingkungan sekitarnya. 

Nuansa ini bukan hanya melahirkan ketakjuban namun juga punya potensi menggerogoti kepercayaan diri seseorang. Kekaguman mampu membawa perubahan signifikan dalam pemaknaan hidup bagi seseorang. Sehingga pribadi itu dapat menyesuaikan konsep diri dan tujuan hidupnya.

Kekaguman pun mengindikasikan bahwa diri ini mengakui adanya sesuatu yang lebih besar dan lebih agung di luar sana. Selama puja dan puji masih terucap dari mulut seseorang, kekaguman itu akan bersemayam dalam pikirannya. Itu tidak mesti ditanggapi dengan negatif. 

Justru, dengan mengakui kelemahan diri kita bisa memaknai peran diri ini di tengah-tengah komunitas masyarakat maupun lingkungan sekitar.

Bagi seorang Muslim(ah), afirmasi terhadap rasa kagum tertuju hanya bagi Dzat yang hanya mampu dikagumi namun tidak mengagumi. Segala puja dan puji hanya bagi Allah SWT; pencipta, penjaga, dan penjamin seluruh alam beserta isinya (Q.S. 1:2). 

Seperti yang dipahami oleh Immanuel Kant bahwa kekaguman dan pujian hanya lahir dari nalar sehat yang mengakui batasan dirinya di depan sesuatu yang lebih besar dan lebih agung. Yang Maha Agung tidak dapat mengagumi karena tak satu pun yang lebih agung dariNYA.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun