Mohon tunggu...
Azwar Abidin
Azwar Abidin Mohon Tunggu... Dosen - A humble, yet open-minded wordsmith.

Faculty Member at FTIK, State Islamic Institute of Kendari. Likes Reading, Drinks Coffee.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Memahami Peran Perangkat Teknologis, Ulasan "Dunia Pasca-Manusia" oleh Budi Hartanto (Bagian Satu)

25 Agustus 2019   21:51 Diperbarui: 25 Agustus 2019   22:15 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahan bacaan yang mengulas hubungan kita dengan perangkat teknologis (dalam kerangka kajian filsafat teknologi) bukan hanya terbatas namun juga sulit ditemukan. Buku yang membahas tema-tema kontemporer filsafat teknologi dengan judul Dunia Pasca-Manusia yang ditulis Budi Hartanto ini saya temui di Gramedia Mall Panakkukang Makassar pada tahun 2013 lalu. Hanya tersisa sebuah dan semenjak itu saya tak lagi pernah menemukannya.

Bagi saya, apa yang menjadi bahasan buku ini sangat menarik. Meski penjelasannya cukup rumit, istilah-istilah dari filsuf yang dikutip terkadang memaksa saya untuk mengeluarkan jurus cross-reading; teknik membaca dengan menghadirkan buku yang dirujuk oleh buku yang sedang dibaca. Oleh sebab bahasan yang sangat padat, ulasan kali ini hanya menyasar bagian awal buku ini: instrumentarium.

Budi Hartanto bertolak dari kritik eksploratif Don Ihde terhadap fenomenologi warisan Edmund Husserl dan Martin Heidegger. Kritik itu melahirkan Posfenomenologisme yang menyediakan cara pandang yang dapat membantu kita memahami realitas yang termediasi. Mediumnya adalah teknologi yang kemudian memunculkan poesis; seni mengungkapkan pembacaan baru.

Perangkat Itu Berciri Instrumen Teknologis

Instrumen teknologis membentuk persepsi kita sejauh kemampuan kita mengembangkan dan memanfaatkannya. Sehingga relasi kita terhadap dunia realitas dapat diukur sedalam pemahaman relasi kita terhadap instrumen yang tidak dapat lagi dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Don Ihde, seperti yang dijelaskan oleh Budi Hartanto, menyebutkan empat bentuk relasi manusia terhadap instrumen teknologi; kemenubuhan, hermeneutis, alteritas, dan latar belakang.

Relasi kemenubuhan mengatasi keterbatasan fisik dalam membaca realitas. Teleskop membantu kita memahami benda-benda langit, mikroskop membantu kita mengenali perilaku organisme tak kasat mata, hingga drone yang mengantar kita menjangkau area yang sulit.

Relasi ini menjadikan teknologi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tubuh malah dapat mensubstitusi kehadiran tubuh. Telepon, misalnya, yang menjadikan suara sebagai ganti dari kehadiran tubuh. Kamera dapat menangkap gambar atau video dari sebuah peristiwa kemudian mengantarkannya melintasi dimensi ruang dan waktu.

Relasi hermeneutis menempatkan teknologi sebagai media pembacaan yang sifatnya perseptual. Meski terlepas dari tubuh namun mewakili kualitas yang dipersepsikan dari tubuh. Seperti termometer yang menegaskan eksistensi perseptual suhu dari tubuh atau foto yang mewakili citra dari tubuh. Relasi alteritas dan latar belakang, di sisi lain, menempatkan teknologi sebagai entitas yang terpisah dari tubuh manusia.

Teknologi transportasi, misalnya, dikembangkan secara terpisah dari tubuh manusia namun ditujukan untuk memudahkan pergerakan (mobilitas) tubuh manusia. Relasi latar belakang bahkan lebih jauh lagi dengan menempatkan teknologi sebagai motor penggerak fasilitas kehidupan manusia yang terkadang tidak disadari secara langsung. Seperti kecerdasan buatan yang membuat mesin bekerja secara otomatis atau menara pemancar sinyal yang memastikan komunikasi nirkabel berjalan mulus.

Dunia yang dihadirkan oleh teknologi disebut realisme instrumental. Konsep ini pun kemudian melahirkan dua macam pandangan terhadap realitas; makropersepsi dan mikropersepsi. Makropersepsi menuntut pembacaan atau interpretasi dari kualitas-kualitas yang disajikan oleh teknologi. Perilaku lingkungan planet Mars yang ditangkap oleh sensor probe, sebagai contoh, memerlukan proses transformasi pengalaman probe tersebut dari para ahli.

Maksudnya, data yang dikirim oleh probe tersebut mesti diterjemahkan oleh para ahli sebelum dapat dikonsumsi oleh publik. Mikropersepsi, di sisi lain, menghadirkan sensasi pengalaman inderawi dan bukan merupakan objek pengalaman itu sendiri. Suara yang dihadirkan oleh telepon bukanlah tujuan utama namun sensasi kebersamaan dari pemilik suara yang seakan hadir menemani di sisi.

Baik probe maupun telepon adalah perpanjangan dari tubuh namun sangat berpengaruh dalam membentuk pandangan kultural masyarakat modern. Perlu dicatat bahwa realitas yang dihadirkan itu nyata dan bukanlah artifisial meski dimediasi oleh instrumen teknologis. Pengalaman yang dihadirkan oleh instrumen (perangkat) itu benar-benar dapat dirasakan keberadaannya.

Sains (Yang Menghamba) Publik

Sains menggiring pandangan publik lewat penjelasannya terhadap suatu fenomena alam. Penjelasan ini merupakan hasil dari penalaran yang pembuktiannya hanya melibatkan dunia fisik. Tradisi menjelaskan fenomena alam ini mulai menarik perhatian para pemikir sejak Francis Bacon mengkritik metode induksi dalam silogisme khas Aristoteles dengan mengemukakan prinsip verifikasi dan observasi.

Tendensi materialis dari pola pikir ini dianggap mereduksi segala sesuatu secara abstrak dan ideal. Artinya, perhitungan matematis (abstrak) dianggap cukup merepresentasi kondisi alam yang sebenarnya (ideal). Edmund Husserl lalu menegaskan bahwa tendensi itu sebenarnya tidak sepenuhnya materialis. Ada hal yang sifatnya psikologis dalam proses penjelasan itu.

Hal itu adalah persepsi yang diperoleh setelah kontak fisik dengan realitas inderawi. Sebab akal mesti menerjemahkan sinyal yang diteruskan oleh indera manusia. Namun, penerjemahan sinyal (mikropersepsi) itu, selanjutnya, juga dipengaruhi oleh idealitas dunia ilmiah. Idealitas dunia ilmiah yang dimaksud adalah kepercayaan yang diberikan publik berdasarkan pencapaian empirik sains melalui instrumen yang digunakan.

Menurut Don Ihde, ketika mengkritik Husserl, kondisi ideal itu disebut makropersepsi dan sepenuhnya terjadi di luar konteks praktek sains itu sendiri. Patut diperhatikan bahwa persepsi, seperti yang dipopulerkan oleh Maurice Merleau-Ponty, tidak menuntun kita pada kebenaran seperti yang selama ini penjelasan Sains coba untuk meyakinkan kita. Persepsi hanya sebatas mengenalkan kita pada kondisi sementara dari realitas yang tidak tercerap oleh indera.

Diskusi persepsi manusia tentang sains semakin menarik saat Roy Bhaskar menunjukkan bahwa temuan dan simpulan Sainslah yang sebenarnya mengubah pandangan kita terhadap dunia. Sains memberikan penjelasan mengenai suatu fenomena dan simpulan yang diberikannya mesti diterima selama tidak ada penjelasan lain yang mampu membuktikan kesalahannya.

Teori Big Bang, misalnya, yang memberikan penjelasan tentang asal mula kehidupan dapat dipercaya oleh publik yang menganggapnya lebih dapat diterima ketimbang penjelasan teks dari kitab suci. Namun hal itu dibantah oleh Don Ihde yang menegaskan bahwa justru Sains tidak dapat mengklaim kebenarannya secara terpisah dari persepsi publik.

Sains dipercaya hanya karena instrumen yang dihasilkannya mampu memberi jawaban sementara atas problematika sehari-hari. Sementara itu, publik memanfaatkan instrumen teknologis secara berbeda tergantung tujuan mereka masing-masing. Dalam kasus Teori Big Bang, orang bebas meyakini entah itu terjadi begitu saja atau itu terjadi karena campur tangan Tuhan.

Sains, dalam pandangan Don Ihde, bersifat hermeneutis: selalu terbuka terhadap penafsiran. Yang ditafsirkan bukanlah teks namun materi yang menjadi objek Sains. Usia fosil yang ditentukan melalui pembacaan zat carbon (carbon dating), misalnya, itu ditentukan oleh instrumen teknologis yang digunakan pada proses tersebut.

Demikian pula dengan teleskop membantu Galileo Galilei menemukan benda-benda langit dan bagaimana mereka bergerak. Hal itu berarti bahwa dikotomi antara realitas ilmiah versus non-ilmiah itu sesungguhnya tidak ada. Sebab baik ilmuwan maupun masyarakat umum pada dasarnya merasakan pengalaman yang sama yang diperoleh dari pembacaan instrumen teknologis.

Namun, Don Ihde mengakui dikotomi antara pengalaman transitif dan instransitif. Pengalaman transitif dipengaruhi dimensi sosial dari penggunaan alat dan artefak teknologi sedangkan pengalaman instransitif itu berdiri sendiri dan sama sekali berada di luar konteks dinamika sosial. Keterlibatan publik dalam interpretasi temuan dan simpulan Sains inilah yang membendakan Don Ihde dari Roy Bhaskar.

Roy Bhaskar bersikeras bahwa Sains yang ideal adalah yang tidak dipengaruhi oleh konteks sosial. Sains mesti dalam posisi liberal, dibiarkan berkembang secara mandiri tanpa ada intervensi. Tapi nampaknya, menurut Karlina Supelli, hal itu sulit diwujudkan. Sebab segala bentuk aktivitas manusia adalah bagian dari kebudayaan, termasuk Sains itu sendiri.

Yang tak kalah penting adalah bahwa Sains mesti melayani publik. Pencapaian Sains harus dapat diterapkan secara praktis untuk memudahkan kehidupan masyarakat. Sains mesti peka dengan realitas sosial termasuk dengan masalah etika yang mengawal proses penerapan Sains dalam pengembangannya. Oleh itu, hermeneutika material Sains menegaskan simpulan bahwa realitas tidak hanya dipahami secara logis dan rasional namun juga terbantukan oleh persepsi inderawi saat menggunakan alat atau artefak Sains.

Relasi Tubuh-Jiwa-Instrumen Teknologis

Jiwa merupakan tema sentral dari semua bahasan filsafat. Dianggap sebagai daya yang mengontrol tubuh atau entitas material, jiwa sering dikaitkan dengan ruh dan pikiran. John Searle pernah mengkritik Rene Desacartes yang memisahkan antara tubuh dan jiwa. Menurutnya, Descartes membuat jiwa menjadi mustahil dibahas secara ilmiah karena dianggap tidak rasional. Sehingga fokus kajian hanya terpaku pada tubuh.

Sains hingga hari ini masih sangsi pada jiwa. Tak banyak pakar yang seperti Francis Crick yang menyinggung sisi mekanistis jiwa lewat fungsi neuron di otak kita. Langkahnya diikuti oleh Antonio Damasio yang, melalui kerja neuron itu, mengaitkan emosi dengan rasio. Namun, penjelasan itu masih kurang memadai. Jiwa, dalam pandangan Sains, masih sebagai mesin yang terpisah dari subjektivitas manusia.

Sifat mekanistis itu mereduksi peran jiwa sebatas pada gerak. Padahal, fungsi otomatis dari organ tubuh kita saja belum cukup untuk menjelaskan jiwa. Di sinilah fenomenologi berperan menyeret jiwa dalam diskusi yang lebih serius. Jiwa seharusnya tidak dipisahkan dari tubuh dan berperan dalam memicu kesadaran. Tak berhenti sampai di situ, Don Ihde menghadirkan jiwa dalam pengalaman ketika menggunakan perangkat teknologis.

Ketika kita mengobrol bersama keluarga atau teman di media sosial, begitu pula berbincang dengan mereka lewat panggilan telepon, kita merasakan kehadiran mereka secara nyata. Ada kontak kejiwaan dalam pengalaman mengobrol/ berbicara yang difasilitasi oleh perangkat teknologis. Kualitas itu bersifat materialis dan merepresentasikan subjektivitas dari mereka yang terlibat. Kehadiran mereka kita persepsi secara inderawi yang begitu kita memanfaatkan perangkat tersebut.

Itu menjelaskan mengapa fungsi neuron di otak kita tidak cukup mampu menjelaskan kehadiran jiwa. Sebab jika memang neuron itu menghadirkan jiwa, mengapa kita tidak dapat mengontrol kerja neuron itu secara sadar? Keraguan Descartes mengantarkannya pada kesadaran diri namun jiwa yang mengontrol pikiran berkesadaran itu masih dianggap sebagai realitas non-fisik.

Entah mengapa kecenderungan itu (menganggap jiwa sebagai eksistensi yang gaib) masih menyelimuti realitas saintifik (ilmiah). Apakah Sains ingin mengambil jarak dengan filsafat dan agama yang mana keduanya menempatkan jiwa sebagai bahasan sentral? Jika Sains memang berupaya menghadirkan pembacaan baru terhadap realitas, ia mesti terlebih dahulu membangkitkan kesadaran pada diri subjek yang menjadi targetnya. Oleh karena itu, Sains mesti memberi perhatian terhadap kajian tentang jiwa dan kejiwaan.

Post-Note


Memahami relasi kita dengan perangkat teknologis berarti memahami bagaimana kita memperlakukan perangkat tersebut. Perangkat itu tidak hanya menghubungkan kita dengan sebuah dunia yang perangkat tersebut hadirkan, namun hubungan itu perlu kita maknai dan pahami secara sadar sehingga kita masih memegang kontrol terhadap perangkat teknologis itu bukannya malah dikontrol olehnya.

Perangkat teknologis lahir dari pembacaan kita terhadap dunia yang membatasi kreativitas. Perangkat itu kemudian berperan sebagai perpenjangan dari tubuh kita bahkan menggantikan tubuh itu sendiri. Teriakan kita tidak bakal didengar oleh keluarga yang sedang berada di kota lain namun dengan telepon (perangkat teknologis) memungkinkan hal itu bahkan seakan menghadirkan mereka di hadapan kita.

Perangkat itu bahkan mampu menghadirkan kesadaran kita di ruang yang diciptakan olehnya. Sebut saja media sosial, apapun yang kita lakukan di ruang tersebut konsekuensinya secara langsung akan berlaku ke kita. Hal itu nyata dan keberadaannya tidak dapat disangkal. Menyatakan ujaran kebencian atau mengerang kredibilitas seseorang di ruang itu akan menyeret kita ke ranah hukum; konsekuensi yang kita terima akibat perilaku kita di ruang itu.

Akun anonim hanya menutupi identitas namun tidak berarti menutupi kesadaran diri kita di ruang tersebut. Selain itu, jejak yang kita tinggalkan di sana akan menjadi representasi dari pikiran yang membentuk suatu konsep tentang diri kita.

Berkomentar dan beropini dengan maksud merendahkan orang lain, misalnya, akan menunjukkan perilaku rasis yang bisa saja mewujud menjadi perangai kita di kehidupan sehari-hari.

Perangkat teknologis, di sisi lain, tidak boleh justru membatasi gerak kreasi kita. Jikalau hal itu sampai terjadi, itu berarti perangkat itu sudah mengambil alih kesadaran yang semestinya berada di bawah kontrol kita.

Menghabiskan waktu berselancar baik di media sosial atau di ruang virtual lainnya menunjukkan bahwa relasi kita terhadap perangkat itu tidak mutualis. Sebab perangkat itu menyita dan bukannya mengefisienkan waktu yang seharusnya kita manfaatkan secara bijak.

Terakhir, salah satu fungsi perangkat itu adalah membantu kita memahami diri kita sendiri: jiwa dan kesadaran kita sendiri dalam hal bagaimana kita mewujud di dunia ini. Bagaimana kita memanfaatkan perangkat itu menunjukkan jati diri kita yang sebenarnya.

Sebab pemanfaatan itu, sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, bergantung terhadap maksud yang menunjukkan secara jelas tujuan kita. Perangkat hanyalah artefak yang kita ciptakan. Namun perilaku yang dimungkinkan oleh perangkat itu tetap sepenuhnya menjadi tanggungjawab kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun