Mohon tunggu...
Azwar Abidin
Azwar Abidin Mohon Tunggu... Dosen - A humble, yet open-minded wordsmith.

Faculty Member at FTIK, State Islamic Institute of Kendari. Likes Reading, Drinks Coffee.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Benar Versus Kebenaran, Fakta di Pusaran Interpretasi

15 Oktober 2019   13:55 Diperbarui: 16 Oktober 2019   04:38 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Pertemuan kita dengan tiap peristiwa selalu dibatasi oleh cakupan; baik yang terberi maupun yang kita beri. Batasan itu sifatnya mendesak, rentang waktu penerimaan persepsi pun mengerahkan seluruh energi fokus. 

Oleh sebab itu, indra hanya akan memerhatikan dan menangkap bagian-bagian informasi yang sempat diperolehnya. Kondisi ini tentu menggoda, tidak mudah untuk menahan diri untuk menanggapi informasi yang datanya tidak memadai.

Simpulan menahan informasi untuk merangkai dan menghimpun datanya secara utuh. Bingkai yang menangkap informasi sudah terlebih dahulu membatasi data; kamera, mata, telinga, hingga kombinasi di antara bingkai-bingkai itu. 

Belum lagi jika informasi itu dimediasi oleh pihak ketiga, data bisa dikurangi atau malah ditambahkan. Liputan jurnalis yang diwartakan, saksi yang menceritakan kejadian, hingga opini masing-masing berpotensi mengacau himpunan data.

Kondisi ini membuat kita tidak bisa secara semena-mena memutuskan tanggapan terhadap sebuah peristiwa. Mengapa demikian? Karena tidak satu pun peristiwa yang mampu kita pahami secara utuh. 

Keyakinan yang membuat kita begitu percaya diri memercayai apa yang kita persepsi dari sebuah peristiwa, bisa saja hanya manipulasi pikiran kita sendiri. 

Untuk itu, sudah saatnya kita mengajukan pertanyaan kepada diri kita sendiri apakah sesuatu yang kita anggap benar itu sudah merupakan suatu kebenaran?

Adakah hubungan antara benar dan kebenaran itu sendiri? Taruhlah, fakta yang kita saksikan atau peroleh adalah benar. Namun, apakah kebenaran itu sendiri merupakan sebuah fakta? 

Atau hanya merupakan sebuah kondisi ideal yang kita bangun dalam pikiran kita yang mungkin saja tidak hanya di luar jangkauan indra namun juga ternyata tidak kita miliki?

Sebagai contoh, kita menerima sebuah informasi yang disimpulkan ke sebuah kalimat, "Seorang pejabat negara, saat melakukan kunjungan ke daerah, diserang dan ditusuk di bagian perut dengan sebilah pisau sehingga harus dilarikan ke Rumah Sakit untuk perawatan intensif." 

Kita membaca dan memahami peristiwa itu secara kronologis berdasarkan urutan masing-masing frasa dalam kalimat.

Kalimat itu sesuai dengan fakta kejadian yang kita saksikan, baik di lokasi maupun dalam liputan berita. Tiap frasa itu, secara runut, adalah benar berdasarkan persaksian faktual kita sebagaimana adanya. 

Berdasarkan fakta yang kita peroleh, kita simpulkan bahwa kalimat itu benar. Namun, apakah kebenaran kalimat tadi adalah sebuah fakta? Sebab kalimat itu sama sekali bukan bagian dari kejadian faktualnya dan merupakan produk dari sebuah simpulan saja.

Kalimat itu mewakili kondisi ideal dari suatu fakta yang ingin sekali kita percayai. Pikiran kita terus menerus fokus pada cakupan peristiwa yang dirangkum kalimat itu. Bisa saja, saat peristiwa itu terjadi, indra kita tidak benar-benar fokus menghimpun data yang ada. 

Pandangan kita dihalangi oleh kerumunan atau perhatian kita lebih tertuju pada keramaian akibat kunjungan seorang pejabat negara. Kejadian itu baru kita coba pahami beberapa saat setelah kejadian dengan mencoba merangkai data yang kita coba peroleh.

Jika kita menyaksikan kejadian itu lewat media, tentu akan lebih banyak data yang luput dari perhatian. Kondisi ini tentu menambah jarak antara kita dengan fakta kejadian yang ada. 

Nah, mengapa hal ini perlu kita angkat sebagai sebuah masalah? Mengapa kalimat yang benar itu (karena sesuai fakta kejadian) kita terima saja sebagaimana adanya? Begini, kalimat itu benar sesuai faktanya. Namun belum tentu dengan tanggapan (respon) yang mengikuti kalimat itu.

