Mohon tunggu...
Azwar Abidin
Azwar Abidin Mohon Tunggu... Dosen - A humble, yet open-minded wordsmith.

Faculty Member at FTIK, State Islamic Institute of Kendari. Likes Reading, Drinks Coffee.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sosiologi: Ulasan Pendahuluan dan Para Pemikir Kunci

7 September 2019   20:08 Diperbarui: 7 September 2019   20:18 547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini saya maksudkan untuk memancing perhatian kawan-kawan mahasiswa(i) terhadap kajian sosiologis. Sebagai agen perubahan, mereka adalah harapan masyarakat untuk kehidupan sosial yang yang lebih baik. 

Terserah profesi apa yang mereka pilih nanti, modal kajian sosiologis diharapkan mampu membekali mereka untuk menghargai relasi mutual sebagai modal utama membangun sebuah peradaban. Sehingga mereka mampu menghargai diri sendiri sekaligus menghargai dan mengakui peran orang lain.

Saya pun menyebutkan beberapa pemikir kunci di bidang Sosiologi yang telah berjasa besar mewariskan disiplin ilmu ini hingga masih bertahan sampai hari ini. Penyebutan itu, secara kronologis, saya adopsi dari The Sociologi Book oleh DK dengan harapan bahwa kawan-kawan mahasiswa(i) dapat merujuk mereka secara lanjut dan terbiasa merujuk pakar dan tradisi berpikir mereka dalam hal apapun. Sehingga mereka dapat mengemukakan argumen mereka dengan rujukan mazhab yang jelas.

Manusia terikat dengan sesamanya dalam sebuah komunitas sosial untuk kebutuhan bertahan hidup. Sejak masa berburu dan meramu, komunitas ini semakin membesar dari ikatan kekeluargaan ke klan, suku, bangsa, hingga negara. Kecenderungan manusia untuk menetap dan bekerja bersama yang lain ditopang oleh semakin berkembangnya pengetahuan dan pemanfaatan teknologi memungkinkan sebuah masyarakat sipil terbentuk.

Kehidupan sosial itu kemudian membentuk cara pandang dan perilaku interaksi kita dengan sesama. Sehingga pada akhirnya memengaruhi tiap aspek dari kehidupan kita sendiri. Sebab setiap pengalaman psikologis kita dapat ditelusur jejaknya dalam interaksi sosial. Kita berbagi karakteristik yang serupa dengan anggota komunitas lainnya. Hal itu tidak hanya membentuk identitas diri namun juga ciri dari komunitas itu sendiri. 

Memahami dinamika perilaku tiap individu dalam komunitas sosialnya masing-masing dapat membantu kita menyesuaikan diri sekaligus berperan memberikan kontribusi untuk kebaikan bersama. Hal ini menyadarkan kita bahwa selama komunitas kita masih tetap solid dan terus menjalin interaksi mutual maka kita pun masih tetap mampu bertahan. Memahami dinamika interaksi sosial membantu kita memertahankan kondisi tersebut.

Sosiologi merupakan disiplin ilmu yang mengkaji kehidupan sosial dalam sebuah masyarakat. Disiplin ini membahas beragam topik seperti bagaimana perilaku individu terbentuk dan dibentuk oleh komunitasnya, seperti apa proses terbentuknya suatu komunitas, dinamika apa saja yang menggerakkannya, serta bagaimana dinamika-dinamika itu berpengaruh pada bertahannya atau berubahnya suatu kondisi sosial pada masyarakat tertentu.

Hingga sekarang, kajian Sosiologi semakin meluas dan mencakup pola manajemen masyarakat hingga telaah kebijakan publik. Meski termasuk disiplin ilmu yang baru dikembangkan di zaman modern, topik-topik kajian Sosiologi telah banyak dibahas oleh para filsuf Cina dan Yunani kuno sedari dulu. Perhatian para Filsuf tersebut, sayangnya, lebih mengarah ke masyarakat; bagaimana mereka diatur dan diarahkan. Sehingga lebih terkesan politis ketimbang sosial.

Sosiologi muncul sebagai respon kritis terhadap fenomena reformasi sosial radikal di penghujung abad 18. Terlebih, dampak modernisasi yang dipicu revolusi industri menempatkan teknologi sebagai salah satu faktor kunci transformasi sosial. Perkembangan teknologi disinyalir berperan meruntuhkan bentuk kohesi sosial tradisional semisal ikatan keluarga hingga nilai-nilai kearifan lokal yang dulunya disokong oleh agama.

Oleh karena itu, para pemikir mengalihkan perhatian mereka pada disiplin ilmu yang fokus ke kajian interaksi sosial masyarakat yang terpisah dari kajian filsafat, politik, dan sejarah. Apalagi Sains yang begitu pesat pada saat itu tidak tertarik mengkaji manusia dan perilaku mereka. Aspek-aspek modernitas yang memicu keteraturan-kekacauan serta integrasi-disintegrasi masyarakat dianggap mampu menjabarkan basis rasionalitas masyarakat modern.

Sosiologi merupakan produk dari semangat pencerahan Age of Reason yang mengedepankan proses berpikir rasional. Karl Marx, Emile Durkheim, dan Max Weber meneruskan semangat yang sebelumnya dirintis Adam Smith, Adam Ferguson, dan Auguste Comte ketika menampik tuduhan bahwa Sosiologi tidak memenuhi kriteria ilmiah sebagai suatu disiplin ilmu. Kriteria ilmiah menuntut hasil yang terukur. Namun Max Weber bersikeras bahwa ilmu sosial seharusnya bersifat interpretif.

Sumbangan kajian ilmiah Sosiologi terbukti mampu membentuk tatanan masyarakat yang terencana. Banyak perubahan tatanan sosial yang diperjuangkan oleh gerakan masyarakat dipicu oleh kesadaran kolektif hasil kajian mendalam disiplin ilmu ini. Karl Marx sendiri percaya bahwa tujuan ultim dari sebuah refleksi filosofis adalah membawa perubahan signifikan bagi kehidupan sosial; tidak cukup hanya dengan menjabarkan peristiwa yang terjadi.

Emile Durkheim pun mampu memenangkan kepercayaan komunitas ilmiah untuk menerima Sosiologi sebagai disiplin ilmu akademik. Pencapaian itu tidaklah mudah sebab ia harus membuktikan objektivitas kajiannya yang ia tunjukkan melalui polemik politis pasca revolusi Perancis. Sehingga Sosiologi tidak hanya semakin percaya diri dengan mengadopsi pendekatan interpretif namun juga mampu menjadi perangkat bagi suatu bentuk reformasi sosial.

Dalam perkembangannya, kajian sosiologis juga menyasar karakter dasar kekuasaan yang mengikat masyarakat serta dampaknya pada individu. Michael Foucault, Sosiolog bermazhab Marxist ini tertantang untuk mengungkap kekuasaan yang dimiliki oleh institusi sosial dalam membentuk sikap dan perilaku individu. Baginya, individu tidak hanya mesti memahami perannya namun juga harus menyiapkan diri untuk membendung kuasa yang membatasi hak-hak dasarnya.

Sosiologi yang awalnya hanya mengkaji struktur dan sistem interaksi sosial masyarakat, daya yang membentuk kohesi sosial, serta penyebab kekacauan masyarakat kini mulai menguji aspek-aspek yang melandasi hubungan individu dalam komunitas sosialnya. Pendekatan kajian sosial, oleh para Sosiolog, terbagi atas fokus pada masyarakat dan institusi penopangnya (makro) dan fokus pada pengalaman hidup individu di dalam komunitasnya (mikro).

Seperti disinggung sebelumnya, kajian sosiologis ditujukan untuk perubahan signifikan dalam masyarakat. Sejauh ini, pencapaian signifikan seperti semakin sadarnya masyarakat akan bias gender dan perilaku rasisme yang digaungkan oleh gerakan pemenuhan hak asasi manusia serta gerakan feminisme terbukti mampu membuat kehidupan sosial lebih solid dan mutual. Selain itu, teori-teori yang dilahirkan oleh kajian sosial turut membentuk konsep kita terhadap seksualitas dan kehidupan berkeluarga.

Tentunya, di era masyarakat global yang interaksi sosialnya lebih kompleks dengan pesatnya inovasi teknologi dan revolusi industri menjadikan posisi Sosiologi semakin absah. Internet dan komputerisasi menjadikan proses otomatisasi semakin mungkin di tengah membludaknya konsumsi masyarakat modern. 

Hal-hal itu tentu berperan dalam membentuk pola interaksi masyarakat kita hari ini. Perkembangan perangkat dan layanan komunikasi, di sisi lain, semakin memangkas jarak untuk kepentingan berinteraksi.

Fenomena globalisasi ini pun tidak luput dari perhatian para Sosiolog. Mereka pun berusaha menjelaskan pentingnya identitas budaya dan bangsa dalam kerangka interaksi global. Terutama bagi komunitas kecil yang berupaya melestarikan warisan kearifan lokalnya sebagai basis identitas mereka. Interaksi masyarakat global pun menemukan ruang baru yakni media sosial yang mampu menyatukan masing-masing individu dengan latar belakang berbeda untuk mengangkat agenda serta kepentingan mereka.

Sejarah Perkembangan Sosiologi

Sosiologi sebagai disiplin ilmu baru dimulai di abad 20 meski benih-benih kajiannya sudah lama menjadi perhatian para filsuf dan sejarawan. Ibnu Khaldun, intelektual muslim di abad 14, menjadi salah seorang perintis kajian sosial yang konsep-konsep bahasannya baru mendapat sambutan setelah revolusi industri di abad 18. Abad itu menandai konsep modernitas yang menandai merebaknya industrialisasi di segala bidang dan munculnya kapitalisme.

Sekitar tahun 1370an, Ibnu Khaldun menulis tentang ashabiyyah; sebuah konsep tentang solidaritas yang digali dari peradaban Arab dan menjadi salah satu perhatian kitab Muqaddimah-nya. Konsep itu berkaitan dengan nilai-nilai yang dianut oleh sebuah komunitas untuk menegaskan karakter dan identitas. Selain itu, ia juga berfungsi sebagai perekat ikatan sosial (social cohesion) yang membuat tiap-tiap individu di sebuah komunitas memiliki tanggungjawab.

Pada tahun 1767, Adam Ferguson menulis Essay on the History of Civil Society. Di situ ia menjelaskan pentingnya semangat yang dimiliki masyarakat sipil untuk membendung dampak negatif dari kapitalisme yang menggerogoti sendi-sendi interaksi mutual masyarakat. Menurutnya, kapitalisme yang lahir sebagai konsekuensi logis dari industrialisasi turut menumbuhkan individualisme yang cukup memprihatinkan. Sebab individu mulai menempatkan diri di atas masyarakat.

Sosiologi sebagai disiplin ilmu mesti menerapkan prinsip rasional dan ilmiah dalam mengajukan simpulan-simpulannya. Oleh sebab itu, filsuf berkebangsaan Perancis, Henri de Saint-Simon menulis Essay on the Science of Man pada 1813 dan mengenalkan seperangkat metode yang dapat diterapkan untuk menyediakan bukti empirik dan dapat diverifikasi. Hal itu dilakukan untuk mendukung teori-teori yang diajukan oleh kajian sosiologis sehingga lebih terukur dan terpercaya.

Metode ilmiah itu kemudian dibahas secara lanjut oleh Auguste Comte dalam Course in Positive Philosophy-nya. Ia dengan tegas menyatakan bahwa Sosiologi telah membuktikan diri sebagai disiplin ilmu yang ilmiah. Comte yakin bahwa nilai-nilai yang melandasi suatu ikatan dan keikutsertaan sosial juga mampu dijelaskan oleh suatu hukum seperti di kajian Sains. Selain itu, kajian terapan sosiologis mampu menginspirasi reformasi sosial selayaknya Sains memicu perkembangan teknologi.

Berikutnya, kajian sosiologis mulai menyasar agenda-agenda emansipasi sebagai jalan menuju reformasi sosial. Karya Harriet Martineau, Theory and Practice of Society in America pada tahun 1837, mulai mengangkat isu ketimpangan sosial. Hal itu menyangkut perlakuan rasis sekaligus penindasan pada golongan tertentu seperti budak, buruh, perempuan, dan minoritas lainnya. Isu-isu menyangkut ketimpangan sosial ini kemudian menarik perhatian banyak sosiolog untuk menyingkap akar masalahnya.

Salah satunya adalah Karl Marx yang menulis The Communist Manifesto di tahun 1848 bersama Friedrich Engels. Dalam karya itu, Marx dan Engels mengajak kaum buruh untuk membebaskan diri dari rutinitas industri yang diciptakan para pemilik modal alih-alih tunduk pada realitas sosial di masyarakat sekitarnya. Marx menekankan bahwa tugas para sosiolog tidak hanya sebatas menerjemahkan dan menjabarkan realitas sosial namun juga mesti membawa perubahan positif terhadapnya.

Marx juga berupaya menghadirkan analisis ilmiah yang cukup kompleks untuk menegaskan metodenya sebagai perangkat baru dalam memahami disiplin ilmu ekonomi. Seperti yang dituangkan Marx dalam jilid satu Das Kapital pada tahun 1867, di situ ia menganalisis secara komprehensif Kapitalisme dan menemukan bahwa Kapitalisme merupakan faktor utama dari konsep modernisasi yang memicu perubahan drastis pada interaksi masyarakat. Faktor yang telah diperingatkan oleh pendahulunya, Adam Ferguson dan Harriet Martineau.

Faktor itu mengancam nilai perekat ikatan sosial tradisional yang bertumpu pada relasi mutualisme komunal dengan prinsip kepentingan pribadi yang menguat pada masing-masing individu. Hal itu muncul sebagai akibat fenomena industrialisasi abad 19 yang berhasil menciptakan masyarakat kapitalis. Faktor tadi juga menginspirasi Ferdinand Tonnies membedakan antara komunitas tradisional dan komunitas modern yang ia gali dari ide-ide Ferguson. Konsepnya itu ia jabarkan di Gemeinschaft und Gesellschaft pada tahun 1887.

Sebelum Tonnies membedakan dua komunitas yang diikat oleh nilai dan kultur yang berbeda, Herbert Spencer berpendapat bahwa masyarakat berevolusi seperti makhluk hidup. Dalam System of Synthetic Philosophy-nya yang berjilid-jilid itu, ia mengemukakan bahwa masyarakat tidak lebih dari organisme yang menyesuaikan diri terhadap tuntutan lingkungannya. Sehingga harus pula dipahami bahwa dalam kondisi bertahan hidup, hanya yang terkuat yang mampu bertahan.

Sosiologi sebagai disiplin ilmu akhirnya mampu menegaskan posisinya di antara disiplin ilmu lainnya seperti Filsafat, Sejarah, Politik, dan Ekonomi. Di penghujung abad 19, berkat usaha tekun Emile Durkheim yang mengikuti saran Auguste Comte untuk menerapkan metode ilmiah pada kajian sosial akhirnya mampu memenangkan kepercayaan kaum cendekiawan terhadap disiplin ilmu ini. Durkheim pun sepakat dengan Spencer bahwa masyarakat hanyalah organisme yang masing-masing organ tubuhnya punya tugas tersendiri.

Emile Durkheim menuangkan gagasan-gagasan itu di The Division of Labor in Society-nya pada tahun 1893. Gagasan-gagasan itu berpusat pada konsep solidaritas organik (organic solidarity) yang menjelaskan bahwa masing-masing individu dalam sebuah komunitas saling terkait dan saling membutuhkan satu sama lain. Untuk memfasilitasi kajian di bidang sosiologi, Durkheim mendirikan Departemen Sosiologi untuk pertama kalinya di Eropa di University of Bordeaux pada tahun 1895 dan menerbitkan The Rules of Sociological Method.

Misi Durkheim untuk mendapat simpati kalangan cendekiawan akhirnya terwujudkan. Namun tidak dengan pendekatan yang ia pilih. Antara tahun 1904-1905, Marx Weber menulis The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism yang menawarkan penjelasan baru mengenai bagaimana masyarakat modern dapat berevolusi. Weber cenderung memilih pendekatan subjektif ketika mengemukakan gagasannya. Menurutnya, penjabaran interpretatif lebih memadai dan lebih cocok terhadap kajian sosiologis.

Pendekatan dengan nuansa kualitatif itu memberi tempat terhadap bahasan-bahasan yang menyangkut budaya, identitas, dan kekuasaan. Sehingga kajian mikro yang mengulik dampak institusi sosial dan pengaruh yang melibatkan kaum elit atau pemerintah terhadap kehidupan pribadi individu mulai mendapat perhatian. Gagasan-gagasan Max Weber ini dipopulerkan oleh duet Charles Wright Mills dan Hans Heinrich Gerth dalam From Max Weber: Essays in Sociology di tahun 1946.

Pada tahun 1959, Charles Wright Mills menyarankan para Sosiolog untuk mengarahkan kajiannya dalam bentuk terapan. Hal itu ia tuangkan dalam The Sociological Imagination-nya di mana ia berharap bahwa kajian sosiologis dapat diterapkan demi kepentingan pengembangan kualitas masyarakat. Salah satunya dengan memahamkan masyarakat bahwa kewenangan yang dimiliki institusi sosial pada dasarnya bersumber dari kepercayaan dan kesepakatan masyarakat sehingga mesti berpihak pada kepentingan masyarakat secara umum.

Saran Mills itu disambut oleh Harold Garfinkel yang mengubah haluan metodenya dalam kajian sosial yang dilakukannya. Pada tahun 1967, ia menerbitkan Studies in Ethnomethodology yang memperkenalkan sasaran kajian sosiologinya; mengamati perilaku sehari-hari dari masing-masing individu dalam sebuah komunitas yang secara langsung baik disadari maupun tidak berkontribusi terhadap keteraturan masyarakat.

Langkah itu diikuti oleh Michael Foucault yang memusatkan perhatiannya pada rantai kekuasaan yang didominasi para elit melalui institusi-institusi sosial. Melalui Discipline and Punish-nya di tahun 1975, Foucault menjelaskan bagaimana rantai kekuasaan itu membelenggu kebebasan individu dengan memaksakan norma-norma sosial yang diciptakan dan didefinisikan oleh para elit. Keistimewaan dalam menggenggam kekuasaan itu berlindung di balik dalih keteraturan kehidupan bermasyarakat.

Kajian Michael Foucault itu, yang juga menyinggung bagaimana norma seksual didikte oleh mayoritas, menginspirasi Judith Butler untuk mengevaluasi konsep-konsep tradisional tentang gender dan seksualitas. Kajiannya terkait isu tersebut ia tuangkan dalam Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity di tahun 1990. Menurutnya, peran institusi sosial dalam mendikte norma sosial yang berlaku dalam suatu komunitas, termasuk seksualitas, justru dapat dimanfaatkan golongan tertentu untuk mempromosikan ideologi mereka.

Sampai sekarang, kajian sosiologis terus mengalami perkembangan dan semakin mendapat legitimasi dari masyarakat secara umum. Ragam kajiannya pun semakin berimbang antara makro yang menyasar masyarakat sebagai suatu kesatuan dan mikro yang menerjemahkan pengalaman individual dalam konteks bermasyarakat. Sumbangan kajian itu punya peran besar dalam membentuk komunitas sosial seperti yang kita kenal hari ini.

Kajian itu juga memberikan kita prediksi tentang masyarakat apa yang akan kita ciptakan di masa yang akan datang. Yang terpenting, kajian sosiologis menyadarkan kita bahwa kontribusi individual dalam kerangka relasi mutual yang utuh dalam sebuah komunitas merupakan modal utama bagi kita untuk bertahan hidup. Oleh karena itu kita bisa memahami peran kita dan peran orang lain dalam kehidupan kita sehingga kita bisa saling menghargai dan saling menjaga satu sama lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun