Mohon tunggu...
Azwar Abidin
Azwar Abidin Mohon Tunggu... Dosen - A humble, yet open-minded wordsmith.

Faculty Member at FTIK, State Islamic Institute of Kendari. Likes Reading, Drinks Coffee.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Prasangka Tidak Patut Kita Acu: Buktikan atau Hindari!

29 Agustus 2019   18:11 Diperbarui: 29 Agustus 2019   18:23 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kedudukan prasangka (prejudice) sebagai landasan pengungkapan kebenaran memang tidak pernah mendapat legitimasi dari para pemikir sejak dahulu. Cicero menganggapnya penuh dengan kepalsuan dan hanya dimiliki oleh orang yang terburu-buru mengambil keputusan. Francis Bacon menyamakannya dengan cermin palsu (false mirror) yang cenderung memilah dan menerima opini yang hanya mendukung pendapat tertentu dan menutup mata terhadap penjelasan lainnya.

Prasangka hanya mengindahkan simpulan dan tidak tertarik menguji putusan yang lahir dari simpulan tersebut. Voltaire mengilustrasikannya pada seorang anak yang diberitahu oleh orang tuanya untuk menghormati orang tertentu tanpa diberitahu alasannya. Anak itu beranjak dewasa hingga akhirnya ia menemukan bahwa orang yang dulunya dia mesti hormati ternyata pelaku kriminal. Dari situ ia sampai ke simpulan bahwa orang itu tidak pantas ia hormati.

Orang tua anak itu menarik simpulan hanya dengan melihat tampilan luar orang tersebut: pakaian rapi, jabatan, hingga status sosialnya. Setelah anaknya beranjak dewasa dan belajar banyak hal dan punya pengalaman, ia mendapati orang tersebut suka menghina dan merendahkan orang lain, menyalahgunakan jabatan, dan merampas hak-hak orang lain. Prasangka, menurut Voltaire, jangan sampai mempengaruhi hasil putusan akhir kita.

Berlanjut ke Immanuel Kant yang membedakan prasangka dengan praduga. Menurutnya, prasangka adalah praduga yang langsung dijadikan simpulan akhir. Ketika kita berusaha mengamati dan memahami sesuatu, muncul dugaan pada proses pikir kita. Hal ini wajar sebab kita punya latar belakang pengalaman dan itu menentukan dugaan yang muncul. Disebut praduga karena dugaan itu hanya berada di pikiran dan belum dinyatakan secara normatif.

Bagi Martin Heidegger dan George Gadamer, parasangka merupakan konsekuensi logis yang sebenarnya sudah mewujud dari pra-pemahaman kita. Prasangka merupakan masalah realitas historis yang berasal dari pengalaman masa lalu setiap orang. Kita selalu berusaha memahami sesuatu berdasarkan pandangan yang kita anggap benar (berdasarkan apa yang dulunya kita alami). Sehingga jika kita punya masa lalu maka prasangka tidak bisa kita hindari.

Lalu, jika prasangka merupakan proses kognitif yang tidak dapat kita hiraukan atau hindari, apa yang mesti kita perbuat? Jawabannya adalah dengan menerapkan proses berpikir kritis. Hal yang tidak mudah dan pada proses penerapannya akan sangat menyulitkan. Namun jika dibiasakan dan dilatih dengan tepat, proses berpikir kritis akan membantu kita menyisihkan hal-hal yang tidak perlu dalam pengambilan keputusan kita.

Al-Qur'an dan Prasangka

Al-Qur'an menyimpulkan bahwa mayoritas manusia cenderung mempercayai prasangka dan oleh sebab itu mereka tidak patut dijadikan pedoman (Q.S 6:116). Prasangka sama sekali tidak mendapat tempat di depan wajah kebenaran (Q.S 10:36). Prasangka yang disebut dengan "zhann" ini disebabkan oleh perilaku meremehkan proses klarifikasi dan validasi sebuah informasi dan hanya tunduk pada kebenaran publik. Kebenaran yang populer dan diterima hanya karena kebanyakan orang membicarakannya.

Al-Qur'an menilai bahwa dugaan yang dipicu oleh prasangka tidak sepantasnya dibicarakan atau bahkan didiskusikan. Sehingga untuk mengantisipasi sesat pikir dan kesalahan dalam berperilaku yang diakibatkan oleh prasangka diperlukan informasi memadai yang telah melewati proses klarifikasi dan validasi atau disebut dengan ilmu. Prasangka memaksakan realitas untuk menyesuaikan dengan kecurigaan seseorang sehingga begitu sempit dan penuh penyimpangan.

Bagi seorang Muslim(ah), Al-Quran mengingatkan bahwa menuruti prasangka yang tidak berdasar dapat berakibat dosa. Apalagi melibatkan seseorang dan menuduhnya tanpa klarifikasi dan bukti pendukung. Ayat-ayat yang menyebutkan kata prasangka selalu diikuti dengan kata ilmu atau kata yakin untuk menegaskan kontradiksi ketiganya. Begitupula, prasangka harus dihadapi dengan ilmu untuk memastikan keyakinan atas sebuah simpulan atau putusan.

Bahaya prasangka ada pada paradigma generalisasinya. Seseorang yang gemar berprasangka cenderung menilai orang lain seperti dirinya sendiri. Pada kasus Hadits Ifki (kabar palsu yang menimpa Sitti Aisyah istri Rasulullah Muhammad SAW) mereka membangun prasangka buruk terhadap Sitti Aisyah dengan alasan bahwa jika mereka atau siapa saja (menurut mereka) yang ada di posisi Sitti Aisyah akan melakukan perbuatan seperti yang mereka pikirkan.

Sikap menggeneralisasi itu sendiri sudah merupakan cara pandang yang sempit. Seakan semua orang punya pikiran dan perilaku yang seragam. Orang yang tenggelam dalam prasangkanya selalu melihat orang lain seperti dirinya. Dalam kasus yang menimpa Sitti Aisyah tadi, langkah yang disarankan adalah menghadirkan empat orang sebagai saksi dari apa yang dituduhkan untuk mengklarifikasi sekaligus memvalidasi kabar yang dituduhkan (Q.S 24:13).

Islam tidak menoleransi prasangka terutama dalam hal menyangkut harga diri seseorang. Bila seseorang tidak mampu membuktikan sesuatu menggunakan "ilmu" maka ia mesti menghadirkan empat orang saksi yang mampu menegaskan bukti yang dihadirkan. Keempat saksi itu informasinya mesti kohesif dan tidak tumpang tindih. Jika salah seorang saksi menunjukkan argumen yang tidak konsisten dengan tiga orang lainnya, persaksian itu mesti ditolak. Saksi ini mesti ditimbang kewarasan dan kepakarannya.

Hindari Prasangka Dengan Membuka Diri Terhadap Cara Pandang Baru

Dalam salah satu dialog Platon, Sokrates diceritakan gemar menyambut orang yang datang dari luar Athena untuk diajak berdiskusi. Orang asing itu, menurut Sokrates sangat diperlukan untuk memeriksa dogma yang kita anut selama ini. Boleh saja orang asing itu mengenalkan kita cara pandang yang benar-benar baru dan belum pernah kita pikirkan sebelumnya. Cara pandang itu bebas kita adopsi atau tolak, intinya, dapat memperkaya diskusi dan tentunya wawasan kita.

Mungkin dengan alasan yang sama Platon gemar menuangkan gagasan lewat dialog. Sebab dialog memberi tempat kepada lawan tutur untuk mengemukakan pendapatnya tanpa harus ditafsirkan terlebih dulu oleh orang lain. Dialog juga menandakan sikap terbuka kita untuk meluangkan waktu mendengar pendapat orang lain. Sehingga ia merasa diterima dan nyaman karenanya. Hal ini melatih kita untuk tidak langsung lompat pada simpulan tertentu sebelum mendengar sisi lain dari sebuah cerita.

Diskusi dan dialog mengajarkan kita untuk terbuka bergaul dengan siapa saja dan tidak terkungkung dengan komunitas kita sendiri. Sebab keterkungkungan itu hanya menyediakan kita pandangan yang sesuai dengan keinginan kita. 

Ketakutan terhadap pandangan yang berselisih dengan pandangan yang kita anut bukanlah respon yang ramah terhadap proses berpikir kritis. Ketakutan ini disebut Xenophobia, ketakutan kita terhadap anggapan bahwa orang lain ternyata bisa lebih baik dari diri kita sendiri.

Berpikir Kritis: Menahan Diri Dari Prasangka dan Ujaran Kebencian

Ketika pikiran kita tidak mampu terlibat dalam diskusi dan dialog lebih jauh dengan orang lain, dorongan kuat yang muncul dari dalam adalah melemparkan tuduhan dan ujaran kebencian baik verbal maupun secara tertulis kepada orang itu. 

Tuduhan dan ujaran kebencian merupakan dua bentuk paling umum dari prasangka. Tak lagi bisa mengolah argumen, tuduhan atau ujaran kebencian digunakan untuk mengalihkan perhatian pada pribadi seseorang dan bukannya pada pendapatnya. Hal yang menunjukkan ciri kelemahan dalam berpikir.

Kebebasan mengutarakan pendapat memang merupakan hak dasar setiap orang. Namun, seperti yang disebutkan Isaiah Berlin lewat konsep nilai sepadan, bahwa kebebasan itu nilainya sepadan dengan hak kehormatan diri dan hak atas perlakuan setara. Hak berpendapat yang tidak dibarengi menghargai kehormatan diri orang lain akan berakhir kekacauan sebab masing-masing orang akan menggunakan haknya untuk menyerang kehormatan diri satu sama lain.

Keberatan dengan pandangan atau pendapat orang lain dapat ditempuh dengan memeriksa argumen lalu menunjukkan kesalahan pikir yang ditunjukkan oleh argumen tersebut kepada yang bersangkutan tanpa harus melibatkan hal di luar konteks argumen itu seperti kepribadian atau perilaku yang ditunjukkannya. Namun sebelum melakukan hak itu, cek argumen yang diajukan secara berulang untuk memastikan jangan sampai ada bias prasangka atau malah sesat pikir yang luput dari proses penalaran kita sendiri.

Konversi Prasangka ke Rasa Penasaran

Salah satu cara paling ampuh untuk menundukkan prasangka adalah dengan mengonversinya menjadi rasa penasaran. Hal itu dilakukan saat prasangka sudah hampir membuat kita mengutarakan simpulan. Jika kita terpancing untuk menuduh (hasil dari sebuah simpulan) seseorang, cobalah sedikit bersabar dan mencari informasi tentang orang itu. Sebisa mungkin kenali dia atau paling tidak kenali situasi di mana ia sedang berada dalam suatu konteks.

Rasa penasaran akan memandu kita untuk menghimpun sebanyak mungkin penjelasan. Setidaknya, penjelasan itu akan menyingkap kekaburan prasangka yang kita bangun alih-alih fokus pada simpulannya saja. Rasa penasaran akan terpuaskan dengan penjelasan bahkan yang tidak memadai sekalipun. Lagipula, dengan penjelasan yang dituntut oleh rasa penasaran itu akan membantu kita memahami motif dan maksud dari tindakan kita sendiri.

Jika prasangka merupakan sebuah konsekuensi logis dari realitas historis (seperti kata Heidegger dan Gadamer tadi) yang tidak bisa kita hindari maka hal yang paling mungkin kita lakukan adalah mengalihkannya. Pengalihan itu ditujukan pada rasa penasaran yang menyediakan kesempatan bagi kita untuk menguji asumsi-asumsi dari simpulan prasangka. Pengujian itu dilakukan dengan memasangkan asumsi yang ada dengan penjelasan tertentu.

Pastikan dengan seksama suatu penjelasan cocok untuk asumsi tertentu agar simpulan itu tidak dinyatakan sebagai prasangka tapi sebagai bentuk klarifikasi atas suatu hal. Ingat bahwa prasangka hanya peduli pada simpulan akhir dan tidak mengindahkan penjelasannya sehingga sering dianggap sebagai tuduhan tak berdasar. Rasa penasaran, sebaliknya, menuntun kita mencari penjelasan sehingga melatih kemampuan kita mengklarifikasi suatu asumsi. Konversi prasangka ke rasa penasaran merupakan konversi sikap masa bodoh ke sikap rasional (terukur).

Menahan diri dari memercayai dan menyebarkan prasangka tidak hanya baik untuk kesehatan mental dan bangunan spiritual diri kita namun juga mampu menghindarkan kita dari berbuat kerusakan. Prasangka memang tidak dapat ditampik namun bisa dialihkan ke hal yang lebih mendukung kegiatan berpikir kritis. Dengan bahasan ini, semoga prasangka dapat lebih kita kenali dan hindari. Jika kita bertemu dengannya, kita mampu secara sigap menunjukkan sesat pikirnya dan menghentikan penyebarannya. Semoga refleksi ini memeroleh manfaatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun