Mohon tunggu...
Azwar Abidin
Azwar Abidin Mohon Tunggu... Dosen - A humble, yet open-minded wordsmith.

Faculty Member at FTIK, State Islamic Institute of Kendari. Likes Reading, Drinks Coffee.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Prasangka Tidak Patut Kita Acu: Buktikan atau Hindari!

29 Agustus 2019   18:11 Diperbarui: 29 Agustus 2019   18:23 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sikap menggeneralisasi itu sendiri sudah merupakan cara pandang yang sempit. Seakan semua orang punya pikiran dan perilaku yang seragam. Orang yang tenggelam dalam prasangkanya selalu melihat orang lain seperti dirinya. Dalam kasus yang menimpa Sitti Aisyah tadi, langkah yang disarankan adalah menghadirkan empat orang sebagai saksi dari apa yang dituduhkan untuk mengklarifikasi sekaligus memvalidasi kabar yang dituduhkan (Q.S 24:13).

Islam tidak menoleransi prasangka terutama dalam hal menyangkut harga diri seseorang. Bila seseorang tidak mampu membuktikan sesuatu menggunakan "ilmu" maka ia mesti menghadirkan empat orang saksi yang mampu menegaskan bukti yang dihadirkan. Keempat saksi itu informasinya mesti kohesif dan tidak tumpang tindih. Jika salah seorang saksi menunjukkan argumen yang tidak konsisten dengan tiga orang lainnya, persaksian itu mesti ditolak. Saksi ini mesti ditimbang kewarasan dan kepakarannya.

Hindari Prasangka Dengan Membuka Diri Terhadap Cara Pandang Baru

Dalam salah satu dialog Platon, Sokrates diceritakan gemar menyambut orang yang datang dari luar Athena untuk diajak berdiskusi. Orang asing itu, menurut Sokrates sangat diperlukan untuk memeriksa dogma yang kita anut selama ini. Boleh saja orang asing itu mengenalkan kita cara pandang yang benar-benar baru dan belum pernah kita pikirkan sebelumnya. Cara pandang itu bebas kita adopsi atau tolak, intinya, dapat memperkaya diskusi dan tentunya wawasan kita.

Mungkin dengan alasan yang sama Platon gemar menuangkan gagasan lewat dialog. Sebab dialog memberi tempat kepada lawan tutur untuk mengemukakan pendapatnya tanpa harus ditafsirkan terlebih dulu oleh orang lain. Dialog juga menandakan sikap terbuka kita untuk meluangkan waktu mendengar pendapat orang lain. Sehingga ia merasa diterima dan nyaman karenanya. Hal ini melatih kita untuk tidak langsung lompat pada simpulan tertentu sebelum mendengar sisi lain dari sebuah cerita.

Diskusi dan dialog mengajarkan kita untuk terbuka bergaul dengan siapa saja dan tidak terkungkung dengan komunitas kita sendiri. Sebab keterkungkungan itu hanya menyediakan kita pandangan yang sesuai dengan keinginan kita. 

Ketakutan terhadap pandangan yang berselisih dengan pandangan yang kita anut bukanlah respon yang ramah terhadap proses berpikir kritis. Ketakutan ini disebut Xenophobia, ketakutan kita terhadap anggapan bahwa orang lain ternyata bisa lebih baik dari diri kita sendiri.

Berpikir Kritis: Menahan Diri Dari Prasangka dan Ujaran Kebencian

Ketika pikiran kita tidak mampu terlibat dalam diskusi dan dialog lebih jauh dengan orang lain, dorongan kuat yang muncul dari dalam adalah melemparkan tuduhan dan ujaran kebencian baik verbal maupun secara tertulis kepada orang itu. 

Tuduhan dan ujaran kebencian merupakan dua bentuk paling umum dari prasangka. Tak lagi bisa mengolah argumen, tuduhan atau ujaran kebencian digunakan untuk mengalihkan perhatian pada pribadi seseorang dan bukannya pada pendapatnya. Hal yang menunjukkan ciri kelemahan dalam berpikir.

Kebebasan mengutarakan pendapat memang merupakan hak dasar setiap orang. Namun, seperti yang disebutkan Isaiah Berlin lewat konsep nilai sepadan, bahwa kebebasan itu nilainya sepadan dengan hak kehormatan diri dan hak atas perlakuan setara. Hak berpendapat yang tidak dibarengi menghargai kehormatan diri orang lain akan berakhir kekacauan sebab masing-masing orang akan menggunakan haknya untuk menyerang kehormatan diri satu sama lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun