Mohon tunggu...
Azwar Abidin
Azwar Abidin Mohon Tunggu... Dosen - A humble, yet open-minded wordsmith.

Faculty Member at FTIK, State Islamic Institute of Kendari. Likes Reading, Drinks Coffee.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Prasangka Tidak Patut Kita Acu: Buktikan atau Hindari!

29 Agustus 2019   18:11 Diperbarui: 29 Agustus 2019   18:23 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keberatan dengan pandangan atau pendapat orang lain dapat ditempuh dengan memeriksa argumen lalu menunjukkan kesalahan pikir yang ditunjukkan oleh argumen tersebut kepada yang bersangkutan tanpa harus melibatkan hal di luar konteks argumen itu seperti kepribadian atau perilaku yang ditunjukkannya. Namun sebelum melakukan hak itu, cek argumen yang diajukan secara berulang untuk memastikan jangan sampai ada bias prasangka atau malah sesat pikir yang luput dari proses penalaran kita sendiri.

Konversi Prasangka ke Rasa Penasaran

Salah satu cara paling ampuh untuk menundukkan prasangka adalah dengan mengonversinya menjadi rasa penasaran. Hal itu dilakukan saat prasangka sudah hampir membuat kita mengutarakan simpulan. Jika kita terpancing untuk menuduh (hasil dari sebuah simpulan) seseorang, cobalah sedikit bersabar dan mencari informasi tentang orang itu. Sebisa mungkin kenali dia atau paling tidak kenali situasi di mana ia sedang berada dalam suatu konteks.

Rasa penasaran akan memandu kita untuk menghimpun sebanyak mungkin penjelasan. Setidaknya, penjelasan itu akan menyingkap kekaburan prasangka yang kita bangun alih-alih fokus pada simpulannya saja. Rasa penasaran akan terpuaskan dengan penjelasan bahkan yang tidak memadai sekalipun. Lagipula, dengan penjelasan yang dituntut oleh rasa penasaran itu akan membantu kita memahami motif dan maksud dari tindakan kita sendiri.

Jika prasangka merupakan sebuah konsekuensi logis dari realitas historis (seperti kata Heidegger dan Gadamer tadi) yang tidak bisa kita hindari maka hal yang paling mungkin kita lakukan adalah mengalihkannya. Pengalihan itu ditujukan pada rasa penasaran yang menyediakan kesempatan bagi kita untuk menguji asumsi-asumsi dari simpulan prasangka. Pengujian itu dilakukan dengan memasangkan asumsi yang ada dengan penjelasan tertentu.

Pastikan dengan seksama suatu penjelasan cocok untuk asumsi tertentu agar simpulan itu tidak dinyatakan sebagai prasangka tapi sebagai bentuk klarifikasi atas suatu hal. Ingat bahwa prasangka hanya peduli pada simpulan akhir dan tidak mengindahkan penjelasannya sehingga sering dianggap sebagai tuduhan tak berdasar. Rasa penasaran, sebaliknya, menuntun kita mencari penjelasan sehingga melatih kemampuan kita mengklarifikasi suatu asumsi. Konversi prasangka ke rasa penasaran merupakan konversi sikap masa bodoh ke sikap rasional (terukur).

Menahan diri dari memercayai dan menyebarkan prasangka tidak hanya baik untuk kesehatan mental dan bangunan spiritual diri kita namun juga mampu menghindarkan kita dari berbuat kerusakan. Prasangka memang tidak dapat ditampik namun bisa dialihkan ke hal yang lebih mendukung kegiatan berpikir kritis. Dengan bahasan ini, semoga prasangka dapat lebih kita kenali dan hindari. Jika kita bertemu dengannya, kita mampu secara sigap menunjukkan sesat pikirnya dan menghentikan penyebarannya. Semoga refleksi ini memeroleh manfaatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun