Pendekatan dengan nuansa kualitatif itu memberi tempat terhadap bahasan-bahasan yang menyangkut budaya, identitas, dan kekuasaan. Sehingga kajian mikro yang mengulik dampak institusi sosial dan pengaruh yang melibatkan kaum elit atau pemerintah terhadap kehidupan pribadi individu mulai mendapat perhatian. Gagasan-gagasan Max Weber ini dipopulerkan oleh duet Charles Wright Mills dan Hans Heinrich Gerth dalam From Max Weber: Essays in Sociology di tahun 1946.
Pada tahun 1959, Charles Wright Mills menyarankan para Sosiolog untuk mengarahkan kajiannya dalam bentuk terapan. Hal itu ia tuangkan dalam The Sociological Imagination-nya di mana ia berharap bahwa kajian sosiologis dapat diterapkan demi kepentingan pengembangan kualitas masyarakat. Salah satunya dengan memahamkan masyarakat bahwa kewenangan yang dimiliki institusi sosial pada dasarnya bersumber dari kepercayaan dan kesepakatan masyarakat sehingga mesti berpihak pada kepentingan masyarakat secara umum.
Saran Mills itu disambut oleh Harold Garfinkel yang mengubah haluan metodenya dalam kajian sosial yang dilakukannya. Pada tahun 1967, ia menerbitkan Studies in Ethnomethodology yang memperkenalkan sasaran kajian sosiologinya; mengamati perilaku sehari-hari dari masing-masing individu dalam sebuah komunitas yang secara langsung baik disadari maupun tidak berkontribusi terhadap keteraturan masyarakat.
Langkah itu diikuti oleh Michael Foucault yang memusatkan perhatiannya pada rantai kekuasaan yang didominasi para elit melalui institusi-institusi sosial. Melalui Discipline and Punish-nya di tahun 1975, Foucault menjelaskan bagaimana rantai kekuasaan itu membelenggu kebebasan individu dengan memaksakan norma-norma sosial yang diciptakan dan didefinisikan oleh para elit. Keistimewaan dalam menggenggam kekuasaan itu berlindung di balik dalih keteraturan kehidupan bermasyarakat.
Kajian Michael Foucault itu, yang juga menyinggung bagaimana norma seksual didikte oleh mayoritas, menginspirasi Judith Butler untuk mengevaluasi konsep-konsep tradisional tentang gender dan seksualitas. Kajiannya terkait isu tersebut ia tuangkan dalam Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity di tahun 1990. Menurutnya, peran institusi sosial dalam mendikte norma sosial yang berlaku dalam suatu komunitas, termasuk seksualitas, justru dapat dimanfaatkan golongan tertentu untuk mempromosikan ideologi mereka.
Sampai sekarang, kajian sosiologis terus mengalami perkembangan dan semakin mendapat legitimasi dari masyarakat secara umum. Ragam kajiannya pun semakin berimbang antara makro yang menyasar masyarakat sebagai suatu kesatuan dan mikro yang menerjemahkan pengalaman individual dalam konteks bermasyarakat. Sumbangan kajian itu punya peran besar dalam membentuk komunitas sosial seperti yang kita kenal hari ini.
Kajian itu juga memberikan kita prediksi tentang masyarakat apa yang akan kita ciptakan di masa yang akan datang. Yang terpenting, kajian sosiologis menyadarkan kita bahwa kontribusi individual dalam kerangka relasi mutual yang utuh dalam sebuah komunitas merupakan modal utama bagi kita untuk bertahan hidup. Oleh karena itu kita bisa memahami peran kita dan peran orang lain dalam kehidupan kita sehingga kita bisa saling menghargai dan saling menjaga satu sama lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H