Jika kebenaran kalimat itu dianggap sebagai sebuah fakta, orang-orang akan sulit mengendalikan diri ketika memberikan tanggapannya. Mereka akan mengaitkan fakta itu dengan kemungkinan tindakan terorisme, usaha perlawanan terhadap pemerintahan sah, atau bahkan menuding bahwa kejadian itu direkayasa sedemikian rupa untuk tujuan tertentu. 

Nyatanya, mereka membuat asumsi-asumsi itu tanpa memiliki bukti atau saksi yang memadai hanya berbekal suatu simpulan yang benar sesuai fakta.

Tentu, hal itu akan berdampak lebih besar jikalau saja ada pihak yang menjadikan kebenaran kalimat itu sebagai fakta yang meligitimasi tindakan opresifnya terhadap pihak lain baik secara verbal apalagi fisik. 

Masih ingat tuduhan ke mahasiswa Papua di Surabaya yang berbuntut panjang menyulut kerusuhan di Wamena? Simpulan dalam kalimat-kalimat yang diberitakan saat itu, yang ternyata tidak sesuai fakta, berakhir dengan pembantaian massal. Bayangkan saja jika sesuai fakta dan dianggap sebagai sebuah kebenaran utuh.

Kebenaran yang selalu kita perbincangkan tidak pernah utuh dalam wujudnya. Selalu ada yang luput atau malah kita sisihkan. Dalam setiap peristiwa, selalu ada kejadian yang tidak kita ketahui, disembunyikan, atau bahkan tidak dapat diputuskan statusnya. 

Kita menawarkan konsep kebenaran untuk menunjukkan apa yang kita anggap benar itu sudah final dan tidak perlu lagi dipermasalahkan.

Kita terjerumus dalam sesat pikir yang menganggap sesuatu yang benar karena sesuai fakta sama dengan suatu bentuk kebenaran yang merupakan kondisi ideal. Padahal, simpulan benar itu sendiri sifatnya individual. 

Pandangan kita terhadap hal yang yang benar berbeda satu sama lain. Setidaknya, atribut yang kita pahami untuk menyimpulkan sesuatu itu benar atau tidak itu tidak pernah sama.

Di ruang publik, hal yang benar menurut beberapa individu yang bersepakat tidak lebih dari "kebenaran yang diklaim sepihak" saja. Gambaran utuh dari kebenaran itu sesungguhnya tidak pernah tersentuh. 

Sehingga melaksanakan sebuah tindakan dari "kebenaran yang diklaim sepihak" ini dapat dianggap sekadar pembenaran tanpa landasan pijak yang jelas. Kecenderungan untuk memaksakan sesuatu yang benar sebagai sebuah kebenaran sungguh dapat memicu masalah yang pelik.

Ucapan dan Kerancuan Konsep

Usaha kita untuk memahami sesuatu dimulai dari bangunan konsep sejauh yang kita mampu persepsi. Tentunya, kemampuan bahasa dalam menjalin teks yang menjadi bahan utama bangunan konsep sangat menentukan. 

Sehingga, dalam kondisi ini saja, sudah menggambarkan keterbatasan kita dalam memahami sesuatu. Batasan itu adalah banyaknya jalinan teks yang bisa kita buat. Coba perhatikan kalimat berikut:

Kantor itu lengkap dengan fasilitas.
dan
Pemuda itu pergi dari rumahnya.

Pada kalimat pertama, masalahnya terletak pada kata 'lengkap' dan kata 'fasilitas'. Kata 'fasilitas' justru mengingkari fungsi makna dari kata 'lengkap'. Sebab, fasilitas merujuk pada sarana untuk menutupi suatu kekurangan. 

Kantor itu menjadi tidak lengkap sehingga harus diberi fasilitas. Sebab jika Kantor itu lengkap, yang artinya tidak punya kekurangan, mengapa mesti diberi fasilitas?

Demikian pula dengan kalimat kedua. Kata 'pergi' membuat makna kata 'dari' menjadi problematis. Kata 'pergi' mengandaikan kondisi subjek 'Pemuda' sudah dalam perjalanan sehingga fokus perhatian seharusnya adalah tujuan ke mana 'Pemuda' itu 'pergi' dan bukan titik mula ia berangkat. 

Kalimat seharusnya ditulis; "Pemuda itu pergi ke rumah temannya.", "Pemuda itu berangkat dari rumahnya." atau "Pemuda itu pergi meninggalkan rumahnya."

Ucapan yang kita lontarkan sering memuat kontradiksinya sendiri. Bukan sekadar kata atau kalimat itu sesuai dengan tujukannya namun yang lebih penting adalah bagaimana kita memercayai apa yang kita pahami. 

Kecenderungan untuk menyamakan hal yang benar sebagai sebuah kebenaran dapat menghalangi proses pemahaman kita terhadap sesuatu. Memaksakan status kebenaran sama saja dengan memaksakan titik untuk mengakhiri kalimat meski seharusnya diberi koma agar penjelasannya lebih utuh.

Klaim kebenaran membatasi diskusi dan dialog lebih lanjut. Hal itu akan membatasi munculnya alternatif simpulan yang bisa dicapai dan tentunya, membatasi opsi tindakan. 

Pada contoh sederhana yang ditulis sebelumnya, memikirkan elemen kata yang membangun struktur kalimat mampu memperbaiki cara berpikir kita. 

Dari situ kita dapat menyimpulkan bahwa fakta yang meyakinkan kita menganggap sesuatu sebagai benar justru sama sekali tidak mewakili kebenaran itu sendiri.

Simpulan dan Sikap Tergesa-gesa

Dalam A Treatise of Human Nature (1738), David Hume mengingatkan bahwa kecenderungan kita untuk menawarkan versi 'benar' kita sebagai kebenaran utuh dapat berakibat fatal. 

Hal itu membuat kita akan mendahulukan asumsi dalam membuat simpulan ketimbang memikirkannya terlebih dahulu atau mengumpulkan fakta lewat indra kita. 

Sikap tergesa-gesa ini tentu akan mengaburkan posisi kita dalam menanggapi suatu peristiwa. Hal itu membuat kita sibuk untuk menutupi celah dari argumen ketimbang fokus pada soalan yang lebih penting.

Senada dengan hal itu, Ren Descartes dalam Meditation IV menyebutkan bahwa kita berbuat salah bukan karena kondisi kecerdasan, namun lebih karena dorongan hasrat. 

Belanja kosmetik dan produk perawatan diri di kalangan remaja putri yang cukup memprihatinkan bukan karena anggapan bahwa tampil cantik adalah kebutuhan dasar, namun karena masyarakat sekitarnya, terutama dari kalangan pria, mewajarkan atau bahkan menuntut remaja putri itu untuk bersolek. Sebab jika tidak, mereka dianggap kurang feminim.

Hasrat untuk tampil cantik, dengan segala konsekuensinya, mendapat persetujuan bahkan merupakan kewajiban yang harus dipenuhi. Tentu ini disambut baik oleh industri kosmetik dan produk perawatan diri dengan menciptakan pasarnya. 

Namun perlu dicatat bahwa polesan itu justru menutupi kualitas lain dari diri mereka. Selain itu, kondisi yang sudah dibingkai sedemikian rupa oleh realitas lingkungannya, dan itu fakta yang kita temukan, tidak ditanggapi secara kritis oleh remaja putri tersebut.

Simpulan yang dinyatakan oleh para remaja putri itu, sebagai respon dari kondisi yang dipaksakan atas mereka, lahir dari sikap tergesa-gesa. Mereka mendapati bahwa masyarakat secara umum hanya menerima remaja putri cantik karena bersolek dan menganggapnya sebagai sebuah fakta. 

Oleh karena itu, cantik selain karena bersolek tidak benar. Sehingga kondisi itu dipersepsi sebagai sebuah kebenaran yang bersifat final dan suka tidak suka harus diterima.

Sikap tergesa-gesa itu disebabkan oleh ketidakmampuan mengolah buah pikir setidaknya dengan mengajukan pertanyaan yang pas sebelum menyimpulkan sesuatu. 

Meski gambaran utuh kebenaran sulit diraih, setidaknya kita berupaya menggapainya dengan sedikit lebih bersabar. Kesabaran itu menuntun penundaan kita terhadap sebuah simpulan agar kemungkinan-kemungkinan lain masuk dalam pertimbangan kita.

Tentu ada kondisi yang mengharuskan kita memberikan simpulan dan putusan di saat genting atau mendesak. Namun hal itu tidak menghalangi kita untuk terbuka terhadap masukan dan persepsi orang lain. 

Sedapat mungkin dipertimbangkan secara matang dalam jeda waktu yang ada. Keputusan sepihak yang dampaknya meluas ke berbagai pihak tentu mesti dilahirkan secara terbuka pula; kritik dan koreksi tetap menjadi prioritas bahkan ketika simpulan atau putusan itu telah dibuat.

Memilih untuk menghimpun data dan memahami fakta ketimbang menyimpulkan dengan tergesa-gesa melatih diri kita untuk lebih adil menimbang sebuah peristiwa dari banyak sisi. 

Kita pun dapat membangun struktur argumen yang lebih matang dengan memerhatikan persepsi orang lain dan tidak membiarkan asumsi mengendalikan putusan kita. Kebenaran mungkin saja terserak di antara kepingan pluralitas yang menunggu kita merangkainya lewat dialog.

Fakta atau Interpretasi?

Jika klaim benar merupakan ranah individual, lalu apakah fakta harus dipersepsi secara berbeda oleh individu yang berbeda pula? Bagaimana jika yang kita peroleh dan anggap sebagai fakta hanya merupakan interpretasi kita saja? 

Nah, perlu dipahami bahwa fakta itu sendiri punya klasifikasi yang menuntut kita memberi tanggapan yang berbeda pula. Ada fakta yang kukuh hingga fakta yang cukup kita anggap sebagai common sense sebab untuk menulusurinya, butuh kecakapan tertentu.

Sebagai contoh, cinta ibu ke anak-anaknya merupakan fakta kukuh yang bahkan kita terus pertahankan dan bela mati-matian. Munculnya fakta ibu yang menyiksa anak-anaknya tidak dapat menafikan pernyataan sebelumnya. 

Justru, pernyataan kedua tanpa perlu pendalaman investigasi langsung dapat kita pastikan sebagai perbuatan yang keji. Kebajikan selalu dapat dimaklumi seperti kejahatan harus selalu dikutuk.

Demikian pula dengan fakta common sense yang dikaji dan didalami oleh kalangan tertentu saja. Kita memercayakan klaim benar terhadap fakta itu pada orang-orang yang punya ketertarikan dan semangat tertentu namun tetap mengawasi basis logis dari argumen-argumennya. 

Sebab jika tidak, pernyataan yang lahir dari simpulan klaim benar itu bisa menyesatkan dan memalingkan fokus dari pokok esensialnya. Sebagai contoh, simpulan pada pernyataan berikut:

Guru honorer tidak seharusnya merisaukan gaji, berapapun yang diberikan terima saja. Pengabdian untuk mencerdaskan bangsa akan berbalas surga.

Fakta-fakta berikut kita beri klaim benar: adanya guru honorer, mereka merisaukan gaji, mereka melakukan pengabdian, mereka mencerdaskan bangsa, dan setiap pengabdian berbalas surga. 

Menilik dari analisis Differance-nya Jacques Derrida saja, fakta-fakta yang terangkum dalam proposisi-proposisi yang diajukan saling menafikan. Sehingga klaim benar itu meski sesuai fakta tetap tidak dapat dijadikan rujukan.

Guru adalah profesi, honorer merupakan sub-kategori yang diakui. Jika profesi menuntut gaji maka predikat 'risau' tidak cocok menjelaskan kondisi subjek 'Guru honorer' kecuali simpulan 'profesi menuntut gaji' kita tolak. 

Demikian pula 'berapapun' tidak bisa menjelaskan 'gaji' karena 'gaji' mengandaikan konsekuensi yang semestinya terukur. Selain itu, kalimat "Pengabdian untuk mencerdaskan bangsa akan berbalas surga" tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Haruskah kata 'pengabdian' menafikan proposisi "guru honorer merisaukan gaji"? Yang bila demikian, guru yang tidak lagi merisaukan gaji, karena telah diberi gaji yang cukup, tidak bisa lagi dianggap melakukan pengabdian? 

Apakah kata 'pengabdian' hanya mengandaikan kondisi 'menerima berapapun yang diberikan'? Belum lagi bahwa rujukan materialis di kalimat pertama (guru honorer dan gaji) dilekatkan dengan rujukan abstrak di kalimat kedua (pengabdian dan surga).

Ketimpangan logis yang ditunjukkan kedua kalimat itu menyiratkan sikap ketidakpedulian dari muatan bahasan yang disampaikannya. Jika kedua kalimat itu dinyatakan maka rentan dikaitkan dengan konteks pernyataan lain yang senada dan serupa. 

Kalimat kedua (pengabdian berbalas surga) sama sekali tidak menerangkan kalimat pertama. Penutur kedua kalimat itu entah tidak paham apa yang disampaikannya atau sengaja mengalihkan perhatian dari pokok esensialnya.

Sehingga kedua kalimat tadi, setelah menimbang basis logisnya, tidak perlu dinyatakan. Terutama dari pihak yang kita beri kepercayaan untuk mengurusi bahasan dari pernyataan itu untuk menampilkannya sebagai fakta common sense. 

Terlepas dari narasi utuh di mana pernyataan itu disampaikan, kedua kalimat tadi tidak memberi kontribusi apa-apa. Demikianlah, klaim benar dari sebuah fakta tidak melulu melekat dan dapat ditelusur pada klaim kebenaran.

Jarak antara Benar ke Kebenaran

Klaim kebenaran melekat pada apa yang kita yakini sebagai keterpaduan atau harmonisasi seluruh bentuk kehidupan yang kita pahami. Cinta seorang ibu kepada anaknya diterima secara universal karena menunjukkan pola ketergantungan hidup dan relasi yang tidak dapat terpisahkan. 

Sebab jika hal itu terjadi, kehidupan kita yakini tidak akan menemukan wujud utuhnya.

Hal itulah yang coba Hegel jelaskan dalam Logic (terjemahan W. Wallace) bahwa terdapat ide absolut yang tidak sepenuhnya abstrak atau tak terjelaskan. 

Ide absolut itu menjadi muara yang mempertemukan masing-masing aliran kehidupan sehingga bukan masalah dari mana bentuk kehidupan itu berasal namun yang pokok adalah bagaimana kehidupan itu selaras dan saling menimpali  satu sama lain.

Keselarasan itu tentu mesti mengakui entitas masing-masing kehidupan dan setiap elemen penyokong kehidupan itu. Untuk memahami gambaran utuh dari suatu bentuk, tiap-tiap bagiannya mesti dipahami perbedaan dan atributnya. 

Subjek yang memahami harus menyadari terlebih dahulu posisinya yang terpisah dari objek yang coba ia pahami. Setelah itu, objek yang dipahami itu mesti pula dipisahkan dari objek lainnya.

David Loy dalam Non-duality: A Study in Comparative Philosophy-nya menyebutkan bahwa pengetahuan yang dibutuhkan untuk suatu klaim benar terlebih dahulu harus dipisahkan dari klaim kebenaran yang secara umum kita temui. 

Setelah itu, fakta yang kita coba usut untuk diberi klaim benar mesti terlebih dahulu dipisahkan dari fakta lainnya. Hal ini diperlukan untuk mengatur pola pikir kita agar tidak sembrono menerapkan basis logis yang serupa untuk dua atau lebih fakta yang berbeda.

Fokus terhadap fakta partikular itu ditujukan untuk menunjukkan atribut yang melekat padanya. Hal ini menyiratkan pula bahwa data yang kita sempat peroleh atau cerap dari sebuah peristiwa tidak harus dipaksakan pada kondisi umum sebab bisa saja konteksnya memang partikular. 

Medan yang melatarbelakangi sebuah peristiwa terlalu luas bagi indra kita untuk melingkupinya secara utuh. Untuk mengaitkannya pada jalinan keterpaduan yang lebih luas tentu butuh waktu dan pendalaman yang serius.

Namun satu hal yang mesti diingat bahwa konsep dualitas pada hakikatnya ada untuk menjembatani dua hal yang saling dipertentangkan. Benar membutuhkan Salah untuk membangun konsep atau atribut Benar-nya sendiri. 

Demikian pula dualitas lainnya; Baik dan Buruk, Umum dan Khusus, hingga Panas dan Dingin. Hilangnya salah satu dari elemen dualitas itu akan membatalkan elemen yang satunya lagi. Menurut Hegel, itu terjadi di setiap peristiwa.

Lalu, jika setiap peristiwa yang rujukan faktanya meski diklaim benar tapi harus melewati proses penundaan sebelum tiba simpulannya, apakah kita harus pada posisi diam saja? Tidak mesti pula demikian. 

Sebab 'penundaan' tidak hanya menyiratkan 'diam'. Dalam memberikan tanggapan (respon) terhadap sebuah peristuwa, banyak tahapan yang kita mesti lalui. Penundaan sebelum simpulan setidaknya akan memperbaiki basis logis dari argumen yang kita ajukan.

Alasan itulah yang membuat Wittgenstein menyarankan kita untuk diam dan tidak mengomentari sesuatu yang datanya tidak kita cerap secara utuh. 

Ibnu Rusyd pun dalam Tahaafut At-Tahaafut-nya menyentil kita bahwa bagaimana mungkin kita bisa meyakini simpulan yang diolah nalar kita sedangkan kita sendiri cenderung untuk mengabaikan sesuatu yang tidak kita ketahui atau bahkan tidak ingin ketahui?

Baginya, kemampuan yang kita selalu banggakan tidak lebih penggambaran akan ketidakmampuan kita sendiri. Tiap peristiwa tidak menjamin fakta, klaim benar-nya pun masih relatif terhadap kemampuan subjek mengolah nalarnya. 

Dengan demikian, fakta yang benar tidak melulu bisa diklaim sebagai sebuah bentuk kebenaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun