Demikian pula dengan kalimat kedua. Kata 'pergi' membuat makna kata 'dari' menjadi problematis. Kata 'pergi' mengandaikan kondisi subjek 'Pemuda' sudah dalam perjalanan sehingga fokus perhatian seharusnya adalah tujuan ke mana 'Pemuda' itu 'pergi' dan bukan titik mula ia berangkat.Â
Kalimat seharusnya ditulis; "Pemuda itu pergi ke rumah temannya.", "Pemuda itu berangkat dari rumahnya." atau "Pemuda itu pergi meninggalkan rumahnya."
Ucapan yang kita lontarkan sering memuat kontradiksinya sendiri. Bukan sekadar kata atau kalimat itu sesuai dengan tujukannya namun yang lebih penting adalah bagaimana kita memercayai apa yang kita pahami.Â
Kecenderungan untuk menyamakan hal yang benar sebagai sebuah kebenaran dapat menghalangi proses pemahaman kita terhadap sesuatu. Memaksakan status kebenaran sama saja dengan memaksakan titik untuk mengakhiri kalimat meski seharusnya diberi koma agar penjelasannya lebih utuh.
Klaim kebenaran membatasi diskusi dan dialog lebih lanjut. Hal itu akan membatasi munculnya alternatif simpulan yang bisa dicapai dan tentunya, membatasi opsi tindakan.Â
Pada contoh sederhana yang ditulis sebelumnya, memikirkan elemen kata yang membangun struktur kalimat mampu memperbaiki cara berpikir kita.Â
Dari situ kita dapat menyimpulkan bahwa fakta yang meyakinkan kita menganggap sesuatu sebagai benar justru sama sekali tidak mewakili kebenaran itu sendiri.
Simpulan dan Sikap Tergesa-gesa
Dalam A Treatise of Human Nature (1738), David Hume mengingatkan bahwa kecenderungan kita untuk menawarkan versi 'benar' kita sebagai kebenaran utuh dapat berakibat fatal.Â
Hal itu membuat kita akan mendahulukan asumsi dalam membuat simpulan ketimbang memikirkannya terlebih dahulu atau mengumpulkan fakta lewat indra kita.Â
Sikap tergesa-gesa ini tentu akan mengaburkan posisi kita dalam menanggapi suatu peristiwa. Hal itu membuat kita sibuk untuk menutupi celah dari argumen ketimbang fokus pada soalan yang lebih penting.